Babak 5: Fobia
"Apa yang kamu rasakan sekarang, Alvin?" tanya dokter Tino, psikiater sekaligus sahabat Jeremy yang bekerja di RS Lovelette.
Alvin terdiam cukup lama. Lima menit kemudian, dia menjawab, "Kosong. Hampa. Mati."
Pemuda itu menundukkan kepala selama sesi terapi, menghindari kontak berlebih pada konsultan kejiwaannya itu. Untung saja dokter Tino sabar menunggu dan menerima respon apapun yang diberikan Alvin meski minim.
"Bagaimana bisa kamu merasa mati, padahal tubuhmu masih menandakan kehidupan. Kamu masih ingin hidup, ya kan?"
Alvin mengangkat wajah, senyum lirih terpatri begitu menyedihkan. "Tidak ... aku mau mati saja. Kalau, aku berlari ke jendela sana, mendobraknya sampai pecah, dan jatuh ... aku bisa langsung mati, kan, Dok?" tanya Alvin sembari memandang jendela besar yang ada di sisi kiri ruangan, memperlihatkan pemandangan kota Malang yang terik dan ramai. Berbeda dengan bagian dalam ruangan dokter Tino, yang sepi, suram, namun elegan dalam waktu bersamaan.
Di belakang kursi Alvin, berjejer rak-rak yang dipenuhi ratusan buku yang dirawat sangat baik. Seolah tidak dibiarkan ada setitik debu jatuh ke sana. Dinding kayu berwarna kelam yang senada dengan rak buku, serta pencahayaan yang hanya mengandalkan sinar matahari alami yang melewati jendela raksasa yang tadi di tunjuk Alvin. Entah dokter Tino sengaja tidak menyalakan lampu atau itu adalah kebiasaanya, tapi Alvin merasa nyaman berlama-lama di sana.
Itulah yang dia takutkan sekarang. Ketika waktu konsultasinya berakhir dan terpaksa dia keluar dari tempat yang aman dan tentram itu. Di mana begitu banyak kemungkinan buruk yang akan menimpanya jika keluar dari sana.
"Hmm ... ini lantai empat, jadi kemungkinannya sekitar 80%. Sisanya, kamu bisa saja sekarat, mengalami patah tulang, dan pendarahan hebat. Bukan cara mati yang bagus, kalau kamu tanya pendapatku," jelas dokter Tino sambil tersenyum ramah.
Alvin mengerutkan kening dan dokter Tino hanya mengangkat kedua bahu seolah tidak merasa bersalah dengan ucapannya tadi.
"Pasti kamu mau bilang, kok psikiater bilang begitu sama pasien yang ingin bunuh diri? Ya kan? Kamu mirip sekali dengan Jeremy, Alvin. Tidak mengerti selera humorku," ucap dokter Tino yang dibarengi kekehan kecil. "Ah, tapi bukan berarti aku membenarkan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Bukan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mengakhirinya sekarang bukanlah jawaban yang tepat."
"Dok, apa ... rasa takutku akan lenyap seiring berjalannya waktu? Sampai sekarang aku takut naik mobil, juga ... melihat truk di jalan raya."
"Tentu saja. Selama kamu punya keinginan besar untuk pulih, pasti kamu bisa melakukannya."
"Ya, aku ingin sekali sembuh, Dok. Sungguh ...."
Dokter Tino bangkit dari kursi, berjalan mendekati Alvin, dan menepuk bahu pemuda itu. "Bagus. Yang penting, kamu patuh minum obat dan rajin mengikuti sesi terapi. Agar potensi kesembuhanmu meningkat."
"Dok, aku mau tanya sesuatu."
"Ya? Apa itu?"
"Bagaimana caranya menghilangkan fobia? Apa benar dengan menghadapinya secara langsung?"
Dokter Tino mengulas senyum lembut dan menjawab, "Salah satunya. Tapi aku tidak pernah menyuruhmu untuk melakukannya. Yang terpenting adalah ... mengendalikan pikiranmu. Rileks ... tenangkan perasaanmu, pikiranmu. Tarik napas yang dalam, hitung perlahan-lahan, bayangkan hal-hal baik atau menyenangkan, penuhi kebahagiaan di dalam benakmu, lalu hembuskan, usir semua rasa gelisah itu."
Kali ini, dokter Tino menyentuh kedua bahu Alvin, dan mengajaknya untuk mengikuti instruksinya. "Tarik napas yang dalam ... satu ... dua ... tiga ... empat ... dan lihat apa yang membuatmu tersenyum, lalu hembuskan dengan seluruh ketakutanmu. Semua akan baik-baik saja, Alvin. Percayalah."
