[λ] MATA SETAN

Nigel masih ingat kejadian itu. Hari ... di mana dia mulai jatuh cinta kepada Nia.

***

"Mau lewat di mana pun--sekalipun jalan tembus dan tikus--ada aja macet," gumam Nigel sembari mengendarai motor bebek hitamnya.

Suara kumandang masjid saling berbalas-balasan di langit yang berubah menjadi biru ketuaan. Membuat jarak pandang pemuda bermata cokelat itu mulai menurun. Segera Nigel nyalakan lampu depan, dan tetap melaju dengan kecepatan konstan. Nigel telah melewati lebih dari tiga lokasi macet. Parahnya lagi, satu titik yang Nigel lewati benar-benar macet total, tidak bergerak sesenti pun. Sampai-sampai semua orang mulai berkelahi, menyalahkan pengguna jalan dari arah sebaliknya. Situasi panas itu terjadi disebabkan rasa capek yang sudah berkecamuk di tubuh.

Sekitar dua jam lebih Nigel berada di jalan raya--padahal dari kampus menuju rumah hanya memakan waktu tiga puluh menit. Namun, Nigel tidak terlalu memikirkannya, sebab dia tidak akan merasakan efek samping macet seperti pengendara lainnya; rasa pegal-pegal, jenuh, dan kelelahan. Kecacatan tubuhnya ini kadang berguna untuk dirinya. Walau tersemat rasa iri di dalam dirinya.

"Kenapa sih mereka marah-marah? Sebegitu lelahnya kah membawa kendaraan? Aku ... tidak mengerti sama sekali." Nigel terus berbicara dengan dirinya sendiri. Beruntung jalanan yang dia lewati sekarang sepi. Kalaupun ada yang melihat dirinya berbicara sendiri, dia akan berpura-pura sedang menelepon.

Tiba-tiba motor yang ada di depannya berhenti mendadak, membuat lamunan Nigel buyar seketika. Spontan Nigel menginjak rem belakang bersamaan dengan meremas rem tangan kuat-kuat.

"Woi! Cewek! Kamu mau mati? Jangan ngajak orang lain dong!" bentak Nigel sembari menendang standar motornya dengan kasar.

Gadis itu tidak menghiraukan dirinya, malah dia meninggalkan motornya begitu saja, lalu berlari ke tengah jalan. Tampaknya dia memungut sesuatu.

"Hei! Jangan parkir di sini! Ini bukan jalanan nenek moyangmu!" Padahal Nigel juga memarkir motornya di tengah jalan.

Entah gadis itu memang tidak mendengar suara Nigel atau sengaja, dia langsung berlari ke pinggir jalan dan berjongkok di sana.

Nigel semakin murka. "Kamu tuli, ya? Sebenarnya apa yang kamu--" Nigel seketika terdiam.

Terdengar suara mengeong lemah di dekat kaki gadis itu. Seekor anak kucing hitam belang putih.

"Ah ... maafkan saya. Ada anak kucing di tengah jalan, sepertinya dia kehilangan ibunya. Kasihan sekali ...." Gadis itu membuka resleting tasnya dan mengeluarkan sebungkus makana basah kucing.

Nigel bingung, manusia macam apa yang terus membawa makanan kucing di tasnya.

"Makan anak kucingku ... kamu harus kuat, ya." Anak kucing yang tadinya lemah langsung bersemangat ketika aroma ikan dari bungkus kecil itu semerbak di udara malam.

Pemandangan yang jarang disaksikan Nigel. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik. Gadis berambut pendek itu tersenyum dan terus berbicara dengan makhluk berbulu itu, seolah dia dan kucing itu saling berkomunikasi satu sama lain, memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya. Tanpa Nigel sadari, dia mengelum bibirnya kuat-kuat. Astaga, imut sekali cewek ini! Boleh tidak, ya dibawa pulan?

Sontak gadis itu baru teringat sesuatu sesaat klason mobil berbunyi nyaring di tengah jalan. "Wah! Motorku!"

Tanpa berkata apa-apa, Nigel memindahkan motor gadis itu dan miliknya ke pinggir jalan secara bergantian. Gadis itu hanya terpaku memandang Nigel dari kejauhan.

Setelah jalanan sudah lancar kembali, Nigel mendekati gadis kucing itu. "Maaf tadi aku marah-marah. Seharusnya kulihat situasi dulu. Maaf, ya," ujar Nigel penuh rasa bersalah.

