[ζ] MANDAU
Dentangan keras yang bertubi-tubi memekakan telinga. Dua bayangan manusia terpantul di dinding sedang menahan pintu yang digedor paksa. Berusaha mencegah siluman berkepala ular dan berbadan buaya masuk dan menyantap mereka.
Tubuh makhluk itu diselimuti sisik yang keras bagaikan zirah, bisa membunuh siapa pun dengan satu kibasan ekornya saja. Ide buruk untuk mencoba lari darinya. Dengan kepala panjang dan lentur yang dapat melata cepat di atas tanah, dia bisa meraih mangsanya dari jarak satu meter jauhnya. Belum dengan lidah ungu yang menjulur setiap detiknya, lendir yang dihasilkan bisa melumpuhkan organ gerak buruannya.
Makhluk melata itu terus mencoba menyundulkan kepala ke pintu besi di hadapannya. Sempat beberapa kali dia berhasil membuka celah, tetapi segera dicegat oleh pria bertindik satu dengan mencondongkan tubuhnya ke celah tersebut hingga tertutup kembali. Pintu itu terus digedor-gedor sangat keras sampai Zea dan Tris hampir terpental dari pintu.
"Matemija (1) ... tempat macam apa ini! Kenapa bisa ada komodo di sini!" Zea berusaha menahan pintu masuk dengan punggungnya.
Tris juga ikut membantu dengan mendorong pintu sekuat tenaga dengan kedua tangannya. "Mana ada komodo punya kepala sepanjang itu! Berhenti merengek dan tahan terus pintunya, bodoh!"
"Jangan panggil aku bodo--agh! Mau sampai kapan kita menahan pintu."
"Kalau kamu lelah, buka saja pintunya dan keluar. Biar dia kenyang dan puas."
Mendengar ide nekat dari Tris, Zea tersenyum miring. "Bagaimana kalau kamu saja yang coba duluan? Lady's first?"
Sontak Tris menoleh ke arah Zea dan mengerutkan keningnya. "Kukira kamu penganut kesetaraan gender? Halooo? Bapak masih sehat?" sindir Tris yang membuat Zea berpaling ke arahnya.
"Sekarang beda. Ini sih sudah antara hidup dan mati! Aku tidak mau mati muda," jerit Zea kepayahan.
Tiba-tiba hantaman di pintu berhenti. Suara langkah yang terseret-seret mulai menjauh dari tempat naungan Zea dan Tris. Bahaya sudah berlalu, pemuda dan pemudi itu segera menjatuhkan tubuh mereka, kelelahaan. Baru saja terlempar ke tempat asing, mereka malah harus melarikan diri dari makhluk dengan wujud yang tidak masuk akal.
Mendadak perut Zea bergejolak. Cairan asam berhasil naik ke kerongkongan. Tidak tahan, pemuda itu mulai memuntuhkan isi perutnya. Rasa mual itu akibat bau dari binatang mengerikan tadi. Aromanya seperti gorong-gorong got dengan air hitam dan sampah yang sudah mengendap selama bertahun-tahun.
"Astaga, kamu benar-benar memperburuk keadaan saja--ugh." Bau dari muntahan Zea memancing Tris untuk ikut mual. Untungnya Tris berhasil menahan asam lambungnya keluar. Walau rasa sepat itu masih berbekas di lehernya.
"Ya ampun, Zea! Muntah itu menular, tau!" maki Tris sembari menutup hidungnya dan menjauh dari pria beraroma kecut itu.
Zea yang sudah berhasil mengeluarkan seisi perutnya, mengusap mulut yang kotor dengan jaket bombernya. "Hadede ... itu bau pesing sekali. Lebih pesing daripada wc di fakultas."
"Bisakah kamu berhenti berbicara kotor dengan mulut kotormu? Berhenti mengucapkan sesuatu yang menjijikan. Cepat kubur itu muntahanmu sebelum aku yang mengkuburmu!" omel Tris yang membuat Zea segera menggali tanah dan menutupi hasil kebodohannya.
Sementara Zea sibuk membereskan oleh-oleh dari para siluman itu, Tris melemparkan netranya ke penjuru ruangan. Hanya ada tangga tegak lurus menuju lantai paling atas dan pintu keluar yang sudah mereka tutup dengan rapat. Tidak ada pilihan lain. Dia lebih memilih naik ke atas—lebih bagus lagi kalau bisa tembus langsung ke surga, daripada melewati pintu tadi menuju neraka jahanam.
