Babak 9: Instan

Pemuda itu terus berjalan tanpa arah, mencoba untuk memecahkan teka-teki yang dapat mempengaruhi jalan hidupnya. Sekali saja melakukan kesalahan, maka hanya malapetaka yang akan menunggunya di seberang jalan.

Masa kanak-kanak Alvin terputar kembali di dalam benaknya, sesaat dia melangkahkan kaki ke lapangan kosong yang biasa digunakan pemuda sekitar untuk bermain sepak bola di pagi dan sore hari.

Tepatnya di bagian paling sudut lapangan seluas tiga hektar. Sebelum adanya permainan konsol sampai internet, dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya dengan memainkan permainan tradisional. Salah satunya adalaah polisi-polisian.

Permainan yang menggabungkan sistem petak umpet dan kejar-kejaran yang bisa dilakukan dengan minimal empat orang. Biasanya akan cepat selesai karena mereka akan langsung tahu, siapa yang menjadi polisi dan siapa yang menjadi penjahatnya.

Namun sayangnya, kali ini berbeda.

Alvin tidak tahu siapa kawan dan lawannya. Semakin membuat permainan tersebut lebih ke realita lapangan yang sulit diselesaikan oleh orang awam.

"Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang ... pasti nyawa, kan? Masa aku harus menangkap pembunuh, sendirian pulak! Sebelum waktunya habis, bisa-bisa aku duluan yang mati," keluh Alvin sambil jarinya sibuk mengetik di layar ponsel. Dia berbicara seolah sedang membalas pesan, padahal dia mengajak Ivy untuk berbincang.

"Ohhh ... pintar juga kamu. Nyawa lebih berharga daripada harta." Ivy berjalan beriringan dengan Alvin, namun keberadaannya yang 'tidak nyata' tentu saja tidak disadari oleh pejalan kaki yang melewati pemuda itu dengan santai.

"Hmmm ... tapi aku takut kalau ini jebakan."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena terlalu mudah ditebak dan ... keterlaluan susahnya! Aku bukan polisi! Penegak hukum! Sial ... apa yang harus kulakukan?" Alvin menghentikan langkahnya dan menggaruk belakang kepala cukup keras.

Ivy memandang ke segela arah, mencoba memikirkan kemungkinan lain yang tidak bisa dibeli dan diuangkan. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu. "Ah! Bisa saja ... waktu!"

"Hah? Maksudmu?"

"Waktu, sesuatu yang tidak akan mungkin bisa dibeli manusia, atau makhluk apapun. Seperti masa lalu dan masa depan. Kita tidak dapat memutar balikannya, bukan?"

Sejenak Alvin memandang Ivy dengan takjub, lalu detik berikutnya dia mendecahkan lidah dan menyadari bahwa itu adalah pernyataan paling bodoh yang pernah dia dengar. "Kalau begitu ... artinya takdir juga dong! Kita tidak bisa memilih takdir kita sesuai dengan isi kantong, kan?"

Ivy mengusap dagunya, kembali memikirkan kemungkinan yang ada. "Iya juga. Jadi ... apa, ya?"

"Ngomong-ngomong, kenapa penjelasan misinya tidak lengkap? Apa mereka sengaja agar para pemain kalah dalam sekali coba?"

Ivy tersenyum kecut dan menjawab, "Bisa jadi."

"Anjing! Mereka sudah curang dari awal. Kalau begini, kita harus lebih cerdik dari mereka."

"Caranya?"

"Nih, lihat." Alvin mengetik kata kunci di mesin pencarian di ponselnya dan mendapatkan jawaban yang dia inginkan, yang sayangnya menghasilkan jutaan web dari berbagai penjuru sumber.

Ivy tertawa mengejek dan mencemoh, "Itu yang kamu maksud cerdik? Hah! Dasar anak jaman sekarang, dikit-dikit googling. Apa-apa dicari di sana. Mental instan."

Alvin yang tidak mau kalah ikut menyindir balik. "Kamu terdengar seperti nenek-nenek saja, Ivy. Namanya juga hidup di zaman moderen. Memangnya kamu kira aku akan pergi ke perpustakaan dan mencari buku telepon, begitu? Dasar kuno."

"Coba aku bisa menyentuhmu, aku akan--ah, benar juga. Aku kan bisa menyentuhmu, jadi ...." Ivy mengayun-ngayunkan tangannya, bersiap untuk melayangkan tinju ke wajah Alvin, yang tentunya segera membuat Alvin mundur teratur.

"Apa yang kamu coba lakukan, woi! Jangan main-main denganku."

"Loh? Tapi kita kan memang sedang 'bermain', Alvin." Seringai lebar tampak jelas di wajah Ivy dan semakin meyakinkan Alvin bahwa gadis itu akan benar-benar meninju dengan kepalan tangan mungilnya.

Alvin menghela napas panjang. "Kamu keras kepala sekali. Pertama kalinya aku bertemu dengan cewek model gini."

"Oh, benar kah? Aku anggap itu sebagai sanjungan. Senang juga bertemu denganmu, Alvin. Cowok yang burungnya kecil--"

"Weh! Jaga mulutmu, cewek napsuan!" Teriakan dari Alvin berhasil menarik perhatian orang sekitarnya, sebab dia seolah berbicara dengan tiang listrik yang berada tepat di sebelah Ivy. Sontak Alvin malu dan membuatnya lari terpincang-pincang. Dia ingin menghilang saja dari sana.

