Babak 1: Yang Ditinggalkan

Kalau saja, setiap kehidupan diberikan kesempatan kedua, mungkin penyesalan akan lenyap tak bersisa.

Kalau saja, ada tombol reset di setiap kesempatan, mungkin kemalangan adalah kata kosong tak bermakna lagi.

Kalau saja, kita tahu akan apa yang terjadi di kemudian hari, mungkin kebahagiaan akan menjadi hal kekal untuk seluruh insan yang ada di dunia.

Sayangnya ... Tuhan tidak menghendaki hal seperti itu.

*** *** ***

Rasa remuk itu masih terasa di sekujur tubuhnya. Suara konstan dari mesin penompang kehidupan semakin membuat pemuda itu muak. Dia bisa melihat berbagai macam orang berlalu-lalang, memastikan bahwa dia masih bernapas.

Dia ingin berteriak, namun bibirnya begitu kaku dan kering. Hanya suara gumaman lemah yang lolos dari mulut yang sulit digerakan karena sebuah selang besar dari ventilator (1) menembus hingga tenggorokannya.

Hanya rasa sakit, sakit, dan sakit yang dia alami setiap harinya.

Seorang pria berjas putih mengatakan sesuatu yang begitu lembut namun juga perih bagi pemuda itu. "Kamu hebat, Alvin. Kamu harus kuat. Kamu pasti bisa sembuh. Kamu pasti akan melewati ini semua."

Kemudian sesosok pria yang amat Alvin kenal menghampirinya, menggenggam tangannya, berbicara dengan suara yang bergetar. "Syukurlah ... syukurlah kamu masih ada, Alvin. Tenang saja, kamu akan pulang bersamaku."

Apa maksudnya dengan 'ada'? Apa maksudnya dengan pulang? Apakah dia akan hidup bersama berbagai macam mesin yang menyelubungi tubuh ini sampai di rumah? Alvin tidak paham dengan maksudnya.

Seorang wanita berambut panjang bergelombang datang, menutup mulutnya dengan telapak tangan dan menggeleng pelan. Pria tadi memeluknya dan mengatakan sesuatu yang menakutkan bagi Alvin.

"Hanya dia yang selamat. Apapun yang terjadi, kita harus tetap berada di sisinya."

Perlahan, kesadaran Alvin memudar. Sebelum menurunkan kelopak matanya, pupil mata yang lelah itu bergerak ke arah kiri, melihat sang dokter menyuntikan sebuah cairan bening di daerah vena. "Istirahatlah, Alvin. Kamu membutuhkannya."

*** *** ***

Dua tahun kemudian ....

"Jangan lupa kasih like, subscribe, dan nyalakan bel notifikasi untuk bisa bergabung dalam video yang lebih seru lagi. And ... see you next time!" Alvin menekan tombol mengakhiri streaming Youtube di layar komputernya dengan penuh semangat.

Pemuda itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi gaming seharga belasan juta sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tidak terasa sudah satu jam lebih lima belas menit dia mengadakan live bersama para pengikutnya dalam sebuah game horor survival yang memiliki sistem lima pemain; empat survival dan satu pembunuh. Alvin berhasil memenangkan match (2) bersama sesama YouTuber yang dia kenal berkat kepopulerannya sebagai pedatang baru yang fenomenal.

Jumlah subscriber-nya kembali menanjak tinggi karena melakukan kolaborasi dengan para gamers terkenal. Alvin yang bisa dibilang baru masuk ke dalam pekerjaan yang paling diidam-idamkan orang banyak karena bisa bergelimpang harta cukup dengan melakukan hobi yang paling dia senangi, video game.

Pemuda itu meraih botol minum yang berdiri di samping mouse dan keyboard-nya. Suara tegukannya terdengar sampai ke telinga dan semakin membuatnya ingin menghabiskan seluruh cairan yang ada di sana. Suara ketukan berbuyi cukup nyaring dari belakangnya, membuat Alvin menaruh kembali botol yang sudah kosong di atas meja.

"Ya?" Alvin meninggikan suara agar orang yang ada di balik pintu itu bisa mendengarnya.

