R. Eternity
TEMA 18:
Kali ini temanya sengaja ku-spill duluan.
Berhubung peserta yg no. urutnya persis di bawahku bolong pas hari kedua, aku pilih cerita dr peserta yang posisinya dua nomor di bawahku.
Cerita yang akan dilanjutkan:
"Pola Laju Masa Lalu"
by SylicateGrazie
(Supaya paham sama cerpen yang kutulis ini, baca dulu ceritanya Roti, ya. Ada di bab berjudul "Piknik")
.
.
.
***
Cahaya putih yang membutakan itu perlahan sirna dan aku kembali berada di taman tempat kami mengadakan piknik.
Di sebelahku, ibu sedang membereskan peralatan makan, roti, dan selai yang sudah kami gunakan. Dengan telaten, dia menatanya apik di dalam keranjang. Kuedarkan pandangan dan menemukan adik semata wayangku tengah berjongkok di samping pot-pot bunga. Entah apa lagi yang dilakukan bocah itu sekarang.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan kegetiran yang lagi-lagi menyeruak di dada. "Aku ingin begini terus."
Ibu tertawa kecil dan mencubit bahuku pelan. "Tidak bisa. Kalian harus sekolah."
"Ah ... ya. Benar juga."
Semua ini akan kembali menghilang begitu layanan simulasi berakhir. Aku mungkin masih bisa memperpanjangnya lagi dan lagi. Tapi sampai kapan? Bagaimana pun ini semua tidak nyata. Seberapa besar pun aku berharap, aku tidak akan bisa berada di situasi ini selamanya.
"Leo?" Ibu menatapku khawatir.
Buru-buru kuseka air mata yang nyaris tumpah. "Tidak apa-apa, Bu."
Aku harus fokus. Lupakan kejadian di dunia nyata dan manfaatkan waktu yang sedikit ini dengan semaksimal mungkin.
"Ibu! Kakak! Lihat!"
Sarah berlari menghampiri kami. Rambut ekor kuda di sisi kiri dan kanan kepalanya bergoyang-goyang mengikuti gerakannya. Sementara itu, bagian bawah gaun biru mudanya tampak berwarna kecokelatan karena sejak tadi terus-terusan berjongkok di tanah. Di tangan kanannya tergenggam beberapa tangkai bunga aneka warna. Di sebelahku ibu terpekik kecil, tapi sebaliknya, aku justru tertawa.
"Lihat buket bunga ciptaanku!" Dia memperlihatkan bunga-bunga itu dengan bangga. "Cantik, kan?"
"Astaga, Sarah ...." Ibu menepuk kening, tampak pasrah mendapati kebun kesayangannya diacak-acak oleh si bungsu. "Kali ini Ibu maafkan, tapi lain kali jangan begitu."
"Kenapa?"
Ibu mulai menjelaskan panjang lebar, tentang tumbuhan yang juga adalah makhluk Tuhan dan harus diperlakukan dengan baik. Tepat ketika ibu sampai ke bagian "memetik sama saja dengan membunuh mereka", Sarah menangis. Dia kembali berlari ke tempat pot yang berjejer dan berusaha menanam bunga-bunga itu kembali.
Aku masih terus tertawa, sampai tiba-tiba saja pintu pagar dibuka dan ayah muncul dari baliknya.
"Loh? Kalian sedang piknik?" tanyanya heran. "Kok nggak tunggu Ayah?"
"Siapa suruh tetap kerja di hari libur?" Ibu menjawabnya sewot.
Namun, ayah tidak menanggapinya. Pria paruh baya itu sudah berlari ke arah pintu masuk seraya berteriak, "Tunggu! Ayah ganti baju dulu!"
Ibu menghela napas. Namun, kulihat dia kembali mengeluarkan benda-benda dari dalam keranjang, menuangkan jus jeruk ada ke gelas, dan membuatkan roti selai untuk ayah. Ayah keluar tidak lama kemudian dengan pakaian santainya dan langsung bergabung dengan Sarah yang masih berusaha "menghidupkan kembali" bunga-bunga yang dia petik.
"Tidak apa-apa, Sayang." Ayah mencoba menghibur. "Nanti juga tumbuh lagi yang baru."
Aku mencoba merekam suasana piknik ini dan menyimpannya baik-baik dalam memori. Suara mendenging itu akan terdengar sebentar lagi dan halaman belakang ini akan segera lenyap digantikan ruangan kelabu tempat aku duduk menjalani simulasi.
"Ibu, aku ingin tinggal di sini." Aku menaruh kepalaku di pundak ibu, berusaha membayangkan kehangatan tubuh wanita yang melahirkanku itu.
"Kau memang tinggal di sini, Leo."
Suara tawa ibu terdengar begitu menenangkan. Kubayangkan saat ini tangannya tengah mengusap-usap rambutku.
"Kenapa, hm? Sudah besar kok masih pengin manja-manja?"
"Sesekali," jawabku. "Karena begitu semua ini berakhir, aku akan kembali sendirian."
"Kau bicara apa?"
"Seharusnya aku ikut mati saja waktu kecelakaan itu." Kali ini kubiarkan air mataku mengalir deras. "Tapi kenapa cuma aku yang selamat? Aku tidak suka sendirian, Bu."
Tidak ada jawaban dari ibu. Aku tersenyum tipis. Baiklah, sekarang sudah waktunya. Simulasi ini akan berakhir sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk mendengar sinyal yang memekakkan telinga, tapi alih-alih itu, yang kudengar justru suara menenangkan milik ibu.
"Jangan takut, Leo. Kau tidak lagi sendirian."
***
Tiga mobil pemadam kebakaran masih berusaha memadamkan api yang membakar beberapa bangunan di kawasan pertokoan yang cukup padat. Di depan sebuah ruko dengan papan nama bertuliskan "Kotak Kenangan" beberapa orang tampak panik.
"Apa kau bilang?" Seorang pria berkemeja putih dengan name tag bertuliskan 'manager' tampak sedang memarahi seorang wanita. "Masih ada pengunjung di dalam sana?"
Wanita berseragam hitam-putih itu menangis tersedu-sedu. Wajahnya tampak begitu menyesal dan putus asa. "Kami sudah berusaha mengeluarkan semua pengunjung, Pak. Tapi dia ... ruangannya ada di posisi paling ujung. Kami tidak sempat ke sana karena bagian itulah yang paling dulu dilahap api."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top