Babak 8: Dipendam
"Akhirnya! Ada dunia di mana fiksi dan realita menyatu!" teriak Cass bersemangat.
"Kok kamu malah senang? Ini berbahaya, tauk," omel Ann kepada Cass yang sudah kembali duduk di kursi setelah mengayunkan tangannya ke sana kemari saking kegirangan.
Cass mendengus kencang, tampak bersikap sombong di depan kawanannya. "Tau, tau, makanya kalian sangat membutuhkan diriku, ya kan, Nigel?"
Nigel menghela napas dan tersenyum tipis. "Benar. Kami sepertinya harus banyak belajar darimu."
Cass terkekeh-kekeh, membuat Ann bungkam karena tidak bisa melawan. Pemuda itu pun menyambung pembicaraan, "Tapi game ini termasuk game VR, loh. Perangkat untuk kita masuk ke sana bakalan menguras dompet banget--"
Belum selesai Cass menyatakan keluhan pertamanya, Nigel segera menjawab, "Tenang, untuk itu, kita tidak perlu memikirkannya. Dari pusat akan mengirimkan bantuan untuk kita semua."
Cass berseringai lebar dan sempat membuat Tris dan Ann ngeri melihatnya. "Nigel, kalau semua ini sudah selesai, barangnya ... boleh buat kita kan?"
"Tentu saja. Itu adalah hak kita."
"YESSS! Aku suka pekerjaan ini!" Cass tertawa terbahak-bahak dan semakin membuat kedua gadis di dekatnya menatapnya dengan jijik.
"Ini nih, curi-curi kesempatan. Awas jadi kebiasaan, dasar bibit-bibit koruptor," sindir Tris.
"Mau kamu katai aku apapun, silakan. Aku tidak peduli. Yang kupikirkan hanya teknologi canggih yang akan segera jatuh ke tanganku."
Zea mulai bosan dengan Cass yang makin lupa akan daratan, dia mencoba mengalihkan topik pembicaran. "Nigel, kamu sudah temukan siapa 'orang' yang dimaksud itu?"
Nigel menggeleng lemah. "Tidak. Para atasan hanya memberitahu itu saja."
"Hadeh ... benar-benar mereka nih, langsung lepas tangan begitu saja. Semua pekerjaan dilimpahkan sama kita semua. Masa kita harus mulai dari nol, sih."
Senyuman lirih tampak di wajah Nigel. "Apa boleh buat, Zea. Masih syukur kita diberi kemudahan untuk mengakses informasi dari mereka, kan?"
"Iya sih, tapi ... argh! Aku jadi jengkel. Dan kamu juga Nigel, jangan segampang itu menerima permintaan mereka. Aku tahu kamu selalu diiming-imingi sesuatu seperti; 'mungkin orang yang bertanggung jawab atas kematian pamanmu adalah target misi ini'. Aku yang malah muak dengan dirimu yang bertingkah seolah bertanggung jawab akan segalanya."
Pernyataan menusuk Zea seketika membungkamkan grup itu. Ann dan Tris menatap Zea dengan jengkel, sedangkan Cass bersama Xanor menggeleng tidak percaya. Bisa-bisanya dia mengungkit pembahasan sensitif kepada sahabatnya sendiri di depan orang lain.
Namun, respon yang diberikan Nigel makin membuat Zea naik pitam.
"Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu bukan diriku, Zea," balas Nigel bersama senyuman yang dipaksakan. Terlihat sangat jelas matanya menunjukan rasa pedih yang amat mendalam.
"Tch! Aku mau cari udara segar. Di sini sesak banget, sampai aku mau mual." Zea langsung angkat kaki dari sana, berjalan menjauhi teman-temannya tanpa menoleh sedikit pun.
Selepas depresi yang berkepanjangan, Nigel sering memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja. Seolah perasaannya sama dengan 'bakat' dari tubuhnya, tidak bisa merasakan rasa sakit, atau malah tidak mengenalnya sama sekali. Padahal, semua orang bisa langsung tahu kalau pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.
Zea yang paling tidak tahan akan perubahan yang dialami Nigel. Parahnya lagi, mereka sempat beragumen berat akan hal itu, beberapa hari sebelumnya.
"Kamu kira dengan menyembunyikannya, semua masalah akan menghilang terbawa arus waktu? Men, naif juga ada batasannya. Kalau kamu terusan seperti ini, aku jamin, aku tidak akan peduli lagi denganmu. Ingat itu baik-baik."
