Babak 22: Kegelapan Terdalam
Sudah lebih dari sejam mereka berdiam diri di dalam ruangan kafe yang sepi. Bukan hanya di bagian dalam, keadaan di luar tidak kalah senyapnya. Malah mereka sempat berpikir, ke mana semua orang pergi? Apa mereka sengaja menjauh dari sana? Apakah sudah ada peringatan tempat itu berbahaya?
Tapi mereka sendiri tidak tahu, bahaya apa yang sedang mengintai.
"Hei, apa ... kita harus mengecek keluar?" tanya Cass ke orang-orang yang bernasib sama dengannya. Mereka sedang duduk di kursi kafe denganekspresi bosan setengah mati.
Alis Clarisa naik sebelah, menatap Cass seolah sedang menertawai sarannya tadi. "Kita? Bisa kamu saja?"
"Lah? Bukannya tadi kamu tidak percaya dengan ucapan Pak Erik? Sekarang percaya?"
"Ke-kenapa memangnya! Aku juga mengantisipasi kemungkinan kalau ternyata dia membuat pernyataan menjebak!"
"Tch, tante-tante cerewet," gumam Cass yang kemudian mengalihkan pandangan ke Xanor. "Ayo, kita harus mengeceknya. Bisa mati penasaran kalau diam terus."
"Tunggu, biar aku ikut," seru Alvin, cepat-cepat melangkah ke dekat seniornya itu. Namun dia segera berhenti ketika pandangan Cass dan Xanor berubah. "Apa? Jangan bilang aku akan hanya menghambat kalian?" Lalu Alvin menyadari arah pandangan mereka ke kakinya yang lumpuh. "Oh? Atau kalian mengasihaniku? Maaf-maaf ya, aku tidak butuh simpati kalian. Gini-gini aku--"
Bibir Xanor sudah membuka namun Cass sudah lebih dulu berbicara. "Tidak. Ayo, semakin banyak orang, semakin bagus."
"Masa? Bukannya semakin buruk?" kata Hana yang sedari tadi cuman bisa mengeluh.
Raka yang lengket dengan 'teman' perempuannya itu berkata, "Tenang saja, aku akan selalu ada di sisimu."
"Benarkah? Kamu memang bisa diandalkan, Raka."
Clarisa yang melihat kemesraan kedua muda-mudi itu membuang muka dengan sebal. Dia memutuskan untuk pindah tempat duduk beberapa meja jauhnya dari mereka berdua.
Dua pasangan yang sedang kasmaran, senior dan junior sekampus, dan seorang tante pemarah; kombinsai orang-orang yang diragukan dapat bekerjasama dalam sebuah permainan bertahan hidup.
Ketiga pemuda itu berjalan beriringan ke depan pintu kafe. Alvin dan Cass sempat ragu, mereka tahu kalau permainan ini akan melakukan hal gila pada pemainnya sehingga tanpa mereka ucapkan, mereka percaya dengan peringatan yang diberikan Erik. Tapi permainan tidak akan seru jika mereka tidak melakukan sesuatu, menyelidiki apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Mereka bertiga sudah berada di depan pintu kaca, gagang pintu yang terbuat dari besi itu telah menyerap uap dingin dari pedingin ruangan. Xanor tanpa ragu menyentuh gagang pintu itu dan secara naluriah memandang keluar. Sedikit celah terbuka, tiupan angin hangat lolos masuk ke dalam dan secara tiba-tiba Xanor terpaku di tempat.
"Xanor? Ada apa?" tanya Cass. "Xanor?"
"Tidak ...."
"Tidak, apa?"
Wajah Xanor memerah kemudian dia berteriak amat kencang. "Tidak! Kamu bukan diriku!"
Spontan Cass mencengkram pergelangan tangan dari pemuda tinggi menjulang itu dan mendapati apa yang seharusnya tadi tidak ada di sana. Di seberang pintu kaca itu. "Astaga!"
Seperti susunan domino yang terjatuh, Alvin segera menahan tubuh Xanor sebab seniornya itu terjatuh lemas ke lantai, seakan terkena serangan jantung. Dan Alvin akhirnya mengetahui apa yang dilihat kedua seniornya itu.
Sosok Xanor, bukan yang sekarang berada di sampingnya, yang pendiam, baik, dan peduli pada sekitarnya. Yang ada di luar sana adalah Xanor yang tersenyum lebar, setiap ujung bibirnya tertarik sampai ke daun telinga. Tubuhnya basah dengan cairan merah, tangan kanannya memegang sebilah pisau tajam yang berkilauan terkena sinar matahari sore.
Mereka sontak menarik diri, menjauh dari pintu. Cass dan Alvin berusaha sekuat tenaga menarik Xanor yang meringkuk lemah, tak dapat menahan ketakutan yang menyerang tubuhnya.
"Itu bukan aku! Percayalah ... itu bukan aku." Xanor terus mengulang-ulang ucapannya hingga berangsur-angsur berubah menjadi gumaman yang menyedihkan.
