【5】Pinky!
Moses POV
Waktu Vella menutup pintu kelasnya kemarin, sebenarnya aku ada di sana bersamanya. Hanya saja saat itu, aku ngga bisa muncul di hadapannya saat di kelas. Mungkin karena pelindung dari buku mantera itu.
Hmph! Siapa sih dia sebenarnya?
*Blukk... Blukkk*
Hah?! Yang benar saja buku mantera itu berlarian seperti mengejar sesuatu. Mengejar Vella? Ternyata dia mempunyai niat jahat, ya?
"Hoi, sudah kuduga kau punya niat jahat ya dengan Vella? Jangan ganggu dia, hei!" teriakku dengan mengangkatnya di pucuk cover bukunya.
「Maaf atas kelakuan saya yang cukup mencurigakan, Tuan. Saya hanya melindungi apa yang harus dilindungi.」
"Apa yang harus dilindungi? Vella sedang dalam bahaya maksudmu? Kalau iya biarkan aku ikut-" belum juga aku selesai bicara dia menghilang dari hadapanku begitu saja.
Poof-!
Benar-benar buku yang misterius. Tapi, kalau dia menghilang ke arah perpustakaan. Tak banyak yang bisa kulakukan. Tempat itu membuatku pusing, aku tak tahu apa yang membuatku pusing.
Maaf buku misterius kalau tadi aku berprasangka buruk padamu. Ternyata, dengan bentukmu yang kecil kurasa kau bisa melindungi apa yang harus dilindungi. Aku mengandalkanmu!
🎑🎑🎑
Sesampainya di rumah, tentu saja di rumahnya Vella. Aku ingin memastikan keberadaannya Vella. Apa dia baik-baik saja, ya?
Warna rambutnya belang, pakaiannya dominan warna hitam-putih seperti warna TV jadul. Bola mata yang berwarna biru seperti es yang membeku. Ekspresi yang datar.
「Senang bertemu dengan Anda kembali, Tuan.」sapanya ramah sambil membungkukkan badan 90 derajat. Ter-niat!
"Whoa-! Ka... Kau lagi! Apa yang sedang kau lakukan di sini?" jeritku dengan jari telunjukku yang menunjuk ke arahnya.
「Saya ada di sini atas perintah dari Nona Vella. Jadi, mohon dimaklumi.」sahutnya.
Aku yang merasa direndahkan dengan kata-katanya yang cukup bijaksana itu, memegang kedua pergelangan tangannya sambil bergulat dengannya.
Tangguh juga kau! Batinku dalam hati. Tiba-tiba...
Krriieettt...
"Hei! "Sosok mesum" apa yang kau lakukan pada buku mantera-ku?" teriaknya dengan aura yang menyeramkan.
Aku menatap lekat-lekat wajahnya lalu, beralih menatap Vella dari mulut pintu kamarnya. Keringat dingin mulai membahasi sekujur tubuhku.
"Eh? Ah... A... Anu, kau sepertinya salah lihat. Ini tak seperti yang kau bayangkan, kok!" ucapku dengan gugup.
"Keluar!!!" teriaknya dengan kencang dengan jari telunjuk mengarah ke pintu kamar.
Anehnya, badanku langsung bergerak dengan sendirinya mengikuti perintahnya.
🎑🎑🎑
Eh, kalau dipikir-pikir aku kan bisa langsung nembus ke dalam kamarnya. Tapi, biarlah mungkin Vella membutuhkan waktu untuk berbicara dengan orang lain selain aku, gumamku sambil mengintipnya dari lubang pada kunci pintu kamarnya.
Saat aku mengamati "si Belang" itu, mulai keluar cahaya berwarna merah di sekitar tubuh Vella. Apakah itu...
Sihir?
Katanya dia ingin belajar mantera denganku, tapi tau-tau dia sudah bisa mengeluarkan sihir dengan baik? Apa-apaan ini harusnya aku senang, kenapa hatiku begitu sakit saat melihat mereka berdua saling bertukar sihir? Nggak bisa dibiarin!
