Nothing

“Coba berikan satu hal yang bisa dibanggakan dari kamu. Biar Ayah bisa memberi izin kamu keluar-masuk BK semaunya.”

Damn! Kalimat bokap beberapa jam lalu masih saja terngiang-ngiang. Bahkan rasanya otak gue nggak berhenti berpikir barang sedetik saja.

Gue bisa apa?

Prestasi apa yang udah gue raih?

Passion gue apa?

“Sialan!” Lagi, gue mengumpat entah untuk yang ke-berapa kali sore ini.

Mungkin, kalau pertanyaannya diganti; kenakalan apa yang sudah kamu perbuat?

Sudah pasti, otak gue nggak bakal capek-capek mikir. Jawabannya udah jelas.

Bolos sekolah? Gue bahkan udah lupa berapa kali mangkir dari penjara para pelajar begajulan kayak gue.

Tidur di kelas? Ya nggak perlu ditanya lagi, sih kalau itu.

Baku hantam sama kakak kelas? Pernah, sih, tapi nggak sering banget. Kecuali kalau mereka pada ‘sok senior’ dan ngeremehin adik kelas, pasti gue nggak bisa ngedaliin tangan buat nggak nyenggol mereka.

Ini semacam pertahanan diri sebenarnya; Lo nginjak gue? Ya, gue injak balik, jadi jangan marah. Sikap gue tergantung gimana cara lo memperlakukan orang lain.

Nongkrong di kantin pas pelajaran? Gangguin guru sampai nangis? Ngintip isi buku diary si Charolin? Atau ....

Hm, apalagi, ya? Gue sampai pusing sendiri kalau harus diminta buat nyebutin satu per satu.

Ah, iya! Uang SPP buat jajan, atau bilang sama orang tua ada tagihan bayar buku dan segala antek-anteknya, tapi duitnya buat hura-hura?

Uh, sorry! Senakal-nakalnya gue, nggak ada tuh niatan buat menggelapkan uang sekolah. Dosa! Kasian perut gue kalau dikasih makan pake duit panas. Iya, kan?

“El?” panggil sebuah suara, pelan. Namun, cukup berhasil membuat gue tersadar dari benang kusut yang sedang melilit otak.

“Boleh masuk?” tanyanya—masih dengan kepala yang terlihat mengintip dari balik pintu.

Gue terkekeh pelan, kemudian menepuk ranjang yang sejak tadi gue jadikan tempat melamun—mengisyaratkan supaya dia duduk di samping gue.

“Masuk aja. Bebas mau ngapain, salto juga boleh.”

Gadis yang mengenakan baju tidur berlengan panjang itu terkekeh kecil. Mata bulatnya semakin terlihat indah saat tertawa seperti itu.

“Mau peluk El aja, boleh?” tanyanya.

Gue mengerjap beberapa kali, bingung kenapa saudara perempuan gue tiba-tiba menjadi sangat sensitif seperti sekarang?

Uh, oh! Apakah dia juga ngerasain resah yang sedang bergelayut dalam benak gue?

“I know, you need a hug.”

Dalam hitungan detik tubuh gue menegang saat merasakan sebuah tangan mungil yang sudah melingkar di pinggang.
Aroma sampo vanila mulai masuk ke dalam indra penciuman, perlahan mata gue mulai terpejam—berusaha menenangkan seisi pikiran.

“Kadang kita nggak butuh kalimat bijak, kita cuman butuh pelukan yang menenangkan.”

Gue masih diam. Gerakan tangan dia di punggung rasanya semakin menentramkan. Nyaris saja gue terlelap saking tenangnya—pun yang terdengar hanya deru napas dan degup jantung kita berdua.

“Enggak apa-apa, El. Semuanya bakal baik-baik aja, kan?” Gadis itu kembali bersuara. Namun, kali ini terdengar serak.

Gue semakin membisu, bahkan nggak yakin kalau segalanya bakal tetap baik-baik saja. Untuk banyak hal, tentunya.

“El nggak punya hal yang bisa dibanggakan. Quin selalu jadi juara umum di sekolah. Nukleus udah bisa dapat uang dari hobi fotografinya.” Gue akhirnya bersuara setelah memilih diam beberapa saat yang lalu. “Sedangkan El, nggak punya apa-apa. Satu pun nggak ada hal positif yang bisa diucapkan.”

Setelah ini, masa bodo kalau kalian bakal ngerasa geli sama gue. Se-minus apa pun kelakuan gue, kami bertiga—Quin dan Nukleus—tetap saling memanggil nama masing-masing. Enggak tahu, sih apa alasan pastinya. Mungkin udah jadi kebiasaan sejak kecil dan gue malah ngerasa kalau itu membuat ikatan di antara kami bertiga bertambah intim.

Lagi, entah udah berapa kali gadis yang ada di pelukan gue ini bikin tubuh mendadak kaku dan tegang. Apalagi setelah dengar isakan kecil, diselingi bahu yang tampak bergetar.

Quin nangis!

Shit! Rasanya pengap; penuh dan sesak banget. Gue sampai kesulitan bernapas. Bunyi patahan-patahan dari dinding pertahanan kami berdua akhirnya terdengar saling bersahutan. Di sisi lain, gue yakin Nukleus pun merasakan sesak yang sama—karena kami bertiga memiliki ikatan batin yang sangat kuat.

“Enggak! El punya Quin sama Leus. Kita sama, El. Di mata Ayah, kita bertiga nggak ada bedanya; penuh kekurangan dan punya banyak celah.”

👻👻👻

Hobi kalian apa? Btw, sering gak sih bertanya-tanya sama diri sendiri tentang kelebihan yang kita miliki?

Eh, hobiku sih rebahan😳 jadi belum kepikiran nih punya hal apa yg bisa dibanggakan.

Btw, happy reading, luv🖤
Jangan lupa vote dan komen yang banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top