"Harusnya saya yang meminta maaf. Saya sudah membahayakan orang lain."

"Iya sih ... tapi tidak ada yang terluka, kan? Selain itu, satu nyawa terselamatkan, bukan?"

Gadis kucing itu tersenyum manis dan mengangguk cepat.

"Oh ya, kenalin, namaku Nigel. Boleh tahu namamu juga?"

"Garcinia Mangostama. Panggil saja Nia. Aku tahu dirimu, Nigel. Kita kan teman sekelas." Senyuman Nia tidak luntur sedetik pun di malam itu.

Dari situlah Nigel bersama Nia mulai saling suka dalam diam. Bukan karena gengsi atau takut untuk mengungkapkan perasaan terlebih dahulu, mereka seperti ingin mengawasi satu sama lain. Cukup seperti itu dulu. Jika waktunya tiba, saat itulah Nigel-lah yang akan melakukan pergerakan.

***

"Nigel ...." Suara serak itu terus memanggil Nigel.

Semakin lama, suara itu semakin dalam. Kadang ada suara tawa yang menyelingi panggilan yang terus berdengung di kepalanya. Pandangan pemuda itu mulai kabur, berputar, seakan dia jatuh ke dalam lautan yang bergemuruh akibat badai. Sesak. Gelap.

Sedangkan Ann yang panik melihat tingkah teman cowoknya itu, hanya bisa terus memanggil Nigel yang meringkuk ketakutan. Tiba-tiba pemuda itu berdiri, menjatuhkan handphone yang tadi dia genggam. Beberapa detik kemudian tubuhnya bergerak sendiri dan masuk ke dalam lubang gelap gulita yang mencurigakan itu tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Nigel! Apa yang kamu lakukan?" pekik Ann yang masih berada di permukaan, ditinggal pergi oleh Nigel begitu saja.

Pemuda bertindik dua itu terus merangkak ke dalam. Terus maju, meski tanpa pencahayaan sedikit pun.

Ann ragu-ragu. Dia bingung. Apakah harus mengikuti Nigel? Atau menarik paksa pria yang badannya dua kali lipat dibandingkan dirinya? Alhasil, Ann ikut merangkak, mengikuti Nigel yang memimpin di depan.

Ann terus menggerakan sinar senter dari ponselnya ke sana ke mari. Dia merangkak penuh dengan kewaspadaan.

"Semoga tidak ada ulat. Semoga tidak ada ulat. Semoga tidak ada ulat!" Ann terus berbisik dan memanjatkan doa sepanjang menyusuri terowongan tersebut.

Di dalam sana, Ann terus mencoba memanggil Nigel. Berusaha mendapatkan sahutan dari pria di depannya itu. Namun, usahanya selalu gagal. Seakan-akan Nigel merasa bahwa Ann tidak ada--keberadaannya dilupakan seketika. Ann semakin cemas dengan kesadaran Nigel.

Tak terasa, mereka sudah berada di ujung terowongan. Nigel keluar terlebih dahulu, lalu disusul oleh Ann dengan air muka yang pucat.

"Di mana kita sekarang?" Ann memandang sekelilingnya.

Setelah melewati terowongan tanah yang lumayan panjang. Mereka berdua sampai di sebuah gua besar. Dibilang gua juga kurang tepat, tampak seperti aula besar yang sengaja dibuat di dalam tanah.

"Tempat macam apa ini?" Ann mulai tidak nyaman dengan aura yang dipancarkan tempat itu.

Nigel yang masih dipengaruhi oleh suara misterius itu, terus berjalan ke tengah-tengah aula.

Ann yang merasa memang ada yang tidak beres dengan temannya, segera mencegat langkah Nigel. "NIGEL! Sadarlah!"

Sayanganya Nigel tidak merespon panggilan dari Ann. Matanya menatap kosong ke depan.

"Nigel! Nigel! Bangun! Lawan! Jangan mau kalah!" teriak Ann sembari memukul-mukul dada Nigel yang bidang.

Tanpa Ann sadari, gelang manik-manik birunya mulai memancarkan cahaya.

"Kumohon ... jangan tinggalkan aku sendirian. Aku harus bilang apa sama yang lain. Zea pasti mencemaskanmu." Ann mulai terisak-isak. "Siapa lagi coba yang akan menyalamatkan Nia, kalau bukan kita semua."

