[η] SPEKULASI

Suara aliran sungai menjadi pemecah kesunyian malam yang tidak ada ujungnya. Derap langkah di atas batu kerikil menemani dua pria yang kebingungan dengan tempat mereka berpijak. Cass dan Xanor hanya bisa membisu, bergulat dengan begitu banyak pertanyaan di kepala mereka. Terus berjalan tanpa arah, mencoba menemukan teman-teman seperjalanan yang tidak tahu di mana keberadaannya sekarang.

Kedua pemuda itu terus berjalan menyusuri sungai. Rasa lelah sudah menyesak paru-paru. Entah sudah berapa kilometer mereka berjalan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar. Seolah mereka berdua adalah makhluk berakal yang tersisa di muka bumi.

Sejenak Cass duduk di atas batu besar di pinggir sungai. Bulir keringat berjujuran di dahinya. "Anjir, kita sebenarnya ada di mana sih!" jerit Cass tidak tahan. "Otakku sudah capek memendam banyak pertanyaan. Ingin sekali kumenjerit keras!"

"Sekarang kamu menjerit, Cass," kata Xanor dengan nada datar. "Sebaiknya kita tidak berlama-lama di sini. Kita tidak tahu kondisi teman-teman yang lain bagaimana. Bisa saja mereka butuh bantuan sekarang."

Cass menoleh cepat ke arah Xanor, menatap lawan bicaranya dengan sorotan heran. "Di mana ujung sungainya?" keluhnya sembari merentangkan kedua tangan. "Apa yang bisa kita temukan di sini? Tidak ada. Yang bisa dilihat cuman batu keras seperti kepalamu, pohon bamboo yang angker, dan sungai yang kelam!" Saking sebalnya, Cass menunjuk batu, bamboo, dan air sungai secara berurutan. Seolah dia sedang mencari pelampiasan amarah ke sekitarnya.

Xanor memandang ke segala arah. Melihat tanda-tanda khas yang ada di dekatnya. "Kamu benar. Sepertinya kita hanya berputar-putar saja."

Cass mengerutkan keningnya. "Apa? Berputar? Kita dari tadi ambil jalan lurus. Tidak ada belok ke sana kemari, Xanor!"

"Bukan. Maksudku, kita kembali ke tempat awal." Xanor menunjuk salah satu pohon bambu yang telah dia beri tanda silang besar. Tanda itu Xanor buat dengan menggunakan batu kali yang tajam untuk menandai tempat ketika mereka berdua terbangun setelah gempa bumi mistis yang menimpa mereka berenam.

"Jangan-jangan ...." Cass melompat dari batu yang dia duduki tadi seraya menyelidiki ciri-ciri dari bongkahan batu berlumut itu. "Kampret! Kita benar-benar kembali ke tempat semula. Sebenarnya apa yang terjadi! Masa kita terlempar ke dunia lain, macam game isekai (1) gitu? Kenapa pula malah jadi isekai horor gini!"

Xanor hanya menatap Cass dalam diam. Sejujurnya, Xanor tidak mengerti apa yang dibicarakan Cass sekarang. Daripada dia menyakiti perasaan kawannya itu, lebih baik dia mendengarkan saja. Apalagi Cass sedang bad mood karena tidak bisa mengikuti turnamen yang seharusnya dia hadiri tadi.

"Tunggu--kalau ini memang di dalam game--seperti permainan horor pada umumnya. Mungkin, ada sesuatu di tubuh kita. Semacam tombol, atau menu status, atau--" Cass mulai menggeledah tubuhnya sendiri dengan menyentuh kepala, pundak, lutut, dan kaki.

Seketika pemuda berumur dua puluh tahun itu melakukan senam kesegaran jasmani di antah berantah. Xanor hanya bisa terpaku melihat temannya itu.

Semua anggota tubuh Cass sudah dia periksa secara menyeluruh dan telah dipastikan tidak ada perubahan atau sesuatu yang ganjil. "Hmmm ... atau kita sebenarnya diculik ke sebuah tempat uji coba. Bisa saja ada kamera tersembunyi di sini." Mata Cass berbinar-binar dan mencoba memeriksa tiap pohon bambu yang ada di pinggiran sungai.