🎑🎑🎑
"Ve! Vella, aku mau meminta penjelasan-" belum juga aku selesai bicara, kepalaku terasa begitu pusing. Oh tidak! Kumohon jangan sekarang!
"Wakh! Moses, apa yang terjadi padamu? Moses, sadarlah-" pekiknya sambil menggoyang-goyang tubuh transparanku.
「Tuan, kuatkan diri Anda.」katanya sambil memandangi tubuhku yang tergulai lemas di lantai.
Pikiranku mulai melayang jauh dan suara teriakan tak terdengar lagi.
🎑🎑🎑
Saat aku pingsan itulah, mimpi tentang masa lalu-ku perlahan mengelupas satu-persatu.
Yang kulakukan saat itu, terlihat samar-samar. Aku berlari menyusuri lorong. Lalu, ada suara teriakan minta tolong serta, bayangan yang terus mengejarku.
Saat aku akan berhasil melangkahkan kaki-ku ke gerbang pintu luar gedung sekolah lama. Kaki-ku terasa begitu berat dan mendapati bayangan yang mengejarku berhasil menggapai kaki-ku. Setelah itu, aku terseret ke dalamnya.
🎑🎑🎑
Vella POV
"Pergi kau dari sini!" ngingau-nya dengan mendorong badanku cukup kuat. Baru kali ini, ada orang yang mengingau begitu kuat ke arahku.
"Aduh! A... Apa yang terjadi padamu, Moses?" tanyaku gugup.
「Nona, untuk sementara waktu mungkin Tuan Moses terkena sihir kita tadi dan menguak tentang masa lalu-nya yang samar.」jelas Wilhelmina dengan tangan menyentuh punggungku. Tangannya begitu dingin, namun hatinya sehangat syal.
Mendengar penjelasan dari Wilhelmina sedihlah hatiku. Aku memandangi wajah Moses yang samar-samar. Memang tadi dia mengingau sambil mendorongku.
Maafkan aku, Moses. Niatku memang ingin belajar mantera denganmu tapi, aku sudah menemukan Wilhelmina yang akan menjadi tutorku. Sedangkan, untukmu Moses. Aku selalu berharap kau lebih terbuka tentang masa lalu-mu.
"Wilhelmina atau Nana! Bisakah kita melanjutkan belajar menguasai mantera dan sihir besok pagi? Aku ingin mengerjakan tugasku," ucapku lalu, duduk di meja belajar.
「Baik, Nona. Saya akan kembali ke wujud asli saya.」jawabnya.
Poof-!
Saat kutengok dia sudah berubah ke wujud aslinya. Apalagi kalau bukan sebagai, buku mantera. Aku memungutnya dan menaruhnya di dalam tas sekolahku.
🎑🎑🎑
Besok paginya, aku tidak melihat Moses berada di dalam kamarku. Biasanya dia menjadi alarm bagi-ku.
Dia pergi ke mana, ya?
Aku kembali berangkat ke sekolah dengan Kak Max. "Kak! Buruan masuk," kataku sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Kak! Jangan bengong saja, dong! Malu ih dilihatin banyak orang," ketusku.
"...."
"Kak Max?!"
"..." Ini orang daritadi diem melulu mana tatapannya kosong begitu.
"Hmph... Ini orang diem melulu. Kak Max, kesantet apaan sih?" tanyaku sambil menarik pergelangan tangannya.
Pagi ini, Kak Max terlihat begitu gelisah dan linglung. Aneh!
Seperti biasa aku kembali ke perpustakaan belakang sekolah. Entah apa yang merasuki Kak Max, yang jelas begitu tenang.
"Anak manusia, kenapa kau kemari lagi? Apa ada yang membuatmu gelisah?" tanya seseorang dari belakang.
Woosh!
Terdengar suara angin yang berisik dari arah depan. Anginnya membuatku memicingkan kedua mataku.
