[ε] TATO

Dalam hitungan detik, Nigel dan Ann sudah tiba di pintu keluar. Naas, Nigel yang tertinggal di belakang mendapat serangan dari makhluk mengerikan itu. Cakar besar nan tajam berkilauan di gelapnya malam, berhasil menggores punggung pemuda itu, menghasilkan empat garit besar di bajunya. Untung saja cakaran monster itu sedikit meleset, sehingga luka yang diderita Nigel tidak terlalu parah.

Ann yang berada jauh di depan menunjuk sebuah gubuk yang sepertinya dulu digunakan sebagai gudang. Mereka berlari sekuat tenaga, berusaha tidak menoleh ke belakang.

Setibanya di dalam ruangan berukuran lima kali lima meter itu, segera Ann membanting pintu setelah Nigel berhasil masuk dengan selamat, lalu menurunkan sembongkah papan yang digunakan untuk mengunci pintu itu dari dalam. Terlihat kokoh, namun tidak menjamin keamanan mereka untuk ke depannya.

Ann mundur perlahan-lahan, menjauh dari satu-satunya jalan masuk ke dalam gudang. Mereka berusaha menajamkan pendengaran. Meminimalisir gerakan. Mereka pun sampai menahan napas agar tidak membuat suara yang berisik. Ini kah rasanya menjadi rusa yang diburu singa? Menjadi makhluk paling lemah, incaran dari bentuk kehidupan yang lebih kuat? Mengerikan.

Suasana tegang itu terasa seperti ribuan tahun.

Tidak ada suara. Sunyi senyap. Bagaikan tidak ada lagi sumber kehidupan di sekitar mereka.

Selang beberapa detik, Nigel memberanikan diri untuk mengintip dari celah pintu kayu. Memang tindakannya termasuk ceroboh. Ada kemungkinan monster itu sedang berdiri di depan pintu dan malah menancapkan kukunya tepat ke lubang mata Nigel. Sayangnya tidak ada pilihan lain, dia harus memastikannya sendiri.

Nigel mendekatkan sebelah matanya di lubang yang ada. Tidak terlihat apapun, monster itu tidak ada. Lenyap seperti sebuah ilusi.

Tetap dalam keadaang siaga, mereka berdiam diri, tidak membuat banyak gerakan yang bisa menimbulkan suara. Ann masih berusaha menahan napas, keringat dingin membasahi tengkuknya.

Satu menit berlalu, situasi tampaknya sudah aman. Nigel kembali melihat keadaan sekitar melalui celah-celah di dinding yang bolong. Untuk sementara, mereka bisa bernapas lega. Sepertinya monster itu tidak mengejar mereka berdua.

Nigel yang belum menurunkan kewaspadaannya, mengecek kekuatan pintu dan dinding gubuk tersebut, lalu mencari barang yang bisa dijadikan senjata darurat.

Gudang itu tidak menyimpan banyak barang. Sepertinya sang pemilik sudah membersihkan tempat itu dan hanya meninggalkan setumpuk papan kayu yang mengambil setengah ruang dari keseluruhan gubuk.

Ann yang sudah berhasil menguasai kembali dirinya, tercengang ketika melihat punggung Nigel. Tampak darah segar merembes ke jaket denim abu-abu yang dikenakan teman lelakinya itu.

"Nigel, kamu terluka!" teriak Ann setengah berbisik. "Banyak sekali darahnya keluar."

"Ah, iya. Aku baru sadar. Tadi terasa ada yang menyentuh belakangku. Ternyata aku kena, ya," jelas Nigel dengan santainya dan masih sibuk melihat-lihat susunan papan kayu di depannya.

Ann tidak senang dengan jawaban Nigel, membuat dirinya naik pitam. "Kamu bego, hah? Kamu sekarang terluka! Harus cepat--"

Belum selesai Ann mengomel, Nigel memotongnya. "Hei, bisa bantu aku angkat papan ini? Sepertinya aku melihat kapak."

Merasa diabaikan, Ann melangkah dengan gusar ke hadapan Nigel, lalu mendorong pemuda itu menjauh dari tumpukan papan kayu besar. Gadis itu pun melipat kedua tangannya dan mengangkat dagunya dengan angkuh. Nigel yang memiliki tinggi di atas rata-rata harus menundukkan kepalanya untuk bisa memandang dua netra hitam yang menatapnya dengan menusuk, ada percikan kemarahan di dalamnya.

"Buka bajumu," titah Ann singkat.

"Apa?"

"Kubilang buka!"