Zea berkata seperti itu karena dia merasa keberadaannya sudah tidak dibutuhkan lagi oleh Nigel. Seolah seluruh harapan telah menghilang bersamaan dengan keberadaan Nia. Lenyap tak bersisa sehingga tidak ada waktu untuk mengeluh atas kemalangan yang dia alami. Dan Zea yang ingin membantu Nigel seolah dianggap sebagai orang luar dalam kehidupannya.
"Umm, Nigel." Ann membuyarkan Nigel yang masih menatap punggung Zea yang semakin lama mengecil dari pandangannya. "Sebaiknya kamu lebih jujur pada perasaanmu sendiri. Tidak baik memendam beban terus-terusan. Kami selalu ada di sini, bersamamu."
Nigel menoleh ke Ann dan menggeleng cepat. "Aku baik-baik saja, Ann. Sungguh."
"Benarkah? Tolong, jangan kamu bohongi dirimu sendiri. Kami saja sudah bisa tahu kamu sedang tidak berkata apa adanya."
Tris mendecahkan lidah dan mengambil pisau lipat milik Cass yang tergeletak di atas meja. Kemudian, tanpa ragu, mengarahkannya ke wajah Nigel. "Kalau kamu masih keras kepala begitu, jangan sampai menyesal kalau ada lagi sesuatu yang berharga buatmu lenyap. Kamu itu seperti tidak bisa belajar dari kesalahan dahulu. Lihat juga ke sekitarmu, orang-orang yang peduli padamu. Mereka rela mendengarkan apapun yang ada di pikiranmu tanpa bayaran sepeserpun. Tapi, kalau kamu mengabaikannya terus, tentu mereka akan merasa bahwa tidak ada gunanya mereka ada di dekatmu terus. Camkan itu baik-baik, Nigel."
Kali ini, Nigel tersenyum lembut. Sebuah ekspresi yang tulus dari lubuk hatinya. "Iya, akan aku ingat baik-baik. Terima kasih, Tris."
Tris yang tidak menyangka dengan balasan itu, mengercapkan matanya beberapa kali dan membuang muka. "Humph! Aku tidak bakal mengulanginya lagi. Jadi aku sudah lepas tangan akan sikap menyebalkanmu itu."
Gadis itu segera menyibukan dirinya dengan mengupas sebutir mangga yang ada di sana, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Jadi, mau kita lanjutkan pembahasan ini tanpa Zea?" tanya Xanor ke Nigel.
"Sepertinya begitu. Tapi tenang saja, aku yakin, dia pasti bakal membantu kita setelah ini."
*** *** ***
Alvin duduk tertunduk di atas tempat tidurnya, berusaha mengendalikan napas dan pikirannya agar kembali sesuai dengan irama yang tenang. "Biar aku ulangi kembali apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan permainan mengerikan ini," ucap Alvin yang masih bergetar.
Kali ini dia mencengkram pergelangan tangannya sekuat tenaga. Denyut nadinya bisa dia rasakan sendiri. Dia mulai berhitung, menghitung tiap detik di dalam hati. Tiba di hitungan kesepuluh, dia membukakan kelopak matanya dan menatap Ivy yang terlihat sangat berbeda darinya.
Terlalu tenang ... sampai terlihat seram bagi pemuda itu.
"Misi ini akan terus diperbarui setiap 24 jam, jika kita berhasil menyelesaikannya, maka kita akan mendapatkan sebuah kotak misteri, seperti itu?"
"Betul. Isinya memang acak, tapi kita bisa diuntungkan dengan apa yang ada di dalam sana. Bisa saja senjata, pelindung, uang, skill (1), sampai ... ke benda yang diincar oleh semua player; jiwa Sang Penyihir," jelas Ivy dengan mimik wajah serius.
"Jadi, lawan utama kita adalah seorang penyihir?"
"Setahuku, ya. Tapi wujud dan seperti apa rupanya, aku juga sedang menyelidikinya."
"Dan jika kita tidak berhasil menjalankan satu misi saja ... keberadaanku akan perlahan menghilang."
"Ya. Satu per satu, apa yang penting bagimu akan menghilang dan jika dibiarkan terus, maka kamu akan seutuhnya lenyap dari dunia ini."
"Apa maksudnya dengan 'penting'? Apa aku akan kehilangan anggota tubuh? Keluarga? Lagi?"
Ivy memilih untuk memalingkan mata ke sudut ruangan, dia tampak menghindar. "Entahlah. Bisa jadi."
"Kamu sebenarnya siapa, Ivy?"
"Aku ... juga ingin tahu itu. Percayalah."
Ivy tidak menatap ke kedua mata Alvin, membuat pemuda itu ragu untuk mempercayainya. Apalagi dia tidak bisa mengetahui siapa saja 'player' yang bernasib dengannya. Apakah mereka juga mengalami kejadian yang sama sepertinya atau lebih parah dari ini?