"Ah, ternyata itu dirimu ya, Lindenberg?" ucapku sambil merapikan rambutku yang berantakan karena angin.
"Senang bertemu dengan Anda, Nona Vella," jawabnya dengan ramah.
🎑🎑🎑
"Nona, saya mencium bau yang familiar di sekitar gedung ini, yang tidak baik untuk kau kunjungi," jelasnya dengan membisik ke telingaku.
"Bau yang familiar? Seperti apa gambaran tentang bau itu?" tanyaku dengan mengecilkan volume suaraku.
"Bau dari rencana busuk seseorang yang bermukim di sekitar sini. Wujudnya hanya bisa dilihat sekilas, seperti bayangan. Nona sebaiknya jangan kembali ke tempat ini selama 3 hari ke depan," penjelasan dari Lindenberg membuat rasa penasaranku memanas.
"Yang benar aku tidak boleh datang ke tempat ini dalam 3 hari ke depan?" godaku.
"Nona, hamba memang ingin rantai yang mengikat ini segera patah. Tetapi, hamba memberitahukan agar Nona baik-baik saja," tegurnya sambil menepuk kedua pipiku pelan dan tatapan mata dari seseorang yang khawatir.
"Baiklah, aku tak akan datang ke sini selama 3 hari itu," desahku dengan menutup kedua mataku.
🎑🎑🎑
"Nona, siapa perempuan blaster di belakang Anda?" tanyanya dengan ekspresi yang terkejut.
Perempuan blaster?
Aku penasaran dan menengok ke belakang. Kudapati bayangan Wilhelmina yang selalu bersikap sopan di hadapanku.
「Maaf jika kehadiran saya hanya mengusik hobi Nona. Saya hanyalah, sebuah roh dari seseorang yang telah meninggal. Dan berulang kali mimpi keluar dari dalam kenyataan.」
Nggak paham sama sekali apa yang dibicarakannya. Aku hanya melongo ke arahnya.
"Nana, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa kau bisa menjamin yang dikatakan oleh Lindenberg?" tanyaku.
「Iya aku bisa menjaminnya. Aku datang ke sini karena, merasakan serta membau hal itu.」pesannya dengan tegas.
🎑🎑🎑
Swoosh~
Ada suara dari belakang seperti suara angin yang saling bertabrakan.
「Akhirnya, dia datang juga. Nona bersiaplah dengan mantera dan sihir yang telah kau pelajari kemarin.」Nana berjaga-jaga seperti telah memperkirakan sesuatu yang akan datang.
"Aku siap Nana!" seruku dengan mengatur posisi duduk untuk mengucapkan mantera.
"Nona Vella, saya akan membantu Anda menghalangi si sosok tersebut. Nona membaca mantera dan sihir serta, Nana lindungi Nona Vella!" Lindenberg telah mempersiapkan aturan main yang akan dilakukan tuk menjebak sosok tersebut.
🎑🎑🎑
Aku deg-degan waktu melakukannya. Padahal aku sudah berlatih dengan keras dan Nana telah mengajariku dengan baik. Aku harus bisa!
1 ...
2 ...
3 ...!
❝ Siapa gerangan yang berani mengikutiku sampai detik ini. Tunjukkan wujud dan niat aslimu! Segel! ❞
Bzzttt....!!!
Cahaya berwarna merah seperti api yang membara muncul di hadapan kami bertiga. Dia mengepakkan kedua sayapnya yang lebar mampu membuat angin topan. Bisa dibayangkan kuatnya seperti apa.
"VELLA!!! APA KAU TIDAK APA-APA?"
Tiba-tiba, aku mendengar suara teriakan dari samping telingaku, suaranya Moses.
"Mo... ses?" tanyaku sambil menganga.
"Syukurlah kau tidak apa-apa, aku takut kau akan ditarik oleh monster!" katanya sambil memelukku erat.
"Monster? Siapa?" tanyaku lagi dengan tatapan heran.