Xanor diam di tempatnya sambil mengawasi Cass dari jauh.

Tidak menemukan apapun, Cass kembali ke hadapan Xanor dengan wajah kecewa. "Jadi ini game macam apa? Seperti Dreadout yang tiba-tiba ada hantu nongol dan bisa kita foto, atau seperti Silent Hill yang terjebak di kota berhantu yang dipenuhi monster-mosnter dari masa lalu atau mimpi buruk kita?"

Dan Xanor masih tidak paham semua hal yang disebutkan oleh Cass. Pemuda itu malah terkesan asik dengan dirinya sendiri.

Cass melipat kedua tangannya, mencoba untuk mengulang semua kejadian yang menimpa dirinya. "Pertama, kita melihat Nia kabur ke hutan. Kedua, ada gempa hebat dan suara gong. Ketiga, kita malah berada di tempat antah berantah. Keempat, kita berenam terpisah," papar Cass sembari berjalan mengitari Xanor. Tampak Cass berusaha mencari benang merah dari tiap kejadian. Namun, tidak ada alasan rasional untuk mengaitkan semuanya.

Pria berkacamata itu menghentikan langkahnya dengan membelakangi sungai. "Siala (2) ... benar kan yang kubilang. Berpencar itu adalah ide yang buruk. Kita malah tertimpa masalah yang gawat. Aaa! Jadi apa yang harus kita lakukan!" teriak Cass sekuat tenaga.

Dia menatap Xanor yang masih membisu, namun Xanor tampak tidak fokus ke kedua matanya. "Hei, Xanor. Kamu dari tadi dengar enggak apa yang aku bilang?"

Pria bertubuh kekar itu bergeming. Dia masih melihat lurus ke belakang Cass.

"Woi, Xanor!"

"Cass," panggil Xanor dengan muka khas tanpa ekspresinya.

"Apa!"

"Itu apa?" Xanor menunjuk ke arah sungai.

Cass berbalik ke belakang dan melihat ada buih yang berkumpul di permukaan air. Semakin lama, gelembung-gelembung itu memperbanyak diri hingga jumlahnya berkali-kali lipat.

Cass menelan ludahnya dalam-dalam, mendorong bingkai kacamatanya kembali ke posisinya. Dia bingung harus memeriksa gelembung itu atau menjauh dan mengabaikannya. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Mengalahkan insting akan bahaya. Walaupun begitu, dia memilih untuk memeriksanya dari jarak yang aman.

Cass mengambil satu batu berukuran sekepal tangan di bawah kakinya, dilempar hingga tepat ke bagian yang mencurigakan itu. Seketika kumpulan buih itu menghilang begitu saja. Pemuda berkacamata itu pun bernapas lega.

"Hahaha, itu bukan apa--"

Mendadak, sesosok makhluk besar muncul ke permukaan air dan melompat ke pinggiran sungai, membuat Cass berteriak keras.

Monster itu berukuran sangat besar. Tubuhnya basah, bersisik. Ada sirip, tetapi ada pula sepasang kaki di belakang perutnya yang buntal. Sekilas terlihat seperti ikan lele, tetapi tidak mungkin ada ikan lele yang mempunyai deretan gigi yang tajam bagaikan hiu megalodon.

Makhluk itu menyadari keberadaan Cass, dia segera melompat kembali untuk menyerang pemuda malang yang sudah terjatuh ke tanah karena ketakutan. Spontan Xanor memukul monster air itu dengan batang bambu tua yang tergeletak di tanah. Satu pukulan langsung menghancurkan bambu tadi dan berhasil mencegah Cass tertimpa siluman besar itu.

Cass merangkak dengan cepat, mencoba untuk menjauh dari sisi sungai. Dengan cepat Xanor membantu Cass untuk berdiri dan mereka berdua berlari untuk menyelamatkan diri. Gagal mendapat buruannya, siluman itu menyeret tubuhnya kembali ke dalam air. Mata merahnya menyalang dalam kegelapan, menatap Cass dan Xanor dengan bengis.

"I-ikan macam apa itu!" jerit Cass histeris.

"Itu mirip dengan kecebong berkaki." Xanor akhirnya berkomentar.

"Mau itu ikan, kek, atau kecebong--yang penting itu bukan hewan yang seharusnya hidup di Indonesia. Tidak ... di dunia!"