Tidak ada pilihan selain mengikuti arahan Ivy. Untuk sementara dia harus mempercayai gadis misterius itu.
"Apa aku tidak bisa memilih atau libur sehari saja untuk tidak menjalankan misi?"
Ivy menoleh kembali ke Alvin dengan tatapan yang intens. "Tidak bisa. Kamu harus melakukannya. Apapun yang diberikan, kamu harus menjalankannya."
"Sial. Ini sih bukan lagi permainan yang menarik. Tidak ada namanya restart (2) atau kesempatan kedua. Sudah seperti takdir hidup dan matiku."
"Lebih tepatnya, permainan ini seperti mengatur nasibmu. Sekali dadu dilemparkan, kamu tidak akan bisa mundur lagi."
"Heh ... semacam game of life (3)? Atau monopoli (4)?"
Kali ini Ivy tersenyum kecil, wajahnya yang muram perlahan kembali normal. "Sepertinya kombinasi keduanya, malah pencampuran dari berbagai jenis permainan."
"Hah? Gila! Apa developer game ini maniak segala jenis permainan--ah, tunggu dulu. Bagaimana dengan email itu?"
"Email apa?"
"Email dari developer itu! Dia yang sudah mengirimkan benda terkutuk kepadaku. Pasti dia pelakunya, kan? Bagaimana kalau kita melacaknya dan menuntut akan tindakannya ini?"
Ivy menghela napas panjang, pertanda buruk bagi Alvin. "Tidak, kamu tidak bisa."
"Kenapa?"
"Kamu tidak punya bukti kuat, Alvin. Ditambah lagi, itu adalah ide buruk. Menyerang musuh utama secara terang-terangan, bisa saja dia akan segera membereskanmu sampai mampus sebelum permainan dimulai, ya kan?"
"Ah ... benar juga. Tapi ... masa kita harus mengikuti maunya mereka terus-terusan? Sama saja kita bermain di atas telapak tangan mereka, sesuai dengan harapan dari permainan ini."
Kali ini Ivy tersenyum miring, berucap dengan nada bangga, "Tidak, kita akan melawan. Dengan cara baru."
"Apa itu?"
"Pertama, kamu harus menyelesaikan misi ini. Kedua, kamu mencari 'player' lain. Dan terakhir ...." Ivy terdiam sejenak, seolah ucapannya tercekat di ujung lidah.
"Terakhir apa?" tanya Alvin tidak sabaran.
Ivy menelan ludah dan kemudian melanjutkan, "Terakhir, kamu harus bekerjasama dengan mereka. Menyelesaikan misi bersama sampai kalian bisa lebih kuat untuk menemukan semua jiwa sang Penyihir. Dengan begitu, kita bisa menghentikan kegilaan ini."
(1) Skill: Kemampuan unik yang dimiliki oleh masing-masing hero/player. Yang artinya semua karakter memiliki skill berbeda dengan memiliki bentuk dan fungsi yang sangat beragam. Bisa saja membantu dalam berpetualang, berdagang, hingga bertarung.
(2) Restart: Cara yang digunakan untuk mematikan suatu perangkat lalu menghidupkan perangkat tersebut secara otomatis oleh sistem.
(3) Game of Life: Permainan yang satu ini telah ada sejak 150 tahun yang lalu, juga telah menginspirasi banyak orang tentang cara mengatur keuangan. Seorang pemain keluar sebagai juara apabila dia memiliki karir terbaik dan jumlah kekayaan tertinggi. Sama halnya seperti di kehidupan nyata.
(4) Monopoli: Salah satu permainan papan yang paling terkenal di dunia. Tujuan permainan ini adalah untuk menguasai semua petak di atas papan melalui pembelian, penyewaan, dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan.
*** *** ***
Duh, aku jadi rindu main board game, tapi mau main sama siapa ya? Semua temanku pada sibuk semua huhuhu. Memang sih, permainan lama dan kekanak-kanakan tapi ada rasa yang enggak bakal terlupakan selama bermain. Pasti ada aja sensasi yang berbeda daripada game online atau ponsel. Beda banget deh.
Atau ... aku main sama kalian aja, ya wkwkwkw. Ide bagus kan? Bisa main bareng pembaca, kayak seru hehehe.
Jangan lupa dukung terus cerita ini! Semoga bab berikutnya bisa segera update sebelum bulan depan. Amiiin.
*** *** ***
Author note:
WARNING!
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.
Thank you,
Hygea Galenica
--- --- ---
PERINGATAN!
Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.
Terima kasih,
Hygea Galenica
*** *** ***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top