--- --- ---
Selama ini Xanor telah menutupi rahasianya begitu rapat. Sampai-sampai teman dekatnya, terutama Cass--orang yang paling sering bersamanya, tidak tahu menahu akan hal itu. Semua teman-temannya menganggap Xanor adalah orang yang mudah dibaca, tidak banyak maunya, dan bisa diandalkan. Pemuda yang punya rutinitas olah raga yang teratur, tubuh binaragawan impian lelaki seumurannya, tapi memiliki hobi keibuan seperti menjahit, memasak, dan bersih-bersih ini akan mengatakan isi pikirannya dengan kalem dan jelas.
Sayangnya itu adalah topeng tua yang sudah dia pasang selama bertahun-tahun lamanya, mengakar hingga tidak ada celah yang terlihat, yang ketika disentuh oleh hal-hal yang berkaitan dengan ayahnya akan berubah rapuh dan rusak di saat itu juga.
Ayah Xanor ternyata adalah seorang pembunuh dan dijatuhi hukuman seumur hidup akibat telah merenggut nyawa satu keluarga di sebuah desa kecil yang jauh dari kota Makassar. Kejadian mengerikan itu terjadi saat Xanor baru masuk awal masa balighnya.
Dia benci disamakan dengan ayahnya. Wajahnya memang mirip dengannya, tapi Xanor bersumpah tidak akan berpikir sejahat dan sekeji ayahnya. Dia peduli pada keluarganya, ibunya, teman-temannya. Karena itulah dia memilih untuk selalu membantu ibunya. Berharap bahwa dia lebih mirip dengan sang ibu dibandingkan pembunuh berdarah dingin itu. Meski hobinya itu malah terkesan feminim dan tidak kelakian, Xanor tidak peduli. Yang penting makhluk buas di dalam dirinya akan tertidur selamanya hingga tubuhnya dimakan oleh usia.
Namun akibat kejadian yang menimpanya di desa tanpa nama, di mana dia harus bisa keluar dari sana hidup-hidup, telah berhasil membuka kurungan monster itu. Dia terpaksa melakukannya. Meski hanya sesaat, namun sekali digunakan, dirinya yang berbahaya itu pasti akan kembali lagi. Entah kapan, tapi dia selalu berusaha untuk menahannya, sekuat tenaga.
Cass benar-benar tidak tahu apa yang bisa dia katakan tentang hal itu. Kepada Xanor. Kepada Alvin. Atau kepada sobatnya yang lain. Setelah menceritakan kisah kelamnya, Xanor hanya bisa meringkuk seperti siput yang ditaburi garam. Pemuda itu berbaring menyamping, membelakangi Cass dan Alvin, menempelkan lutut ke dada serapat mungkin. Dia tidak berani bertatapan dengan mereka.
Ternyata permainan kali ini adalah menguji ketahanan piskis mereka, apakah mereka bisa menghadapi kegelapan terdalam mereka, tanpa terbunuh olehnya. Keluar dari kafe sama saja membiarkan ketakutan menguasaimu. Itulah alasan Pak Erik yang sekarang masih mengurung diri di dalam kantornya, dia pasti senasib dengan Xanor. Mereka harus bisa bertahan di dalam sampai tengah malam, sebab saat itulah kegelapan bersatu dengan cahaya bulan.
"Itu gampang. Selama kita menunggu di sini sampai tengah malam. Permainan akan selesai. Yang penting menjauh dari pintu keluar, kan?" Cass membusungkan dada seolah dia berani.
Alvin mengangguk setuju. "Benar. Kita juga tidak kekurangan pangan, ada air dan makanan. Ditambah tempat ini sepertinya aman ... setidaknya kita aman dalam beberapa jam ke depan." Suara Alvin perlahan terdengar pesimis. Dia baru sadar kalau mereka hanya dilindungi dinding-dinding yang terbuat dari kaca, sesuatu yang rapuh dan keberadaan mereka terekspos jelas.
"Tenanglah, Vin. Selama ada internet dan listrik, kita pasti--" Belum selesai Cass meyakinkan Alvin, lampu-lampu kafe tiba-tiba padam. Membuat mereka semua panik dalam sekejap. Cass yang tidak mau kehilangan kekerenannya tadi kembali berujar, "Tenang, tenang, kita masih bisa pakai HP. Kita bisa meminta pertolongan ... kan ...."
Melihat Cass yang kehilangan kata-kata saat menyalakan ponselnya, Alvin merasakan pertanda buruk telah menjadi kenyataan. "Kenapa? Jangan bilang tidak ada sinyal."
"Ya ... sialan."
Aku kayaknya punya kecendrungan bikin tokoh preman tapi feminim. Kenapa ya? Apa itu tipeku? //Plak.
Cony di Pharma.con habis itu Xanor yang di sini. Astaga, hahaha.
Kalian suka juga gitu? Tanpa sadar suka tipe tertentu?
*** *** ***
Author note:
WARNING!
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.
Thank you,
Hygea Galenica
--- --- ---
PERINGATAN!
Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.
Terima kasih,
Hygea Galenica
*** *** ***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top