[ρ] DUKA

Mainkan musiknya untuk suasana yang lebih mencekam.
Music from The Dark Side - Stronger than Fate.

***

"Selesai!" kata Zea penuh semangat.

"Siap semuanya? Waktunya untuk menyelamatkan Nia!" teriak Cass menggebu-gebu.

"Hei, jangan berisik! Kamu mau kita mati konyol sebelum mulai, hah?" Tris jengkel dengan perilaku kekanak-kanakan dari duo idiot itu.

Nigel tersenyum miring melihat tingkah laku Zea serta Cass. Yah, tidak ada salahnya mereka menaikan mood. Daripada meratapi nasib yang sudah menimpa, atau lebih parah lagi depresi dan menyalahkan keadaan yang ada. Setidaknya Nigel berterima kasih pada mereka berdua, tapi dalam hati. Kalau dikasih tahu, pasti mereka bakal melunjak dan dapat dijamin Tris serta Ann akan risih karenanya.

Semua persiapan telah selesai, keenam mahasiswa itu naik ke atas rakit. Dengan bambu panjang yang telah diubah menjadi dayung ala kadarnya, Xanor dan Cass menumpukan ujung dayung ke pinggiran sungai, lalu mendorong sekuat tenaga sehingga rakit bisa terjun ke aliran sungai.

Mereka sudah membagi posisi masing-masing. Keempat pria bersiap di tiap ujung, memegang bambu panjang untuk mendayung rakit sampai di seberang. Sedangkan Tris dan Ann duduk manis di tengah-tengah rakit untuk menjaga keseimbangan.

"Ngomong-ngomong ... bungkusan apa itu, Nigel? Kok Ann juga punya?" tanya Cass yang penasaran dengan kantung-kantung yang diikat di pinggang pemuda itu dan begitu pula pada Ann.

"Oh ... aku belum menjelaskannya kepada kalian, ya? Makhluk yang berkeliaran di sini bisa kita takuti dengan tanah yang menjadi tempat dilakukannya ritual pemanggilan Erebus. Kalau kita bertemu dengan mereka, lemparkan pasir ini ke mereka. Meskipun begitu ... aku tidak menjamin akan bekerja seperti apa."

"Maksudnya? Aku belum tau apakah benda itu akan efektif melawan mereka?"

Nigel mengelus belakang lehernya. "Ya, bisa dibilang gitu. Aku cuman tau teorinya, tapi belum pernah melakukannya. Jadi ... aku sebenarnya bertaruh pada pengetahuanku ini."

Zea yang sedang mendayung ikut nimbrung dalam perbincangan itu. "Setidaknya kita tidak dalam keadaan tangan kosong. Apapun harus kita gunakan, demi keselamatan bersama."

Pemuda berambut gondrong itu tersenyum mendengar pembelaan dari sahabatnya itu. "Ya ... apapun yang terjadi, kita semua harus keluar dari tanah terkutuk sialan ini. Kita ... harus bisa melihat matahari terbit. Lagi."

Awalnya perjalanan mereka mulus-mulus saja. Namun, ketika mereka sudah tepat berada di tengah-tengah sungai, tiba-tiba muncul gelembung di permukaan air, tidak jauh dari posisi mereka sekarang.

Cass menunjuk buih tersebut dan memberikan aba-aba untuk menjauh. Berkat kordinasi yang bagus, mereka bisa menghindari bahaya dengan tenang. Setelah merasa sudah pada area yang aman, mereka kembali mengarahkan rakit ke arah tujuan.

Diperkirakan jarak antara daratan satu dengan yang lainnya sekitar dua puluh meter. Tidak terlalu jauh. Tetapi menjadi sulit dilewati karena tidak ada yang tahu kedalaman maupun apa yang bersembunyi di bawah sungai itu.

Tinggal beberapa meter lagi, bisik Nigel dalam batinnya.

Baru saja mereka lega telah menjauhi sumber bahaya, gelembung-gelembung itu kembali muncul. Dari satu titik menjadi dua, tiga, dan bertambah seterusnya. Parahnya malah mengepung mereka di segala arah.

Sontak wajah muda-mudi itu langsung pucat pasi. Tamatlah riwayat mereka. Ternyata mereka lupa akan satu hal. Gerakan dan gelombang yang dihasilkan dari dayung akan tetap membuat makhluk di bawah air dapat mendeteksinya dengan mudah.