"Hahaha! Aku suka bersamamu, Alvin. Seru!" Ivy yang berlari kecil-kecil di belakang pemuda itu tersenyum puas.

"Awas ya ... akan kubalas. Pasti," bisik Alvin sambil memasang tudung dari jaketnya dan mempercepat langkah yang terseok keluar dari lapangan itu.

*** *** ***

Lima jam telah berlalu, dan Alvin masih saja tidak menemukan target yang dimaksud.

Dia terkulai lemas di sebuah kafe indoor dengan nuansa terbuka dengan alam. Meski di dalam, dinding yang memisahkan antara dunia luar yang terik dengan dalam ruangan yang sejuk, digantikan oleh kaca besar dari ujung ke ujung. Seolah dia sedang berada dalam rumah kaca, bukannya tanaman yang ada di dalam sana, namun kursi-kursi taman yang dijejer rapi mengelilingi lima sampai tujuh meja bundar kaca, dengan sebuah konter besi panjang yang berpasangan dengan kursi-kursi tinggi di sejejerkan di depannya.

Bisa dibilang ini pertama kalinya Alvin datang ke sana, tapi dia tidak ingin memperlihatkan akan kekagumannya pada interior yang estetik di sana. Sebab Ivy tampak sangat senang berada di sana. Dengan sepasang matanya yang berbinar-binar memandang setiap bagian dari kafe bertema rumah kaca itu.

"Wow ... 10 dari 10! Salut dengan desainer dan orang-orang yang membangun tempat ini. Bukan cuman pelanggan yang suka berada di sini, aku yakin para pegawainya juga pasti bangga bekerja di sini."

"Biasa aja kali. Kafe yang bagus-bagus kan juga sudah menjamur di mana-mana," ucap Alvin sembari menatap kertas menu yang tersedia di atas meja.

"Hmph! Susah memang bicara sama orang yang tidak sefrekuensi. Ah, atau bisa dibilang seorang penyendiri seperti dirimu."

"Apa maksudmu, hah? Aku bukan penyendiri. Setiap hari aku selalu membuat konten untuk ditonton ratusan ribu orang."

"Ya ... tapi di dalam kamar. Tidak berinteraksi 'langsung' dengan mereka. Kan beda antara berkomunikasi lewat daring dengan tatap muka."

"Bacot banget sih kamu--" Alvin segera menghentikan ucapannya ketika seorang pelayan datang menghampiri mejanya, seorang pria tinggi yang mengenakan kemeja hitam putih dibalut celemek barista itu tersenyum ramah kepada Alvin.

"Silakan, mau pesan apa?" Pelayan itu meletakan segelas air putih di depan Alvin dengan elegan. Lalu berdiri tegak di samping kursi yang di duduki pemuda itu. "Untuk hari ini, kami ada promo khusus untuk paket makan siang. Apa Anda tertarik?"

Alvin melihat sebuah tanda panah merah besar yang tertempel di halaman kedua dari menu tersebut, menunjuknya dengan telunjuk. "Yang ini, ya?"

"Benar."

Paket tersebut terdiri dari Croissant Tuna dan segelas kopi panas yang menurut pemuda itu tidak cocok untuk makan siang setelah berjalan berputar-putar lima jam nonstop. Tapi Alvin tidak punya pilihan lain karena dia juga terlalu lelah melihat seluruh buku menu dan memikirkan makanan yang akan dia santap sekarang.

"Boleh. Saya pesan yang ini dan air mineral dingin."

"Baik, mohon ditunggu." Pria itu mengambil kembali menu dan berjalan menuju belakang konter. Meninggalkan Alvin bersama cewek tembus pandang di meja sana.

Ivy yang sedari tadi berdiri di depan meja, memutuskan duduk di kursi yang ada di hadapan Alvin.

"Loh? Hantu bisa duduk juga, ya."

"Lagi menyindir atau kamu memang bodoh sekali? Tentu saja bisa! Mau tanya apalagi? Kenapa aku berjalan dan bukannya melayang?"

"Tch ... malas sekali dihantui sama cewek judes dan napsuan begini." Alvin menselonjorkan setengah badannya di atas meja. "Ivy ...."

"Apa?"

"Target dalam misiku ini apakah orang yang juga memainkan game ini atau bisa siapa saja?" Alvin kembali duduk tegak di kursinya dan menatap lawan bicaranya dengan serius.

"Kabar baik untukmu, hanya mereka yang juga berpartisipasi dalam game ini."

"Ahhhh ... tetap saja aku tidak tahu siapa itu."

"Masa? Kamu pasti bisa. Sekali melihatnya, kamu bakal paham."

"Hah? Masa?"

Suara bel yang ada di pintu depan bergemerincing, seorang pemuda gondrong dengan headphone di lehernya masuk ke dalam, dengan sebuah tulisan melayang di atas kepalanya. Sesuatu yang seharusnya segera disadari semua orang yang ada di sana, namun hanya Alvin dan Ivy yang dapat melihatnya dengan jelas.

Tertulis jelas nama dari pengunjung baru itu. Namanya adalah Nigel.

Apa kalian sudah mulai suka dengan tokoh yang ada di GO?

Tuliskan kesan kalian di komentar, ya!

Sampai jumpa di bab berikutnya!

*** *** ***

Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top