"Mungkin itu spesies baru yang cuman hidup di hutan Kalimantan," ungkap Xanor mencoba untuk menebak lagi. Dia terlihat sangat tenang. Padahal dia baru saja berada di situasi antara hidup dan mati.

Berbeda dengan Cass yang terus menggeleng-geleng tidak setuju. "Okelah kalau dia hewan dari hutan Amazon. Tapi aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa makhluk itu bisa melakukan transmigrasi dari Amazon sampai ke Kalimantan!"

"Kamu harus menerimanya."

"Kenapa pula aku harus menerimanya?"

"Karena hewan itu memang sudah ada di sini."

Cass kehilangan kata-kata. Apa yang dibilang Xanor memang benar. Perdebatan selesai.

"Siala. Sudah, lupakan dari mana asal monster keparat itu. Ngomong-ngomong, terima kasih, Xanor. Kalau tadi kamu tidak bertindak cepat, mungkin aku sudah penyet tertimpa badan si raksasa itu."

Xanor tersenyum kecil. "Sama-sama."

Mereka kembali dilanda pertanyaan baru. Apakah mereka masih ada di Kalimantan? Atau kah sudah berada di dunia lain? Mungkin kah mereka masih berada di bumi?

Berdiam diri di sini tanpa melakukan apapun tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Mereka harus kembali melanjutkan perjalanan, sembari bertahan hidup dari siluman-siluman yang bisa menyerang mereka di mana saja.

Tiba-tiba Cass menyadari sesuatu. Dia memungut bambu tua yang berserakan di atas tanah. "Kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ, ya. Mungkin ini mirip dengan Resident Evil. Makhluk-makhluk tidak jelas itu pasti hasil mutasi yang disebabkan oleh virus atau sejenisnya. Sebaiknya kita tidak terkena gigitan mereka atau berkontak dengan darahnya," jelas Cass sambil mengayunkan tongkat bambu itu ke segala arah. Ternyata Cass masih tidak bosan-bosannya mengeluarkan berbagai teori dari hobi gaming-nya.

Xanor memijat-mijat dahinya yang mulai sakit, pusing dengan pembahasan Cass yang sama sekali tidak bisa dia samakan dengan jalan pikirannya.

"Lebih baik kita menjauh dari sungai. Aku tidak mau ketemu lagi dengan monster sialan tadi." Cass memberikan bambu kayu yang dari tadi dia mainkan ke Xanor. Lalu dia mengantongi beberapa batu kerikil dan mengambil bambu tua yang mirip dengan sebelumnya.

Mereka seperti protagonist dalam sebuah game survival; perbekalan sedikit, senjata apa adanya, tidak tahu arah, dan di kelilingi mara bahaya. Tapi ini bukan permainan yang jika melakukan kesalahan, bisa mengulang dari awal. Yang ada di hadapan mereka sekarang adalah kematian absolut yang tidak bisa di-reset seperti semula. Kesalahan fatal membawa bencana. Cass yang menyadari hal itu berseringai dan tertawa canggung.

Baru saja mereka berdua akan memasuki hutan, mendadak Xanor menyadari adanya hawa keberadaan. Instingnya yang sudah dia latih selama mengikuti Mapala (3) cukup berguna sekarang. Dia bisa pastikan itu bukan berasal dari makhluk tadi. Xanor yakin ada seseorang yang menatap mereka dari kejauhan. Dan asalnya dari sungai.

Ketika Xanor menoleh, dia bisa melihat seorang gadis yang mengenakan terusan putih dengan rambut pendek hitam legam berada tepat di seberang sungai.

Xanor langsung berteriak keras. "NIA!"

***

(1) Dalam bahasa Jepang artinya dunia lain. Sebuah sub-genre dari novel, manga, anime, dan permainan video game Jepang.

(2) Ungkapan sial dalam bahasa Makassar.

(3) Singkatan dari Mahasiswa Pecinta Alam. Wadah bagi mahasiswa untuk berkegiatan di alam bebas, berkontribusi bagi masyarakat, dan peduli pada lingkungan.

Kalian tau tidak tiga game yang disebut oleh Cass?

Tinggalkan jejak kalian. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top