"Maaf menyela Anda, Nona Vella. Mungkin yang dimaksud Tuan Moses monster adalah, Burung Phoenix ini," jelas Lindenberg.
Seperti yang bisa kulihat dengan kedua bola mataku. Burung Phoenix merah, yang tampak arogan.
「Maafkan hamba, Nona. Hamba tidak bisa menyentuhnya. Hamba akan menjadi abu jika, menyentuhnya.」ucap Nana dengan membungkukkan badannya di hadapanku.
Aku sempat berpikir untuk waktu yang lama karena, Nana mengatakan bahwa ia akan "menjadi abu" jika menyentuhnya. Ternyata, maksudnya adalah karena wujud Nana yang sebenarnya adalah buku mantera.
Ia takut akan menjadi abu dan takut akan membuatku kecewa maupun, sedih. Susah juga menjadi dirimu, Nana.
"Tidak apa-apa, Nana. Kau dan juga Lindenberg sudah banyak membantu. Kau boleh kembaki ke wujud aslimu," perintahku.
「Sekali lagi, tolong maafkan Hamba dan Terima kasih atas kebaikan hati Nona. Saya permisi dulu.」
Poof-!
Setelah berkata demikian Nana kembali ke wujud aslinya dan Lindenberg pun kembali ke tempatnya. Sekarang tinggal aku, Moses dan Burung Phoenix merah yang telah berada di dalam segel yang kubuat.
"Vel, mau kau apakan burung jelek ini?" ejek Moses.
"Mau aku makan!" jawabku ketus lalu, perlahan mendekati burung Phoenix tersebut.
"Ye, rakus amat sih. Burung beginian di makan!" serunya sambil membuang muka.
🎑🎑🎑
"Halo Burung Phoenix merah! Bisakah kau mendengar suaraku dengan jelas? Jika iya, kepakkan sayapmu tiga kali. Jika tidak, kumohon jangan membuntuti diriku terus," pintaku dengan muka memelas.
"Percuma saja, Vel. Burung ini bukan tipe yang bisa emnuruti perintah orang asing yang baru ditemuinya. Burung ini, berasal dari dimensi lain," jelas Moses.
"Terima kasih banyak atas penjelasanmu Tuan Moses yang baik hati dan pengertian. Nah, apakah kau bisa mendengar jelas perkataanku, wahai burung?" tanyaku sekali lagi.
"..."
"Bisa dengar suaraku?" tanyaku sekali lagi sambil mengeja kata demi kata.
"..."
"Kumohon dengar suaraku. Jangan memandangiku seperti kau ingin memangsaku," pekikku dengan raut wajah yang sedih.
"Hei burung jelek! Kalau kau berani memakan mangsaku ini. Tamat riwayatmu!" tantang Moses.
"Ih, hentikan tantanganmu itu Moses. Siapa mangsa siapa juga?! Udah deh, aku mau balik ke kelas! Terserah, buang-buang waktu aku di sini," teriakku sambil membendung air mataku. Aku membawa Nana dan pergi beranjak dari sana menuju ke kelasku.
🎑🎑🎑
Sesampainya di kelas, aku memasukkan Nana ke dalam tasku.
"Haaahhh~!" Aku menghela napas panjang dan menyeka air mataku yang membendung tadi.
"Baik, anak-anak! Sekarang kita akan mencatat bab yang baru yaitu, matriks," kata Pak Handy yang mengajar mata pelajaran Matematika.
"Yah, matriks. Bosen ih!" keluh Archeri.
"Kalau bosen, saya akan memberikan postest sekarang juga," kecam Pak Handy. Waduh, berat banget! Belum juga diajarkan bab baru-nya, langsung main postest saja. Huh!
Kulihat Archeri hanya menundukkan kepalanya malu dan terdengar sorakan dari teman-teman sekelas yang menolak untuk diadakan postest.
Aku mengambil buku catatanku dan mulai mencorat-coret halaman kosong di buku catatan dengan tinta bolpoin berwarna hitam.