Sial, tolol sekali diriku. Kita sekarang melawan makhluk air. Pasir ini pastinya tidak akan mempan. Nigel memaki dirinya sendiri atas kebodohannya itu.

Dilanda situasi yang gawat secara tiba-tiba, membuat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Benar-benar tersudutkan. Pilihan yang mulai menjalar ke pikiran mereka adalah pasrah dan tinggal menghitung detik-detik kematian menjemput.

Ketika semuanya dilanda penyesalan sebelum mati, Xanor malah tetap berdiri tegak di atas rakit. Tidak ada ketakutan terukir di wajahnya.

"Maaf, tidak ada pilihan lain," gumam Xanor samar-samar.

Satu detik berikutnya, Xanor telah menceburkan dirinya ke dalam air. Suara ceburannya bagai gemuruh perang yang memecah kesunyian mencekam. Pemuda yang selama ini jarang berbicara itu ternyata lebih memilih mati demi keselamatan orang lain. Sejak dulu pemuda pendiam itu memang sulit sekali ditebak jalan pikirannya. Terlalu nekat dan hal itulah yang akan menjadi alasan utama dia bisa mati di usia muda.

"XANOR!" teriak kelima temannya dalam waktu bersamaan.

Sesaat itu, suara melengking tinggi terdengar. Gerombolan monster air mulai memunculkan siripnya di permukaan air, mendekati rakit berisi makan malam yang menggoda dengan rasa lapar yang tak tertahankan.

Tapi anehnya, rakit itu mulai bergerak sendiri.

Cass segera melemparkan pandangannya ke seluruh bagian rakit. Di bagian belakang, ada sepasang tangan yang menggenggam erat sisi rakit. Ternyata Xanor mendorongnya dari bawah. Dengan gaya dorong dari kedua kaki kekarnya, rakit itu mulai bergerak maju dengan cepat dan konstan.

"Cepat! Bantu Xanor. Dayung yang kuat!" Nigel memberi perintah kepada teman-temannya.

Ketiga pria yang tersisa di atas rakit segera mendorong bambu mereka ke dasar sungai, mengayuh rakit agar bergerak lebih cepat.

Baru saja rakit yang mereka naiki mencium daratan, spontan mereka semua segera melompat dan berlari menjauh dari air.

"Tunggu! Xanor, Xanor belum muncul-muncul!" teriak Cass yang segera menghentikan teman-temannya kabur lebih jauh lagi.

Mereka memandang sungai itu dengan perasaan cemas. Saking sibuknya mengayuh, mereka sudah tidak tahu apakah Xanor masih berenang di balik rakit atau tidak.

"I-i-itu d-darah." Tris menunjuk ke riak air yang berbuih-buih, tidak jauh dari rakit. Terlihat darah mencuat keluar ke permukaan, mulai mengubah warna air menjadi merah kehitaman.

"Tidak! Xanor!" jerit Ann sembari menangis histeris.

"Tidak, ini tidak mungkin. Xanor ...." Tubuh Zea bergetar hebat, wajahnya putih seputih kapur.

"XANOR!" Cass berteriak penuh luapan emosi. Tanpa dia sadari, air mata mulai membasahi pipinya.

***

Mereka tetap meneruskan perjalanan, dengan jalan tertatih-tahi, napas yang menyesakan, dan air mata yang belum kering di wajah. Menjauhi sungai maut yang telah merenggut Xanor dengan kejamnya. Tidak ada yang tersisa untuk mereka kenang akan pemuda malang itu. Peristiwa tadi telah membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa. Mau mereka menyalahkan satu sama lain pun tidak akan bisa mengembalikan Xanor sedia kala.

Dalam suasana duka yang begitu dalam, tiba-tiba terdengar senandung yang memecah keheningan.

"Siapa yang berani bernyanyi di tempat begini?" bisik Zea ketakutan.

"Orang yang ingin mati," jawab Cass datar dan tanpa minat. Dia sudah kehilangan harapan setelah kehilangan Xanor. Bagaimana pun juga, Xanor adalah orang yang sudah menyelamatkan nyawa Cass dua kali, dan Cass amat sangat kehilangan dirinya.

"Cass, hentikan. Jangan berpikir yang aneh-aneh," peringat Nigel yang mencemaskan keadaan piskis Cass.