Begitu malang nasib Zea dan Tris. Setelah gempa, mereka terlempar ke sarang monster dan langsung berlari kesetanan untuk menyelamatkan diri. Tanpa disadari, mereka berdua telah masuk ke sebuah menara yang berada tepat di tengah-tengah rawa.
Sadar bahwa dirinya baru saja berlari di atas kubangan rawa, Tris mulai membersihkan lumpur yang menempel di kaki kuning langsatnya. Sayangnya, mau berusaha bagaimanapun, noda itu tidak bisa menghilang tanpa adanya bantuan dari air yang mengalir.
"Kita harus mencari air. Kakiku jadi dekil gini. Bikin enggak tahan banget," keluh Tris dengan manjanya.
"Betismu yang dipikirin? Hei, aku yang lebih butuh air. Sekarang kerongkonganku gatal banget habis keluarin nasi dan lauk pauknya."
"Tenamo (2)! Urusi dirimu sendiri, deh."
Zea jengkel dengan ucapan Tris yang meremehkan keadaannya. "Baik. Kita lihat siapa yang duluan dapat air dan siapa yang akan meminta-minta belas kasihan."
Tris yang menerima ajakan perang dari Zea segera memanjat satu per satu anak tangga yang ada. Zea pun tidak mau ketinggalan. Tris yang menyadari cowok bertindik satu itu berada di bawahnya sontak menghentikan gerakannya dan menundukan kepala ke bawah.
"Loh? Kukira kamu mau cari sendiri, kok malah ngekor, sih," sindir Tris yang dibalas dengan tatapan sinis dari Zea.
"Emangnya kamu pikir aku mau pergi keluar? Dikira aku bego apa? Kuperingatkan, ya. Aku beda sama cowok bodoh yang mau-maunya diperalat sama cewek yang cuman menang di-body doang."
"Hooo, gitu ya? Pantas Ann benci banget sama kamu. Mantan pacarmu juga sering mengutuk dirimu yang picik." Perkataan Tris yang menusuk berhasil membuat Zea terdiam beberapa saat.
"Oke, kamu sudah ku-black list. Jangan harap aku akan menolongmu nanti. Akan kubiarkan kamu mati membusuk di sini," ujar Zea yang diabaikan oleh Tris.
Sepertinya kombinasi dari Zea dan Tris lebih mengerikan daripada kombinasi dari monster yang mengejar mereka tadi.
Setelah melewati beberapa anak tangga, sampailah mereka di bagian teratas menara. Angin berhembus pelan dari celah-celah atap yang berlubang. Sebagai ganti dinding yang menyangga atap, ada sebuah tiang yang membumbung tinggi memperkokoh menara tersebut. Banyak barang berserakan di lantai, kain-kain putih yang lusuh menutupi beberapa perabotan.
Namun, ruangan yang porak poranda itu tidak terlalu mengusik keduanya. Mereka malah terpaku dengan tulisan merah yang terpampang jelas di jendela besar yang tertanam di salah satu sisi dinding.
Kematian berjalan mendekatimu.
"Orang bodoh macam apa yang menulis beginian?" komentar Tris sembari menatap jijik tulisan merah itu.
Zea meraba tulisan tersebut. Darah. Zea yakin tulisan itu bertintakan darah yang sudah mengering dan ditulis menggunakan jari manusia. "Mungkin ini sebuah peringatan?"
"Kalau itu memang peringatan, kenapa di tulis di sini? Kalau diliat secara seksama, ini bukannya semacam menara pengawas? Mana mungkin tulisan sekecil ini bisa kelihatan dari bawah."
Perkataan Tris ada benarnya. Untuk apa sebenarnya tulisan itu? Menunjukkan bahwa ada malapetaka yang sedang mengintai mereka? Tanpa diperingatkan pula, mereka tahu adanya ancaman tersebut. Makhluk jadi-jadian yang sekarang masih berkeliaran di luar sudah mempertegas bahwa maut bisa kapan saja menjemput Zea dan Tris.
Mereka memutuskan untuk mengabaikan tulisan itu dan mulai kembali melakukan pencarian sumber air. Tiba-tiba, dalam kesunyian malam, terdengar suara raungan kecil. Tris mendadak menengok ke segala arah, mencoba lebih waspada.
"Mereka kembali?"
"Bukan," jawab Zea tenang.
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Karena itu bunyi perutku."
Tris menatap tajam Zea. "Jangan bilang habis muntah, kamu mules dan mau boker?"
"Kenapa kamu berpikir diriku sejorok itu, Tris? Sekarang aku lafar!"