「Apakah Nona berhasil membujuknya untuk berbicara barang sekata-pun?」
Entah dari mana tinta berwarna merah pekat ini berasal. Yang jelas saat aku mendengar suara tersebut, muncul juga tulisan itu di halaman bagian belakang buku catatanku. Aku membalas tulisan itu, di sebelahnya.
"Apakah kau sedang berbicara denganku, Nana? Tapi, kau kan sedang berada di dalam tasku?"
「Iya. Jika ada media perantara yang bisa digunakan. Aku bisa berkomunikasi dengan Nona di mana saja.」Cukup singkat, padat, dan jelas. Nana memang bisa diandalkan.
"Aku tak berhasil membujuknya untuk berbicara. Tetapi, aku tak akan menyerah begitu saja!" jawabku lalu, aku gambarkan emoticon " (๑•̀ㅂ•́)و✧ "
「Ternyata, hamba memang harus turun tangan untuk memaksanya berbicara! Apa perlu saya lakukan, Nona Vella? Lalu, apa yang dilakukan oleh Tuan Moses?」jawabannya begitu cepat seperti sedang SMS-an dengan operator.
"Ah, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Moses, tidak melakukan apa-apa selain, mencoba untuk menekan perasaannya. Tak ada yang berubah," sambungku setelah berbalas-balasan tulisan dengan Nana. Aku kembali menulis catatan yang ada di papan tulis.
🎑🎑🎑
Sepulang sekolah, aku menghampiri Kak Max. "Permisi kak, apa di sini ada Kak Max?" tanyaku clingak-clinguk ke dalam kelas.
"Cari Max, dik?" tanya seorang cewek dari samping tempatku berdiri, ternyata adalah Kak Berta.
"Iya, kak!"
"Maaf saja, dik. Kakakmu itu sudah pulang daritadi," jawabnya sambil tersenyum.
"Sudah pulang? Kakak tidak bercanda?! Kak Max sudah pulang?" tanyaku dengan kedua mata yang terbelalak sambil berteriak heboh di depan pintu.
Semua pandangan tertuju padaku dan dengan sigap Kak Berta membekap mulutku dengan telapak tangannya yang bersuhu dingin.
"Ah, maaf ya telah menarik perhatian kalian semuanya. Aku akan segera pulang, dah~!" pamit Kak Berta dengan melambaikan tangannya ke arah teman-temannya dan mengajakku pergi menjauh.
🎑🎑🎑
"Mmpphhh–!"
"Eits, maafin kakak ya, dik. Habisnya kau terlalu mencolok perhatian seperti biasanya," sanggahnya dengan wajah tersenyum kecil. Aku hanya menganggukkan kepala.
"Nah, sekarang sampai di mana kita tadi? Oh iya, sampai kamu mencari Kak Max kan?" tanyanya.
"Iya kak. Hari ini Kak Max nggak seperti biasanya," jawabku dengan menundukkan kepalaku.
"Maksud kamu tidak seperti biasanya itu, dia hanya diam saja?"
"..."
Pertanyaan ini seolah membuatku semakin tertegun. Ternyata, Kak Berta juga merasakan apa yang kurasakan. Mungkin dia tahu penyebabnya.
"Kenapa, dik? Apakah dia sudah seperti ini sejak pagi tadi? Sepertinya emmang ada yang aneh pada dirinya."
"Yang aneh? Apa itu, kak? Bisakah kita mengembalikan sosok normal Kak Max seperti sedia kala?" tanyaku. Aku berharap Kakakku ini baik-baik saja. Secara dia adalah kakak tiriku, dia menyayangiku selayaknya adik perempuan.
"Hei, sampai berapa lama kau berpura-pura ada di dalam sana?"
Hah? Kak Berta berbicara dengan siapa?
"Kak Berta, bicara dengan siapa?" tanyaku dengan ketakutan.
"Ah! Jangan takut, dik Vella. Dia daritadi di dekatmu. Tapi, aku heran kenapa dia bisa ada padamu?" tanya Kak Berta. Perlahan Kak Berta mendekatkan langkah kakinya mendekatiku.