"Alvin ... makan. Ini peringatan terakhir! Kalau kamu masih juga--"

Belum sempat Qaila menyelesaikan ancamannya, Alvin segera membukakan pintu. Pemuda itu sontak memicingkan mata akibat sinar menyilaukan dari lampu lorong yang menyala amat terang. Matanya sudah terbiasa dengan cahaya remang-remang di dalam kamar, membuat Alvin mengucek matanya sebentar.

Di depannya, tampak seorang wanita berparas cantik dan seksi. Rambutnya hitam berkilauan, begitu pula dengan kulit putihnya yang terawat. Meskipun terlihat cemberut, namun pria manapun akan berteriak senang di dalam hati, berpikir Qaila amat cocok dengan celemek papan catur berwarna kuning putih yang sedang dia kenakan sekarang.

Alvin memalingkan wajahnya, berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh hati pada istri abangnya itu. "Sudah selesai, kok. Jangan marah-marah terus, Ila. Nanti cepat keriputan--"

Ucapan Alvin langsung terpotong sesaat wanita itu melayangkan sudip, tepat ke kusen pintu yang berada di sebelah kiri pemuda itu. Untungnya, itu hanyalah benda tumpul yang terbuat dari kayu murahan. Kalau saja itu pisau dapur, bisa tinggal nama Alvin nantinya.

"Makan atau dimakan, hah?" Tiba-tiba suara bernada rendah paling menakutkan yang pernah ada keluar dari mulut Qaila. Lalu dia melanjutkan, seolah tidak terjadi apa-apa. "Jadi, pilih yang mana?" Suara wanita itu kembali seperti semula dan sekarang terdengar lebih centil di telinga Alvin.

"A-a-aku ... i-iya ... aku akan makan sekarang." Alvin buru-buru melarikan diri, menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, sambil menyeret kakinya yang pincang ke ruang makan yang berada di sebelah kanan tangga.

Inilah alasan paling utama kenapa Alvin tidak ingin jatuh hati pada bibinya itu, dia seorang yandere (3) kelas kakap yang berhasil dijinakkan oleh adik dari mendiang ibunya.

Terlihat seorang pria sedang makan di sana terlebih dahulu. Jeremy; paman Alvin yang lebih tua sepuluh tahun dari keponakannya, namun dengan wajah baby face-nya berhasil menipu siapapun bahwa dia seumuran dengan Alvin. Baru saja menjalankan pernikahan selama satu tahun dengan Qaila, Jeremy sudah diharuskan menjadi wali untuk Alvin selepas kecelakaan maut yang menewaskan kakaknya beserta suami dan adik Alvin. Belum dikaruniai anak, Jeremy dan Qaila langsung diberi bayi besar untuk diurus bersama.

"Hei, jangan memaksakan diri untuk berjalan, Vin. Mana tongkatmu?" tanya Jeremy cemas saat Alvin memaksakan untuk berlari dengan keadaan pincang.

"Kalau di rumah enggak perlu pakai begituan, aku juga bisa jalan sendiri," balas Alvin yang menarik kursi makan dan menjatuhkan pantatnya di atas bantalan empuk yang melapisinya.

"Ya ... kamu memang bisa ...." Jeremy tampak tidak enak dengan balasan dari keponakannya tadi. Pria itu masih memandangai kaki kanan Alvin yang lumpuh akibat kecelakaan itu. Meskipun pemuda itu berhasil selamat, tapi dia harus merelakan kaki kanannya yang sudah sulit merasakan perabaan seperti kaki kirinya yang masih normal.

Bisa dibilang, Alvin adalah orang paling beruntung atau paling sial di kecelakaan naas yang menimpa keluarganya. Meski harus kehilangan kemampuannya untuk berjalan, berlari, atau berenang pada umumnya, pemuda itu masih diberi kesempatan untuk hidup. Berbeda dengan kedua orang tua dan adiknya yang tewas seketika dengan keadaan yang mengenaskan.