"Lapar yang benar, Bambang!"
"Salah. Lapar itu artinya kenyang karena 'p'-nya tertutup mulutnya. Seharusnya lafar karena 'f' mulutnya terbuka."
"Terserahmu, deh. Dasar rakus." Tris membalikan badannya dan mencoba berkeliling di ruangan itu.
Sesaat Zea melangkah menuju sudut ruangan, ada benda keras yang berhasil membuat dirinya tersandung. "Apa ini?" Pemuda itu menarik sebuah benda panjang. Ternyata itu adalah pedang berukuran sedang, sepanjang lengan pria dewasa. Tampak corak-corak indah serta warna yang tidak serasi membaluti sarung pedang tersebut.
"Ah! Itu senjata khas orang Dayak, mandau," jelas Tris girang.
"Senjata? Wah, artinya kita bisa pakai ini untuk melawan monster tadi." Zea membalik-balikan pedang itu. Mengaggumi senjata kuno yang tampaknya masih tajam.
"Berikan padaku. Biar aku yang menyimpannya," kata Tris sembari menganjurkan tangannya.
"Untuk apa?" tanya Zea kebingungan.
"Kok tanya lagi, sih! Aku yang gunakan pedang itu, Bodoh. Biarkan orang yang ahli di bidangnya yang menggunakan senjata tajam."
Urat di dahi Zea menonjol, dengan kesal dia menodongkan pedang yang tadi sudah disarungkan kembali ke depan wajah Tris. "Apa maksudmu dengan orang ahli? Dan sudah kubilang, jangan sebut aku--"
Tris yang merasa diancam spontan meraih lengan Zea yang memegang mandau. Menariknya ke bawah, lalu menendang wajah pria itu dengan lutut, tepat ke hidung pemuda malang itu.
Serangan itu menyebabkan mata Zea berair. Dia menjatuhkan mandau itu dari tangannya, refleks menyentuh hidungnya yang kesakitan. Walaupun tidak mengeluarkan darah, rasa sakit yang menjalar di wajahnya benar-benar tidak main-main.
"Bangke! Aku malah dihajar!"
"Makanya, jangan macam-macam sama perempuan," seru Tris sambil menyibakkan rambut cokelatnya yang terurai.
"Kamu benar-benar sadis, Tris." Zea berusaha memijit hidungnya yang mulai membengkak.
"Terima kasih atas pujiannya," balas Tris dengan nada sombong. Gadis itu pun meraih mandau yang tergeletak di atas lantai. "Kamu cari senjata lain. Contohnya tongkat kayu yang ada di sudut situ. Kamu kan cowok, bisa pakai senjata yang berat-berat."
"Bukannya itu lebih cocok buat cewek gorila macam dirimu," gumam Zea yang masih mengelus-ngelus hidung malangnya. Untung saja Tris tidak mendengarnya, bisa-bisa hidung Zea bakalan sepesek Voldemort.
Kedamaian mereka kembali terusik. Suarang langkah yang terseret-seret itu kembali, dan sekarang bukan hanya satu, tapi ada dua.
Tris yang berada di dekat jendela, mencoba melihat keadaan di bawah menara. "Kita diserang!"
Dengan sigap, Zea meraih tongkat kayu tersebut. Bongkahan kayu itu memiliki ujung yang patah, cukup untuk menusuk apapun yang berada di wilayah serangannya. Selain itu, tongkat tersebut memiliki serat-serat yang kokoh sehingga bisa juga digunakan menjadi senjata tumpul, two in one.
Sedangkan Tris menarik selongsong dari mandaunya. Kilatan dari bilah pedang itu sejenak membuat Tris semakin percaya diri dengan kemampuannya.
Zea dan Tris terdesak. Mau tidak mau mereka harus melawan monster itu dan pergi mencari tempat yang lebih aman. Mereka pastinya merasa ketakutan, tapi mereka belum sampai kehilangan akal untuk tidak melakukan perlawanan.
Sepintas, Zea mendapatkan ilham dari otak cermelangnya. "Tris, aku punya ide."
"Ide? Untuk apa? Kabur?"
"Tidak ... kita akan buat mereka kewalahan," kata Zea sembari berseringai licik.
***
(1) Ungkapan kaget khas orang Makassar.
(2) Ungkapan penolakan khas orang Makassar.
Menurut kalian, cerita ini sudah seru atau belum? Ayok komen di sini. Jangan lupa vote dan share juga cerita ini, ye.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top