Aduh, sekarang apalagi? Apakah Moses yang ada di sekitarku? Ataukah makhluk astral lainnya yang mengikutiku dari gedung sekolah lama sampai saat ini. Ya Tuhan, Kenapa juga aku dibuntuti oleh makhluk seperti mereka?
Yang jelas membuat bulu kudukku berdiri, batinku.
🎑🎑🎑
Kak Berta daritadi memandangi atas kepalaku. Dia seperti sedang memperhatikan gerak-gerik yang "sesuatu" ataupun dia sedang berbicara dengan "seseorang" Aku hanya bisa terdiam begitu saja. Misterius banget, pokoknya!
"Vel, dia sudah mengikutimu sejak lahir," kata Kak Berta sambil menunjuk ke arah atas kepalaku.
Aku mendongak ke atas. Dan aku tak mendapati ada hal yang aneh di atas kepalaku selain, pemandangan langit-langit atap lorong sekolah.
"Kak Berta, kalau mau bercanda waktunya nggak tepat. Siapa yang ada di atas kepalaku ini?" tanyaku meledak-ledak dengan menunjukkan jari telunjukku ke arah atas kepalaku.
Swoosh–!
Wuah! Kau takkan percaya dengan apa yang kulihat. Ada semburan api berwarna merah padam di atas kepalaku.
"Aaa!!! Kepalaku terkena api! Kebakaran, Kak Berta ini apa? Siram pakai air di atas kepalaku! Ayolah, jangan tertawa. Hikss... Hiks...." celotehku sambil menangis tersedu-sedu.
"Buahahhah!!! Kamu kenapa, dik? Siapa juga yang berani membakarmu? Ya Ampun, tolol banget kamu, Vel!" kekehnya sambil memegangi perutnya dengan kedua tangannya. Mungkin Kak Berta ini tipe-tipe orang yang suka melihat orang lain menderita.
"Dia memang suka begitu, Vel. Pantas saja waktu awal aku meramalmu di kelas, kau memiliki aura berwarna merah padam seperti api. Ternyata itu semua berasal dari dirinya," jelasnya sambil menunjuk ke atas kepalaku lagi.
Dirinya itu siapa lagi?!
🎑🎑🎑
「Berta, jangan menggodai Nona Vella. Sudahlah, cepat selesaikan kesalahpahaman ini.」kata Nana dari dalam tasku.
"Ternyata kau pun tidak berani mengatakan yang sebenarnya, ya, Hei buku!" ejek Kak Berta.
"Ehm, Nana sudahlah. Sekarang juga Kak Berta, kumohon selesaikan kesalahpahaman yang dimaksud oleh Nana," leraiku.
"Oh Nana ya, sekarang namamu? Okay, aku akan menjelaskannya. Dengar baik-baik, ya. Tapi, lebih nyaman dijelaskan di taman kota saja," pekiknya dan mengajakku keluar pulang dari sekolah.
"Oh iya, Vel. Ternyata kau cepat juga ya, menguasai mantera sihir dari buku yang kupinjamkan padamu. Tapi, sepertinya dia lebih baik bersamamu," bisiknya pelan.
"Lebih baik bersama denganku?" ucapku pelan.
"Iya, untuk jaga-jaga melindungi dirimu. Karena sekarang kau bisa melihat "mereka" kau mempunyai cobaan yang lebih besar menantimu. Itulah yang membuatmu unik," jelasnya sambil menatap ke depan.
Aku menyukai sorot mata Kak Berta yang tegas dan penuh dengan kepastian. Di sisi lain, Apa Kak Max baik-baik saja ya, pulang tanpa diriku? Biar sajalah. Lagian Kak Max kan sudah besar. Dia pasti baik-baik saja.
Sesampainya di taman kota dengan suasana tenangnya. Langit berwarna orange serta, burung-burung yang berterbangan menghiasi indahnya langit di senja hari. Dan aku semakin penasaran akan yang dikatakan oleh Kak Berta.
