Dia namanya Ale-Ale

Baru saja kelopak mata gue mau terpejam, tetapi suara bariton yang terdengar tegas itu memenuhi seisi ruang kelas. Pantas aja keriuhan bak pasar pagi itu mendadak lenyap dan tergantikan oleh keheningan layaknya area pemakaman.

Mau enggak mau, kepala yang sejak setengah jam lalu gue sandarin di meja akhirnya bergerak dan mengubah posisi—meski rasanya berat banget. Rasanya gue gagal move on dari guling kesayangan gue di rumah, deh.

“Perhatian! Kelas IPA 2, kita kedatangan siswi baru. Masuk!”

Sambil menguap, akhirnya gue mendongak tepat setelah nada penuh perintah itu terdengar.  Enggak lama setelah itu, suara ketukan sepatu terdengar bergerak mendekat. Masih dengan bola mata yang menyorot malas, tatapan gue mendadak terpaku pada seorang cewek berambut pendek, ala-ala polwan gitu.

“Halo! Perkenalkan nama saya Valensi Farhaira. Kalian boleh memanggil saya Ale. Salam kenal, dan semoga kita bisa berteman baik,” katanya memecah hening.

“Oh, Ale-Ale?” tanya gue spontan.

Sumpah, padahal gue mau bilang; kalau panggil sayang, boleh? Tapi nggak tahu kenapa malah  gue nanya kayak gitu? Reflek sih, atau karena dia sama nyegerinnya dengan minuman gelasan itu?

Gue diem sebentar, padahal gelak tawa hampir terdengar memenuhi seluruh penjuru kelas. Bukannya ngerasa tersinggung atau gimana, cewek yang bernama Ale itu malah senyum-senyum santai. Sampai pada akhirnya, kedua mata kita bertemu untuk pertama kalinya.

Manis. Cuman satu kata itu yang langsung melintas dalam pikiran gue saat melihat bagaimana kedua bibir yag melengkung bak bulan sabit, lalu mata belonya  terlihat menyipit saat tertawa kecil. Apalagi, tahi lalat di sudut bibirnya mendukung sekali definisi manis dengan kadar yang pas.

Sialan! Gue enggak ngerti kenapa malah nggak mau ngalihin pandangan. Rasanya kayak ketarik masuk di sepasang netra berwarna cokelat terang itu. Gue ngerasa pusat dunia terhenti, bahkan keriuhan yang berasal dari sekitar mendadak lenyap, tergantikan oleh suara degup jantung yang terdengar saling bersahutan sama seisi pikiran.

Oh, damn! Perasaan apa sih ini sebenarnya?! Lagi-lagi gue memaki dalam hati.

Suara kursi yang digeser berhasil memutus lamunan gue tentang Ale. Dan betapa cengonya gue saat melihat cewek itu udah berdiri di depan meja gue masih dengan senyum manisnya.

Setelah berhasil menguasai keadaan hati dan pikiran sendiri, gue akhirnya paham kalau ternyata Ale tadi minta izin sama Pak Basuki—wali kelas XI IPA 2—buat duduk di samping Quin.

Ini cewek berani juga, pikir gue. Ya, secara nih, ya siapa pun tahu kalau Quin itu nggak suka berinteraksi dengan orang asing. Bahkan sikap nggak peduliannya, terkadang bikin orang lain merasa nggak diinginkan. Gue sendiri sering mengalaminya.

“Eh! Nggak bisa! Itu tempat duduk gue. Nanti gue duduk di mana?” Tanpa dikomando dua kali, gue langsung aja berdiri sambil nenteng tas  yang isinya cuman satu buku tulis doang.

Jujur aja, itu cuman akal-akalan gue biar bisa berdiri di samping cewek cebol ini. Ale mungkin termasuk kategori cewek dengan tinggi rata-rata. Ya, sekitar 158 cm, tapi kalau harus berdiri di samping gue, ya jelas dia bakalan kelihatan pendek banget, bahkan sampai pundak gue aja kagak.

“Kamu bisa tetap duduk di tempat kamu tadi, El.”

Gue melengos, pura-pura males. “Nggak mau ah. Enakan juga duduk sama Quin yang pinter, jadi bisa nyontek!”

Lagi, suara tawa mengejek terdengar. Gue lebih memilih untuk bersikap masa bodoh. Persetan dengan contekan. Kalau tidak bisa mencontek di sekolah, kan bisa di rumah—karena kami memang tinggal serumah.

Masih dengan wajah yang setengah kesal, gue akhirnya menuruti perintah Pak Basuki yang nyuruh gue buat duduk di samping Charolin si cina KW super. Gimana enggak coba? Dia 100% Jawa asli, tapi matanya yang sipit layaknya keturunan Chinesse. Namun, sayangnya Charolin berkulit sawo matang, dan jadilah gue suka manggil dia Cina Jawa.

Sebelum akhirnya beranjak, gue menyempatkan diri buat ngelirik Ale yang masih saja senyum-senyum. Mungkin mau ketawa kayak yang lain, tapi gengsi karena dia masih murid baru.

Entah karena gue emang kelewat iseng atau gimana, gue bisikin aja kata-kata di telinganya yang anehnya gue senang ketika dengar dia ketawa pelan dan itu penyebabnya adalah gue—seorang Elektron Abhiseva.

“Jangan duduk sama Quin. Dia galak,” bisik gue. “Fyi¸ lo nyenengin kalau lagi ketawa gitu.”

👻👻👻

Halo gais! Btw, ada yang masih inget scane di atas?
Gimana-gimana kalo diceritain pake sudut pandang Elektron?

Emoticon kalian pas baca ini?

Jangan lupa vote dan komen.
Luv🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top