Hm, Cinta pertama, ya?

“Ale? Mau nanya, nih gue.”

Samar-samar gue mendengar suara dari seorang cewek yang sedang duduk berjarak dua meter dari tempat gue menelungkupkan kepala.

“Apaan?” jawabnya dengan suara malas.

Gue ngintip sedikit gimana ekspresi acuh tak acuh yang sedang Ale perlihatkan.  Maklum suasana kelas masih agak sepi karena jam istirahat kedua sedang berlangsung. Biasanya sebagian siswa memilih untuk menghabiskannya di masjid sekolah, atau sekadar membeli minuman dingin di kantin. Apalagi cuaca lagi terik-teriknya kayak sekarang.

“Lo percaya, nggak?” Itu suara Charolin—sedikit cempreng dan aksen Jawanya kental sekali. Gimana gue bisa mengenalinya tanpa melihat wujud? Ya, karena kami sudah menjadi teman sejak kelas X.

“Ya, gimana gue mau percaya, kalau lo ngomong setengah-setengah gitu.”

Uh, sepertinya Ale lagi dalam mood yang buruk. Pasalnya nada dia berbicara itu berbeda sekali, enggak kayak biasanya yang ceria pokoknya, deh. Gue masih diam—mempertahankan posisi telungkup—pura-pura tidur, padahal aslinya pegal banget tangan gue tertekuk gini.

“First impression lo tentang cinta pertama? Berekesan banget nggak, sih menurut lo?”

Oke! Ini bakalan jadi obrolan panjang. Gue langsung kecilin suara iPod dan masih dengan earphone yang menempel, supaya mereka pikir gue lagi dengerin lagu, padahal sebenarnya mau nguping pembicaraan mereka.
Di sisi lain, gue nggak ngerti sama kaum hawa. Kenapa gitu bisa ngobrol sampai berjam-jam? Ada saja hal yang dibahas, apa itu mulut tidak capek ngomong sepanjang jalan kenangan? Kenapa, wahai tuan putri? Coba beri kami penjelasan!

“Percaya. Bahkan perasaan itu masih ada, padahal udah hampir lima tahun,” sahut Ale. kali ini nada bicaranya lebih bersahabat, enggak seketus tadi.

“What?! Lima tahun? Gila, sih emang cinta pertama, tuh.” Suara Charolin terdengar menggebu-gebu.

Dengan gerakan refleks, tangan gue bergerak mengusap pipi. Nggak cuman itu, otak gue tiba-tiba berpikir: kenapa gue enggak pernah ngerti rasanya cinta pertama?

Oh, mungkin bukan enggak pernah, cuman belum waktunya aja kali, ya merasakan jatuh cinta. Wajar nggak kalau umur 16 tahun belum pernah ngerasain hal semacam itu?

“Seandainya lo jadi gue, mau nggak jatuh cinta sama dia? Dia yang benar-benar jadiin lo satu-satunya. Dia nggak cuman kasih yang kita inginkan, dia juga ngerti apa yang kita butuhkan,” tutur Ale.

Gue menghela napas pendek. Saking sibuknya sama pikiran sendiri, gue jadi nggak menyimak obrolan mereka berdua. Bahkan gue nggak tau siapa objek yang Ale maksud dari cinta pertamanya itu.

“Contohnya?” tanya Charolin.

“Pernah dengar, kan, istilah kalau cowok cuek sekalinya sayang sama orang, nggak mungkin setengah-setengah perasaannya?”

Charolin mengangguk-anggukan kepalanya seperti anak kucing anggora. Sekarang, sepenuhnya gue menyandarkan kepala di atas meja tanpa tangan yang menutupinya. Lagipula posisi mereka berdua membelakangi gue, otomatis mereka nggak bakal tahu kalau gue lagi menguping pembicaraan mereka.

“Gue akhirnya merasakan itu. Rasanya dijadikan satu-satunya dan bukan pilihan. Dia bisa jadi dua orang yang berbeda. Waktu sama gue dan keluarganya, atau saat dia lagi sama teman-temannya—terutama cewek. Orang-orang pasti mikirnya dia orang paling nggak berperasaan, tingkat masa bodohnya terlalu tinggi. Tapi, beda halnya kalau dia lagi sama gue, Lin. Yang orang pikir dia itu membosankan, tapi hal itu nggak berlaku buat gue.” Ale menjeda kalimatnya. Mata belo gadis itu terlihat mengawang dengan kedua sudut bibir yang terangkat.

Manis banget, batin gue.

“Cara dia memperlakukan gue, itu yang bikin semuanya terasa istimewa. Lo mau tahu hal lucu nggak tentang dia?”

“Apa?” Charolin menyahut dengan semangat.

“Waktu itu gue bilang pengen makan mi ayam, tapi lo percaya nggak kalau malah dibeliin Lasagna? Dan, pasti keki banget kalau tahu alasannya apa. Waktu gue nanya, kenapa malah yang dibeli bukan mi ayam, doi dengan polosnya bilang: ‘Aku bingung mau beli mi ayam di mana. Aku kira di PHD ada’.”

“Anjir! Dia kayak nggak berdosa banget.” Charolin terbahak sampai memukul-mukul meja.

Kedua alis tebal milik gue menukik, berpikir keras di mana letak kelucuan dari cerita Ale. Lagipula itu cowok bego apa bagaimana, deh? Di pinggiran jalan juga banyak kali yang jual mi ayam, lah ini kenapa malah nyasar ke PHD? Oke, cowok itu nggak waras, pikir gue.

“Tapi, nggak apa-apa kali, Le. Lo mau mi ayam eh malah dikasih yang lebih enak dan mehong.”

“Nah, ini yang maksudkan. Dia selalu ngasih hal yang lebih baik dari apa kemauan gue. Terlalu lebay, sih kedengarannya. Tapi, ya gimana ... sebaik itu emang dia.”

“Wajarlah, lo nggak bisa ngelupain dia padahal udah bertahun-tahun kalian nggak saling ketemu. Wong dia aja baik banget. Gue juga mau dapat cowok kayak gitu.”

Gue langsung berdiri sambil menguap. Rasanya sia-sia banget gue menghabiskan waktu istirahat—yang harusnya bisa buat tidur siang—malah buat menguping obrolan nggak berfaedah mereka berdua.

“Lo udah kelamaan jomlo apa gimana, Lin? Pengin jatuh cinta kok sama cowok nggak waras yang beli mi ayam di PHD,” bisik gue sembari melangkah keluar kelas untuk mencuci muka.

“Elektron! Lo nguping, ya?!” teriak Charolin bertepatan dengan bel masuk berbunyi.

👶👶👶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top