"Jadi, dik Vella. Apakah kau siap untuk melanjutkan pembicaraan kita tadi yang sempat terputus?" tanya Kak Berta sambil duduk di bangku jungkat-jungkit.
Aku pun duduk di tempat duduk jungkat-jungkit yang berlawanan arah dengan Kak Berta.
"Iya, Aku siap untuk mendengarkannya!" jawabku dengan mantap.
"Jadi, yang selalu ada di sekitarmu itu adalah, Burung Phoenix. Katanya, dia tadi tertangkap basah olehmu dan "Tuan Moses" sangat marah waktu melihatnya. Mungkin dia akan menampakkan padamu wujud aslinya," jelas Kak Berta.
"Kenapa dia bisa tahu tentang Moses?" tanyaku terheran-heran.
『Waktu itu, saya pergi diutus keluar dari dunia tempat saya biasa tinggali. Ketika saya sedang berjalan-jalan, saya melihat manusia yang berkeliaran di sekitar gedung sekolah lama.』
"Woah, dia bisa berbicara, Kak Berta! Ajaib! Aku mau mempelihara burung ini," teriakku kegirangan sambil memeluknya.
"Ah! Sebaiknya jangan kau peluk dia!" cegah Kak Berta.
"Memangnya ada apa? Dia tidak berbahaya kan?" tanyaku balik.
"Memang dia tak berbahaya padamu. Tapi, dia akan menunjukkan wujud aslinya yang ingin dimanja. Jika, dia tidak kau manja. Dia akan membawamu pergi dari sini," jelasnya.
「Dasar manusia bodoh! Berpikir dahulu sebelum bertindak. Berta kau juga, jangan mempermalukan Nonaku di hadapan Burung jelek ini!」ketus Nana.
Poof–!
『Nyaman sekali dalam pelukan hangatmu, Nona. Semoga saja Tuan Moses tidak melihatnya.』cengirnya.
Burung phoenix tadi tiba-tiba berubah menjadi wujud manusia sempurna hampir tak bisa dibedakan sama sekali. Wajahnya begitu menawan, bentuk kedua matanya seperti panda.
『Hei, kalian sengaja buta atau apa sih? Aku ini bukan burung phoenix! Aku ini kakaktua.』rengeknya.
Hah? Ternyata dia ini burung kakaktua ya! Wah, parah sekali penglihatanku ini. Mungkin mataku minus.
"Hah! Burung kakaktua? Kak Berta, dia seperti manusia asli. Rambutnya trendy sekali!" sanjungku sambil menarik-narik rambutnya.
『Nona Vella! Apa yang kau lakukan padaku? Rambutku bisa rusak nanti.』keluhnya dengam raut muka cemberut. Dia cowok kok. Tetapi, rambutnya merah ke-pink-pink–an.
Setelah bercanda ria dan akhirnya kami menemukan jalan kesalahpahaman. Kami berjalan ke rumah kami masing-masing. Kak Berta mengantarku sampai ke stasiun terdekat. Sedangkan, yang "lainnya" tentu saja mengikutiku.
🎑🎑🎑
Di dalam stasiun, aku dilirik oleh banyak penumpang. Mereka seperti tersipu malu ketika memandang ke arahku. Ya, kali mereka suka sesama jenis.
"Hei, hei! Lihat ke arah sana, iya yang itu. Yang dekat dengan pintu keluar kereta. Ganteng ya!" seru mereka dengan malu-malu kucing.
Eh, ganteng? Yakin, nih! Aku kan tidak sedang bersama cowok. Kecuali, si "pinky" ini!