*** *** ***
Alvin mengerjapkan matanya, ruangan dokter Tino berubah menjadi langit-langit kamarnya. Lampu LED berwarna jingga menyinari ujung ke ujung. Pemuda itu baru sadar, kalau selama ini dia terbaring di atas lantai kamarnya.
Dengan linglung, Alvin mengucek kedua matanya, dan tidak menyangka ada sesosok perempuan berambut pendek sebahu dan bergaun putih duduk di kursi gaming-nya. Awalnya Alvin mengabaikannya, mengira dia masih dalam pengaruh game yang baru saja dia mainkan. Tapi gadis itu menyadari Alvin yang membalikan badan, meraih botol minumnya di nakas, tidak mempedulikan dirinya.
"Hei! Kamu bisa melihatku, kan? Jangan kacangin aku!" Sontak Alvin terbatuk-batuk dan gadis itu pun melanjutkan, "Nah, tuh, kamu sudah enggak bisa mengabaikan aku lagi. Kamu bisa juga mendengarku, ya kan? Jangan coba-coba menipu dirimu lagi."
Kali ini, Alvin menoleh dan memasang kuda-kuda untuk melindungi dirinya. Dia mencengkram botol minumannya yang terbuat dari besi yang cukup berat sebagai senjatanya. "Si-siapa kau! Kenapa bisa ada di dalam kamarku!"
Gadis misterius itu bangkit dari tempat duduk dan menyilangkan kedua tangannya. Tampak dia terlihat judes, tapi ada kesan manis dari pipinya yang tembeb. "Aku juga tidak tahu akan ikut terlempar ke sini. Jangan kira aku yang sudah melakukan itu semua padamu."
"Hah? Melakukan apa? Apa yang terjadi padaku--" Alvin mengingat kembali kejadian yang baru saja menimpanya. Cepat-cepat dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari barang sialan yang telah memperlihatkan hal yang paling dia takutkan.
Gadis itu memiringkan kepala dan seolah bisa membaca isi pikiran Alvin, dia berkata, "Kamu pasti sedang mencari satu set benda yang mirip kacamata itu, kan? Kamu salah mencarinya. Benda itu sudah sedari tadi tertanam di kepalamu."
"Apa? Tidak masuk akal ... benda sebesar itu tidak mungkin bisa langsung menyatu dengan--"
"Kepalamu, ya. Benda itu sudah tertempel di sana dan tidak bisa kamu lepas lagi. Selamat datang di nerakaku."
Alvin menyentuh kepalanya, mencari perangkat yang tadi terpasang di wajah dan telinga yang sayangnya sudah lenyap seketika. Kemudian dia bergegas mencarinya di dalam kardus hitam yang masih ada di dekat meja kerja dan tidak menemukan benda itu di manapun.
"Sudah kubilang, mau dicari ke mana, benda itu sudah menyatu dengan mata, pendengaran, dan saraf-saraf otakmu."
"Kenapa ... ini ... bisa terjadi." Alvin yang menyerah, menjatuhkan diri di lantai dan menundukan kepalanya dalam-dalam. Kejadian demi kejadian ganjil terus menghampirinya dan hal itu membuatnya pusing. Serasa kepalanya akan meledak saat itu juga.
"Coba jelaskan ... apa yang sebenarnya terjadi padaku? Setidaknya kamu tahu sedikit, bukan?" tanya Alvin sembari mendongak dan menatap ke sepasang mata yang tampak tenang di sana.
"Kabar baiknya, kita senasib dan aku tahu beberapa hal. Kabar buruknya, aku lebih sial dibandingkan dirimu. Jiwaku masuk ke dalam game terkutuk ini dan ragaku hilang entah ke mana. Satu paket dengan ingatanku sebelum semua ini terjadi."
"Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?" Belum sempat gadis itu menjawab, pintu kamar Alvin terbuka.
"Alvin? Kamu sibuk? Aku mau keluar belanja bulanan. Tolong jaga rumah ya." Qaila berdiri di lorong mengenakan kaos berbalut kardigan berwarna pastel. Kali ini dia mengenakan celana jins cokelat karena Qaila biasa pergi belanja dengan memesan ojek online dan dijemput Jeremy dengan mobil.