Bukannya berterima kasih, Cass tampak kesal dengan ucapan Nigel. "Ini semua salahmu. Masa kamu tidak punya ilmu sihir atau semacamnya untuk menyelamatkan kita semua? Sebenarnya apa yang kamu pelajari dari pamanmu? Atau jangan-jangan kamu yang telah menipu kita sampai terjebak di sini? Jawab!" maki Cass dengan nada penuh kebencian.

"Tidak ada sihir seperti itu, Cass. Kalau pun ada, dari tadi sudah kulakukan. Kamu kira aku penyihir apa."

"Hooo ... emangnya bukan, ya? Lalu apa maksudnya dengan ritual ini ritual itu, lalu sihir ini sihir itu. Ohhh, aku paham. Kayaknya kamu itu cuman dukun ilmu hitam, ya," kata Cass menantang.

"Apa kamu bilang!" Nigel akhirnya tersulut emosinya.

Dengan sigap, Zea melerai kedua pria yang siap adu jotos itu. "Hei, Men. Santai ... jangan diambil hati. Lalu Cass, bisakah kamu diam saja. Jangan tambah memperkeruh suasana."

Cass mendorong Zea menjauh darinya. "Jangan halangi aku, Zea. Aku mau mendorong dukun ini ke sungai. Biar sekalian jadi daging cincang."

Tanpa basa-basi, Nigel langsung melayangkan pukulan ke wajah Cass. Membuat pria beralis tebal itu hampir tersungkur ke tanah. Jika perempuan berkelahi dengan menggunakan kata-kata, maka kaum lelaki akan menggunakan tangannya. "Sini, biar kusembur kau dengan sihir terkutukku, biar kamu ikutan mampus!"

"HENTIKAN!" Ann berteriak sangat kenjang hingga bergema ke penjuru hutan.

Tris spontan menampar Ann lumayan keras. "Ann! Apa yang kamu lakukan? Kamu sudah gila berteriak sebesar itu!"

"Sakit!" pekik Ann kaget sembari memegang pipinya yang memerah. "Ma-maafkan aku." Ann terlihat sangat menyesali tindakannya tadi.

Semakin lama emosi mereka bercampur aduk. Semakin memburuk dan itu adalah hal itu yang malah mengundang makhluk-makhluk yang hidup di sana untuk mendatangi mereka.

Suara senandung itu kembali terdengar. Namun, sekarang terasa sangat dekat. Asal suaranya sudah berada tepat di atas mereka.

Sesaat mereka mendongak ke atas, di sana ada gumpalan daging merah yang bergelantungan di dahan pohon. Sekali lihat saja, Nigel sudah bisa pastikan bahwa itu adalah monster yang pernah menyerangnya di salah satu rumah penduduk sebelumnya. Dua netra hitamnya berkilauan di lautan kegelapan. Makhluk itu berseringai melihat mangsanya lebih dari satu. Air liurnya menetes ke wajah Ann.

"Lari!" Walaupun tanpa diberitahu, mereka semua pasti akan melarikan diri dari monster haus akan darah itu.

Melihat mangsanya kabur, monster kera itu meraung sangat keras. Tak jauh dari tempat mereka, bermunculan monster mengerikan yang serupa, sedang melompat-lompat di dahan pohon secara bergantian.

"Lari terus. Jangan berhenti! Jangan menoleh!" teriak Zea yang bergegas mengambil bambu runcing kecil yang sudah dia buat sebelumnya dan mulai menyerang satu monster kera yang berhasil mengejarnya.

Namun, tanpa dia sadari, salah satunya mencoba untuk menjatuhkan dirinya tepat di atas Zea. Untung saja Tris segera mendorong Zea menjauh dari titik bahaya.

"Tris? Apa yang kamu lakukan di sini!"

"Sama seperti yang kamu pikirkan sekarang." Tris mengeluarkan mandaunya dan menebas monster yang mencoba melompati mereka berdua.

"Ah, sial. Kenapa aku harus terus berpasangan denganmu," keluh Zea.

"Hahaha ... kamu kira aku suka? Sorry ye, tipeku enggak serendah dirimu."

"Apa kamu bilang!" Zea sejenak menoleh ke arah di mana ketiga temannya kabur. Tampaknya mereka berhasil menjauh dengan selamat.

Zea berbalik dan bersiap untuk menyerang monster berikutnya. Senyuman mengembang lebar di wajahnya yang pucat. "Oke, akan kutunjukkan, kalau aku adalah cowok yang paling berani dan paling keren yang pernah ada."

***

Apakah mereka semua akan pulang dengan selamat??? Ikuti terus ya sampai selesai. 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top