Tunggu dulu... Mereka bisa melihat si "pinky"? Aku melongo saat menengok ke arahnya. Jadi, dia bukan sembarang roh? Dia bukan "yokai*" (*siluman)
『Ya Ampun! Memang beginilah nasib orang tampan. Nona jangan takut, sebisa mungkin saya tak akan melibatkan Nona ke dalam jeritan mereka.』
Bicaranya tanpa dosa sama sekali. "Sebisa mungkin saya tak akan melibatkan Nona ke dalam jeritan mereka"? Dasar dungu! Kalau mau bilang seperti itu, sebaiknya kau terbang pulang ke rumahku saja dasar "pinky"!
『Hei, jangan memandangiku tetus-terusan seperti itu. Terpesona ya?』
Gila, sumpah! Kenapa juga makhluk aneh yang satu ini kelakuannya hampir mirip dengan Moses. Tapi, dia memanggil Moses dengan sebutan, "Tuan Moses". Moses ini, katanya dia akan melindungiku tapi, nyatanya dia malah keluyuran ke mana-mana.
『Nona, kita sudah tiba di rumah Nona.』kata pinky.
"Loh? Cepat sekali aku sudah sampai di depan rumahku? Kau apakan keretanya?" tanyaku dengan menggoncang-goncangkan tubuhnya.
『Aku tak membuat keretanya menjadi aneh kok! Tenang saja, aku hanya memegang rambut Nona tadi. Lalu, dengan kekuatanku aku bisa membawamu pergi dengan waktu yang efisien.』jelasnya dengan gaya sombongnya.
Yang benar saja, kenapa yang membuntutiku semuanya, "makhluk" yang aneh-aneh.
『Tapi, Nona. Saya merasakan hawa yang tidak biasa terjadi di sekitar lingkungan Nona. Hawa yang berasal dari gedung sekolah lama dan dari dimensi lain.』Tiba-tiba, mukanya menjadi serius mendadak. Akhirnya, si "pinky" ini menyadarinya juga.
"Hei, Vella. Kenapa ada si banci di sini? Kenapa hawa dari kakakmu aneh?" bisik Moses di dekat telingaku dengan suara lembutnya. OMG! Godaan besar ini, nafasnya yang berat bisa kudengar di dekat telingaku.
"Eh? Dari mana saja kau, Moses? Kesampingkan hal itu, kukira hanya aku yang menyadarinya ternyata kalian juga, ya? Tapi, dari dimensi mana hawa ini berada?" tanyaku sambil menatap ke arah jendela kamar Kak Max?!
Eh, benar saja. Si "pinky" dan Moses merasakan keberadaannya di sekitar kamar Kak Max. Tapi, apa yang merasuki Kak Max? Tiba-tiba, badanku mulai dingin mendadak. Kurasakan suhu dari kedua telapak tanganku yang membeku mendadak.
『Nona Vella! Bertahanlah, kami pasti akan segera membasmi "makhluk" aneh yang merasuki tubuh kakak Nona. Nona Vella–』teriak "pinky" di dekatku.
"Vella! Sadarlah, si banci ini akan mengeluarkan "makhluk" itu dari tubuh kakakmu dengan bantuan dariku. Kau akan dijaga oleh–!" teriak Moses sambil memelukku.
「Nona Vella, bertahanlah!」dari dalam tasku aku bisa mendengar suara samar-samar teriakan dari Nana.
Kenapa dari sekian banyak umat manusia di dunia ini, cewek di dunia ini, dan seseorang sepertiku di dunia ini yang harus menanggung beban yang begitu membelenggu hidupku?
"Sarafku telah mati rasa. Hanya itu yang aku ketahui."
🎑🎑🎑
Jika, suhu tubuhku semakin turun mendadak.
✴
Akankah Tuhan memberiku kesempatan hidup sekali lagi, barangkali hidup di dunia lain, dimensi lain, dan kehidupan yang lain?
🎑🎑🎑
Apa yang akan terjadi pada Vella?
Mengapa kondisi badan Vella berubah drastis menjadi seperti suhu es?
Siapakah sosok "pinky" yang selalu ada sejak Vella lahir?
Dan, siapa yang merasuki tubuh Kak Max?
✴✴✴
— T B C —
🎑🎑🎑
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top