"Alvin? Kamu baik-baik saja? Kenapa badanmu basah sekali dengan keringat?" tanya Qaila lagi dan kali ini dia masuk ke dalam kamar.
"Ila! Kamu lihat itu kan?" Alvin melayangkan jari telunjuknya ke gadis misterius yang masih berdiri di tengah ruangan.
"Itu?" ucap Qaila dan gadis misterius tadi secara bersamaan.
Qaila menoleh ke titik yang ditunjuk Alvin, namun wanita itu hanya tersenyum miring dan berdecap. "Kamu habis liat apa? Jangan biasakan main game horor terus. Kebawa terus kan ilusinya. Dahlah, aku pergi dulu, ya! Dan pergi mandi sana, kamu bau banget!" Qaila berlenggak pergi sambil menutup pintu kamar dari luar.
"Hei! Aku bukan 'itu'! Aku juga manusia--eh, tunggu ... sekarang aku bukan manusia, ya. Ada benarnya juga." Gadis itu mengelus dagu dan berpikir sejenak. Lalu melanjutkan, "Intinya, aku melihatmu di dunia metaverse dan menyadari kalau kamu salah satu 'player' karena ada tulisan yang melayang di atas kepalamu. Namamu ... Alvin, kan?"
Mata Alvin membelalak dan spontan berlari mundur, menjauhi gadis itu. "Kenapa kamu bisa tahu? Dan kenapa Qaila tidak bisa melihatmu?"
"Coba kamu bercermin, tuh, kamu pasti bisa melihatnya juga. Tapi cewek yang tadi dapat dipastikan tidak bisa melihatnya."
Alvin mengikuti perintah gadis itu dan berjalan menuju cermin besar yang ada di sudut ruangan. Benar yang dikatakannya tadi, ada sebuah tulisan dengan huruf kapital melayang di atas kepala Alvin. Ketika di sentuh, benda berwarna putih itu akan memburam dan hanya kehampaan yang ada di sana.
"Hal pertama yang kamu harus tahu, kamu bisa segera mengenali 'player' dengan tulisan yang mirip seperti itu. Kedua, 'player' hanya bisa melihat 'NPC' (1), selain itu tidak bisa. Contohnya seperti tadi."
"Jadi ... kamu 'NPC'?"
Gadis itu memalingkan pandangan, seolah tidak ingin menatap Alvin. Berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Seperti itulah ...."
"Tapi, kamu bilang, kamu juga manusia. Jadi siapa saja yang bisa menjadi 'player' dan 'NPC'?"
"Tch! Pertanyaanmu terlalu banyak! Aku jadi pusing menjawabnya. Sekadar peringatan padamu, aku bukan NPC Q&A yang tahu segala hal. Aku juga korban di sini, sama sepertimu."
"Korban dari benda tadi?"
"Yup, aku juga mengenakan benda yang sama denganmu. Makanya, selamat datang di nerakaku, Alvin. Kali ini kamu harus menyelesaikan quest setiap hari, atau kamu akan selamanya terjebak atau mati mengenaskan."
"Aku ... masih belum paham. Lalu, kamu ini siapa? Tidak adil sekali kamu tahu namaku sedangkan aku tidak."
"Oh, tadi aku enggak kasih tahu, ya?"
"Tidak! Kamu dari tadi menjelaskannya ke mana-mana, lompat sana kemari, dan aku makin bingung, tauk! Jadi, siapa namamu?"
Gadis itu tertawa dan memainkan helai rambutnya dengan jari-jari lentiknya. "Ivy. Panggil saja aku seperti itu."
(1) NPC: Karakter non-pemain (bahasa Inggris: non-player character, disingkat NPC) adalah karakter dalam permainan atau permainan video yang tidak dikendalikan oleh pemain.
*** *** ***
Yang mau kenalan lebih dalam sama dokter Tino, bisa langsung ke akun keduaku; Roxana Musai dan baca Me(n)tal Love! Dia adalah tokoh cerita favoritku hehehehe.
Apa yang sebenarnya menimpa Alvin? Siapa Ivy? Apa dia berbicara jujur atau ....
Sampai jumpa di bab berikutnya! Jangan lupa dukung terus cerita ini, ya!
Jeremy makan siang bareng dokter Tino. ❤️
Ini sosok Ivy yang akan sering menemani Alvin ke manapun dia pergi. 😘
*** *** ***
Author note:
WARNING!
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.
Thank you,
Hygea Galenica
--- --- ---
PERINGATAN!
Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.
Terima kasih,
Hygea Galenica
*** *** ***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top