Akibat kejadian itu pula, Alvin menjadi sebatang kara. Meski masih ada keluarga yang berbaik hati menampungnya, Alvin hanya ingin hidup bersama Jeremy. Atau dia lebih memilih untuk hidup sendirian saja. Mendengar pernyataan itu, membuat Jeremy terpaksa pindah tugas dari Malang ke Makassar serta membawa istrinya untuk hidup bersama Alvin, sampai pemuda itu bisa lebih mandiri untuk hidup sendiri. Namun sayangnya, hal ini seperti tidak akan tercapai dalam waktu dekat.

Jeremy tahu Alvin berusaha untuk sembuh dari PTSD (4) yang sering menyerang dirinya di malam hari, tapi masih saja ada yang memicu semua itu.

Alvin tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke kampus. Dia seperti tidak suka bertemu dengan teman-temannya, apalagi dengan kondisinya sekarang. Lumpuh dan tak berdaya. Tatapan prihatin dan simpati bukannya membuat Alvin senang karena ada yang peduli padanya, malah mencabik-cabik perasaannya yang sudah hancur di hari itu.

Pemuda itu sempat berkata dengan lantang pada keluarga besarnya, bahwa maksud dari keberadaannya itu bukan berarti adalah suatu hal yang harus dikasihani terus. Dia hanya ingin terlepas dari masa lalu. Namun orang-orang selalu saja melihat ke arah kakinya, atau ke pigura besar yang terpampang di ruang tamu yang memperlihatkan sosok dirinya yang sudah mati dulu sekali, dirinya yang mati bersama keluarga kecilnya.

Jeremy menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak menyakiti perasaan Alvin. "Sudah berapa jumlah subscriber-mu hari ini?"

Secepat kilat ekspresi Alvin berseri-seri mendengar pertanyaan itu. "Wah, Kak Jer harus lihat sekarang! Sudah sampai 100.000! Bayangkan! Belum sampai setahun sudah sampai segitu. Kece!"

"Luar biasa. Artinya kamu bakal dapat silver button (5) ya."

"Iya! Aku sudah mengirim alamat rumah. Semoga cepat datang biar aku bisa pajang di kamarku."

"Tidak dilupa, kan, janjimu sama aku, Vin?" Qaila, istri Jeremy yang cantik dan tidak kalah manis dari suaminya, datang menghampiri Alvin dari belakang. Sudip yang tadi hampir mengenai wajahnya tadi sekarang ada di bahunya, dipukul perlahan menuju pipi Alvin yang mulai berkeringat dingin.

"A-ah, i-iya dong! Paket skincare, kan? Tenang. Nanti aku belikan."

Qaila tersenyum lebar dan memukul pelan kepala Alvin dengan sudip itu, seolah sebuah tongkat sihir diketukan ke seorang anak kecil yang sudah berbuat baik padanya. "Bagus ... jangan lupa belikan juga cookware untuk dapurku juga, ya. Lagi naik daun nih, dapur estetik. Aku pengen banget punya yang begituan."

Alvin meraih centong nasi dan mengambil seseondak besar nasi ke atas piringnya sembari membalas, "Ya, ya. Apa sih yang enggak buat Kak Qaila."

Mendengar pernyataan Alvin, sejenak membuat Jeremy menurunkan gelasnya dengan kasar. Qaila pun bertanya, "Kenapa? Cemburu?"

"Iyalah, habis kamu lebih mengandalkan dia daripada aku. Aku kan juga bisa beli barang begitu buat kamu."

"Uhhh, cup, cup. Sini, tak cium Misuaku (6) yang manis nan menggemaskan ini."

"Kak Jeremy enggak usah iri sama aku. Siapa juga yang mau sama cewek yandere macam Kak Qaila," jelas Alvin yang masih sibuk mengambil lauk pauk ke dalam piringnya dan membentuk kisi-kisi rapi untuk nasi serta pendampingnya.

Sudip yang Alvin kira sudah tidak akan mengganggu lagi, melayang dengan cepat dari pipi Alvin, membuat suara terpelanting yang mengerikan untuk kedua pria itu. "Kamu kira aku enggak tahu istilah itu, hah?"

"Ma-maaf, Nyai. Maafkan saya." Alvin memohon ampun pada Qaila demi keselamatan dirinya. "Kak Jeremy, ada waktu luang tidak? Ayo kita main bareng lagi. Banyak yang nyariin kakak."