Ann yang berteriak seketika membuat Nigel kocar-kacir berusaha membuat gadis itu mengecilkan suaranya. Nigel menaikan jari telunjuk ke depan bibirnya yang tebal berkali-kali. Namun, Ann tetap mengeraskan wajahnya, sudah tidak peduli ada makhluk yang sedang mengincar mereka berdua.

Nigel memilih untuk mengalah. Dia buka jaket yang sudah mendapat pemanis di punggungnya berkat monster tadi, setelah itu melepaskan kaos terbaiknya yang juga tidak terselamatkan. Ann yang tadinya marah langsung terkesima melihat tubuh Nigel--bukan karena luka yang ada di punggungnya--tetapi tato yang menutupi seluruh tubuh pemuda setengah telanjang itu.

Nigel yang menyadari Ann terpaku dengan tubuhnya, mencoba untuk menjelaskannya, "Ah, ini? Tato ini sudah ada sejak umurku genap sepuluh tahun. Keluargaku percaya bahwa ini bisa menjagaku dari roh-roh jahat. Katanya sih, tubuhku yang tidak bisa merasakan sakit malah menjadi mangsa empuk untuk mereka. Yah ... keluargaku masih berpikiran kuno, percaya dengan takhayul." Nigel menggaruk-garuk kepalanya dengan canggung.

"Pantasan ... kalau dipikir-pikir kamu memang tidak pernah memakai baju lengan pendek selama ini," kata Ann mengingat kebiasaan Nigel dalam berpakaian.

Berbeda dengan teman sebayanya, Nigel lebih sering mengenakan kemeja lengan panjang atau kaos dengan jaket denim yang tebal. Mau sepanas apapun cuaca, Nigel tidak pernah mengeluh dengan pakaiannya. Entah karena terbiasa atau ada sesuatu yang dia sembunyikan, pada akhirnya Ann berhasil mengetahui kebenarannya.

Sejenak Ann merasa lega. Itu artinya Nigel tidak sepenuhnya membenci dirinya. Malah pemuda itu seperti mempercayai dirinya, membiarkan sisinya yang jarang diketahui orang kepadanya.

"Iya, bahaya kalau diliat sama dosen atau teman-teman yang lain. Bisa-bisa mereka berpikir aku preman pasar yang tersesat di kampus."

Ann memandang lama tubuh Nigel. Melihat corak unik yang terlukis di kulit putih Nigel yang mulus, membuat Ann menganggap hal itu aneh untuk ukuran cowok yang biasa keluar ruangan. Namun, dengan kebiasaan berpakaian seperti Nigel, tentunya kulit pria itu malah lebih cerah dan terawat dibanding dirinya. Garis hitam yang berliku-liku membentuk gelombang-gelombang yang menawan. Pola apakah itu? Ann yang tidak pernah melihat pola semacam itu, membuat dirinya semakin penasaran.

Tanpa Ann sadari, Nigel merasa tidak nyaman dengan tatapan penuh selidik dari gadis paling kepo di angkatan itu. Nigel takut Ann akan mencoba melakukan riset yang aneh terhadap tubuhnya--seperti yang telah dilakukan Zea sebelumnya--atau menjadikan dirinya sebagai buah bibir di kampus nanti.

"Bisakah kamu, tidak memandang tubuhku terus? Aku bukan karya Picaso yang patut dinikmati keindahannya," kata Nigel sambil tersenyum kecil.

Ann langsung tersadar dari lamunannya. "Ma-maafkan aku." Dia memalingkan wajah dan tersipu malu menyadari tingkah bodohnya. Bisa-bisanya dia menatap tubuh laki-laki selama itu. Apalagi mereka tidak memiliki hubungan intim yang dekat.

"Duduk dan ba-ba-balik badanmu. Maksudku, berbaliklah," perintah Ann dengan suara yang sedikit bergetar.

Nigel melaksanakan permintaan Ann tanpa berkomentar. Dia berbalik dan memberi punggunya.

Sempat Ann malu-malu memandang punggung Nigel. Akan tetapi, dia harus menepisnya dan berusaha fokus dengan hal yang lebih penting. Ann merobek bagian bawah dari blouse selututnya.

Mendengar suara robekan kain, Nigel menoleh, terkejut dengan tindakan Ann. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Nigel heran.

"Tidak ada kain maupun air untuk membersihkan lukamu. Cuman ini yang ada." Ann kembali memotong kain panjang itu menjadi beberapa bagian.

"Masa kamu--" Nigel sejenak ragu melanjutkannya. "Mau robek bajumu terus?" gumamnya malu.

Ann menghentikan aktivitasnya. "Kamu kira aku mau telanjang kayak kamu juga? Kamu kira aku bodoh?" timpal Ann jengkel. Bisa-bisanya cowok satu itu berpikir yang aneh-aneh di situasi segenting itu.