"Menyelamatkan ... Nia?" Dengan suara yang begitu lemah, Nigel mulai berbicara.

"Iya! Kita semua akan menyelematkan Nia. Bersama-sama pulang ke dunia kita lagi. Pulang!"

Nigel berdiri dalam diam. Ann terus mencoba untuk menarik kesadaran Nigel. Dia pun mengeraskan suaranya. "Selain itu, ada sesuatu yang ingin kukatakan." Ann menelan ludahnya dalam-dalam. "Kalau aku itu, sebenarnya, su, su, suuu ...." Ann tampaknya tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Di situasi segawat itu, Ann masih merasa malu untuk menyatakan perasaannya.

Ah, bodo amat. Kalau dia mati di sini, selamanya perasaan yang dirasakan Ann tidak akan terungkap. Lebih baik dikeluarkan semua, sampai puas.

Ketika Nigel menunduk untuk melihat Ann. Sesaat itulah tatapan Nigel yang kosong bertemu dengan cahaya redup dari gelang Ann. Seketika suara bisikan itu berhenti. Bagaikan cahaya kecil dan hangat itu mulai menyelimuti tubuh Nigel yang menggigil hebat di pesisir pantai selepas terombang-ambing di lautan yang ganas. Nigel pun mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Ann? Kenapa kamu menangis? Kamu tidak apa-apa?"

Satu detik kemudian, tanpa ragu Ann memeluk Nigel erat-erat. "Huaaa ... Nigel jahat!" Tangisan Ann semakin menjadi-jadi.

"Eh? Apa maksudmu, Ann? Kita juga ada di mana sekarang?" Nigel melepar pandangan ke sekitar dengan heran.

"Tadi kamu kerasukan. Aku takut sekali ...." Ann berusaha menjelaskan walau suara isakannya bergema dan memenuhi seluruh aula.

"Kerasukan? Jangan-jangan dari suara tadi," kata Nigel pelan. Membuat bulu kuduknya berdiri ketika mengingatnya kembali. "Ma-maafkan aku, Ann. Jangan menangis lagi." Pemuda itu mengelus-elus kepala Ann selembut mungkin.

Jujur, Nigel kalang kabut menghadapi cewek yang sedang menangis ketakutan. Apalagi dalam keadaan dipeluk seperti sekarang.

"Le-lebih baik, kita duduk dulu. Biar tenang sedikit," ajak Nigel kepada Ann yang tampaknya tidak mau melepaskan pelukannya. Membuat Nigel bimbang untuk duduk atau tidak.

Nigel menyadari benda yang berhasil menyelamatkan nyawanya tadi. "Ann, kamu masih pakai gelang yang kukasih, ya?" tanya Nigel berusaha kembali untuk menenangkan Ann dengan mengalihkan pembicaraan.

Akhirnya Ann melepaskan pelukannya dari badan Nigel. "Iya," jawabnya singkat dengan wajah yang basah akan air mata.

"Syukurlah kamu memakainnya. Itu bukan gelang sembarangan. Orang Turki menyebutnya evil eye (1)--mata setan. Konon bisa melindungi pemakainya dari nasib buruk."

"Namanya serem amat. Padahal cantik gini. Tapi, kalau diliat-liat, memang mirip mata." Ann memandang gelang manik-manik biru yang melingkar manis di lengan kanannya. "Keluarga Nigel memang kental dengan hal-hal mistis."

Nigel menghela napas lega. "Kalau tidak ada Ann, mungkin aku sudah jatuh ke tangan makhluk jahat di sini. Terima kasih--" Belum sempat dia selesaikan ucapannya, Nigel menyadari sesuatu di balik badan Ann, di tengah-tengah aula yang misterius itu.

"Itu kan ... lingkaran sihir. Bukan, ritual pemanggilan. Kenapa bisa ada di sini?"

***

(1) Manik-manik tersebut adalah nazar boncugu, yang banyak dikenal juga sebagai evil eye atau mata setan. Jimat ini konon dapat menangkal evil eye yang membawa sial.

***

Gimana menurut kalian dengan cerita ini? Jangan lupa vote dan komen biar aku tahu apa yang harus kuperbaiki dalam cerita ini, heheehe. Dukungan kalian sangat berarti. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top