Jeremy tersenyum lemah dan memijat bahunya yang tampak lelah. "Kapan-kapan, Vin. Minggu ini aku sibuk banget. Setelah ini saja, aku harus balik lagi ke RS."

Alvin mendengus dan memainkan sendok makannya di udara. "Buat apa sih kerja rodi kayak gitu? Gaji juga enggak seberapa, tapi kerjaan sudah seperti menjual jiwa dan raga."

Qaila yang mendengar sindrian itu, langusng memukul meja makan. "Hush! Jaga omonganmu, Alvin! Kita bisa hidup berkecupan gini kan berkat Jeremy juga."

"Iya, tapi kan sekarang aku juga kerja. Lebih seru dan menjajikan lagi. Apalagi Kak Jer kan jago main game model puzzle, pasti dia bisa jadi reviewer game yang bagus untuk bidang itu. Daripada kerja di sana, enggak--"

"Cukup!" bentak Qaila sambil bangkit dari tempat duduknya. "Sekali lagi kamu bilang seperti itu, listrik akan kupadamkan seharian. Ingat itu!"

"Tch! Aku mau makan di kamar aja." Alvin pergi membawa piringnya, terseok-seok menaiki tangga dan membanting pintu setelahnya.

Jeremy mencengkram tangan Qaila, mencoba menenangkannya. "Qaila ... jangan begitu sama Alvin. Dia masih belum paham apa-apa."

"Tapi ini sudah keterlaluan! Dia bukan anak-anak, Sayang. Dia sudah 22 tahun! Harusnya dia sudah menyusun skripsi dan wisuda. Lihat dia sekarang! Ini semua karena kita selalu mengikuti maunya."

"Iya, benar. Hanya saja, ini semua kan pesan dari mendiang ayah dan ibunya. Kita harus menjalankannya. Kita juga tidak selamanya akan bersama dengannya, kan?"

"Ya ... kamu benar. Maaf aku lepas kendali."

Jeremy berdiri dan memeluk Qaila, mengelus kepalanya pelan-pelan. "Enggak apa-apa. Kamu sudah berusaha kok. Aku yakin kamu akan menjadi Mama yang hebat untuk anak kita nanti."

Qaila memandang langit-langit, kembali teringat hal yang memilukan. Semenjak pernikahannya dengan Jeremy, dia belum juga dikarunai buah hati. Matanya pun berkaca-kaca. "Benarkah aku akan menjadi Mama yang baik nanti?"

"Ya, aku jamin. Makanya, kali ini kita harus bisa mengurus Alvin sampai dia bisa hidup dengan kekuatannya sendiri."

(1) Ventilator: Mesin yang berfungsi untuk menunjang atau membantu pernapasan. Ventilator sering kali dibutuhkan oleh pasien yang tidak dapat bernapas sendiri, baik karena suatu penyakit atau karena cedera yang parah. Tujuan penggunaan alat ini adalah agar pasien mendapat asupan oksigen yang cukup.

(2) Match: Istilah pertandingan dalam game.

(3) Yandere: Sebuah istilah Jepang untuk orang yang awalnya sangat mengasihi dan lemah lembut kepada seseorang sebelum sifat mereka menjadi destruktif secara alamiah, sering kali lewat kekerasan dan atau kebrutalan.

(4) PTSD: Gangguan stres pascatrauma yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan.

(5) Silver button: Plakat pertama yang didapat Youtuber, yang channelnya telah mencapai 100.000 subscriber. Plakat ini berwarna perak berbentuk logo YouTube terbuat dari tembaga, nikel, seng dan karbon.

(6) Misua: Panggilan sayang untuk kata suami.

*** *** ***

Bagaimana menurut kalian dengan masalah yang dialami setiap tokoh? Alvin dengan traumanya, beban tanggung jawab yang dimiliki Jeremy, dan Qaila yang berusaha kuat demi rumah tangganya?

Jangan lupa untuk terus mendukung cerita ini! Sampai jumpa di bab berikutnya!

*** *** ***

Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top