Nigel menelan ludah. "Tidak, kok. Kamu kan anak paling pintar di angkatan. Tidak diragukan lagi."

Ann mendengus kesal dan melanjutkan kegiatannya hingga mendapatkan beberapa potong kain darurat dengan mengikhlaskan bajunya menjadi lebih pendek. "Awas kamu mikir yang macam-macam. Akan kulaporkan kamu ke orang tuaku karena melecehkan putrinya."

"Ya, ya, maaf."

Kain yang paling kecil Ann gunakan untuk membersihkan punggung Nigel dari darah yang sudah mulai mengering. Lalu, kain yang lebih panjang dililitkan ke tubuh Nigel dan diikat dengan erat, demi menghentikan pendarahan lebih lanjut dan agar tidak terpapar dengan udara luar secara langsung. Hasil dari jerih payah Ann berhasil menutupi luka Nigel untuk sementara waktu.

Nigel yang sedari tadi hanya diam dan menerima pertolongan pertama dari Ann, angkat bicara, "Kamu ternyata terampil juga, ya, Ann."

Ann yang sibuk mengikat kuat kain terakhir, berdeham. "Tentu saja, sebab dulu aku sempat ikut pelatihan."

"Pelatihan apa?"

Ann mengembuskan napas panjang. "Dulu aku bercita-cita menjadi perawat, jadi aku berusaha membaca buku-buku keperawatan atau ikut pelatihan saat SMA. Sayangnya ... aku tidak lulus," kata Ann sembari tersenyum lirih.

"Kenapa bisa? Perasaan kamu pintar?"

"Kamu jangan ketawa, ya!"

"Kenapa ketawa?"

"Karena dengar penyebabnya, sehingga aku tidak lulus."

"Iya, aku janji."

Ann mengulum bibirnya dalam-dalam, berusaha menahan rasa malu yang mulai membuat kedua telinganya memanas. "Aku ... pendek."

Ada jeda panjang setelah mendengar pengakuan Ann. Gadis itu memandang lekat-lekat Nigel, menunggu respon darinya.

"Pfffttt ...." Nigel tidak tahan dengan geli di dadanya. Membuat suara kecil dari mulutnya.

"Kau! Kau ketawa, hah!"

"Tidak, tidak. Aku berusaha untuk tidak tertawa. Itu tandanya aku berusaha menahannya. Lihat." Tiba-tiba Nigel menoleh ke belakang. Membuat jarak wajah mereka berdua sangat dekat.

Ann refleks menundukan kepalanya dengan malu. "Awas kamu kasih tau orang lain. Bakalan kubuat kamu menyesal seumur hidupmu," ancam Ann setelah berhasil mengikat kain terakhir.

Nigel tersenyum, dia balikan badannya ke arah Ann dan mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Iya. Terima kasih sudah mau merawat lukaku."

Ann tesentak. Dia bisa merasakan telapak tangan Nigel yang besar itu ada di atas kepalanya. Membuat dirinya cepat-cepat mundur dan menjauh dari Nigel. "Apa yang kamu lakukan!"

"Ah, maaf. Enggak sadar aku melakukannya," jawab Nigel dengan santai.

Ann yang tersipu dengan tindakan Nigel, membuang muka dan pergi menjauh dari pria itu. Dia tidak mau wajah yang memerah juga detak jantungnya yang berdebar keras didengar oleh orang yang diam-diam dia sukai itu.

Sementara itu, Nigel memandang telapak tangannya. Dia teringat dengan pamannya yang selalu melakukan hal yang sama ketika dia marah maupun sedih. Kalau Nigel bisa keluar dari desa ini dan menceritakan kisahnya, dia bisa membayangkan pamannya akan menjerit kegirangan dan ingin segera datang ke hutan untuk membuktikannya. Nigel tahu pamannya sangat suka dengan cerita berbau abnormal macam yang dia alami sekarang. Namun, itu bisa terjadi kalau dia berhasil keluar dari sini hidup-hidup.

Sudah merasa baikan, Nigel bangkit, memasukkan ponsel yang sedari tadi menjadi penyinar di dalam kegelapan, dan kembali melangkah ke depan susunan papan kayu tadi.

Nigel menoleh ke arah Ann yang dari tadi berjalan hilir mudik, berusaha menutupi perasaannya yang berbunga-bunga. "Bantu aku angkat ini, Ann. Kita butuh senjata dan kita tidak bisa berlama-lama berdiam diri saja. Kita harus menemukan yang lain."

***

Kenapa jadi romantis, ya, di sini?😂

Ada pendukung Nigel-Ann? Atau malah lebih milih Nigel-Nia?
Tinggalkan jejakmu, yeee. 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top