Aroma anggur menyeruak pekat menusuk indra pembau. Botol-botol kaca tampak berkilau diterpa remang lampu kuning, berjejer rapi di rak tinggi. Alunan lagu Fly Me to the Moon yang dipopulerkan oleh penyanyi asal Amerika itu mengalun pelan dari vinyl player dipojok ruang. Cocok benar mejadi iringan segelas wine manis.
Entah untuk yang kesekian, Nanami Kento menyiuk. Sekali lagi meneguk minuman berakoholnya. Rasa nyeri menyerang kepala, dipijitnya pelan sembari memejamkan mata. Laporan menumpuk, revisi, dan deadline membuatnya harus kerja lembur dua pekan terakhir, maka malam ini akan ia bayar jerih payahnya dengan beberapa gelas tequila.
Jam vintage yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 23.50, namun tak membuat Nanami menggerakkan niat untuk pulang. Pria keturunan seperempat Denmark itu memilih untuk menetap lebih lama di bar yang hanya menyisakan dirinya dan satu barista. Sungguh tenang seperti yang ia suka.
Denting lonceng mengalihkan atensi. Masuk seorang gadis muda, dengan rambut tergerai indah—gerimis diluar belum berhenti sejak sore, membuat basah mantelnya. Bola mata (e/c) sayu milik puan menatap kosong, namun menambah kesan elok pada paras ayu-nya. Bibir ranum serta pipi merona itu sangat manis, kontras dengan kulit putih putih bak mutiara sang empu. Seperti menyihir semua orang yang pertama kali melihat, adalah Nanami Kento salah satunya. Netra sang pria tak mau lepas dari cantik wajah itu.
Gadis tersebut duduk dengan selisih dua bangku dari Nanami. Bisa ia dengar jelas suaranya yang memesan segelas rum.
Nanami sedikit-banyak mencuri pandang. Melirik dari sudut mata seluruh gerak geriknya. Hanya senyap menemani. Lagu Fly Me to the Moon yang sekarang telah berganti masih jelas terdengar meski kecil volumenya. Sesekali si wanita menopang dagu, sesekali juga menenggelamkan wajah dalam lipatan tangan. Ingin hati mengajaknya berbincang barang menyapa, Namun Nanami tidak punya cukup keberanian. Hingga segelas rum dihidangkan oleh Tuan barista, canggung masih menyelip diantara mereka.
"Sepertinya Tuan disana sangat menikmati tequila di bar ini. Melepas penat setelah bekerja, hm?"
Nanami termangu, buru-buru menjatuhkan atensinya pada sumber suara. Si wanita tersenyum, membentuk sebuah kurva yang dalam sedetik meluluhlantakan dinding pertahanan Nanami yang dikenal tidak bisa ditembus siapapun. Begitu rupawan.
00.00—Nanami Kento jatuh cinta. Terdengar gila, memang. Tak pernah ia rasa perasaan ini sebelumnya, memikirkannya saja tak suah. Namun paras rupawan si Nona lebih membuat gila.
Deru pendingin ruangan berdesing pelan. Nanami meneguk saliva kasar.
"Ada apa? Saya tau sedari tadi Anda asyik mencuri pandang. Apa Tuan orang yang se-pemalu ini?" Tanya lawan biacaranya setengah mabuk, berpindah satu kursi disamping si pria. "Bolehkah?"
Nanami mengangguk patah-patah. Gugup menjajah raganya.
"(First name) (Name), jika Anda ingin tau. Tapi tak perlu repot mengingatnya, setelah ini kita tak akan bertemu lagi—Salah satu alasan mengapa saya mengajak Anda mengobrol. Bolehkah?" (Name) memutar ringan gelas rum, sebelum ditegaknya kembali. Sekali lagi dibalas anggukan.
Sungguh lembut suaranya menggetarkan hati. Dilihat dari dekat seperti ini membuat Nanami tak karuan, tenggorokannya seakan tercekat ketika ingin mengatakan sepatah dua kata.
"Bagaimana rasanya menjadi manusia normal?" Lontaran pertanyaan tiba-tiba itu membuat Nanami mengerjap bingung. Apa maksud 'manusia normal'? Bahkan tubuh (Name) tak cacat satu badan pun.
"Maaf, saya tak mengerti maksud Nona." Sementara lawan bicaranya malah terkekeh, sempurna mabuk.
"Bagaimana rasanya menjadi manusia normal, hidup normal, dan bekerja dengan normal? Apakah mengasyikkan?
"Jika boleh menebak, Anda pasti pekerja kantoran? Bagaimana rasanya duduk di gedung-gedung tinggi nan megah itu? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat bahagia. Aah, betapa irinya dengan orang yang memiliki kehidupan normal. Keluarga, pekerjaan, dan tempat pulang. Setiap harinya disertai kebahagiaan. Tidak perlu takut akan trauma masa lalu, tak perlu bekerja dengan cara kotor, juga dikelilingi orang tercinta. Bisakah saya, Tuan? Bisakah saya mengambil hak saya sebagai manusia? Apa dunia selalu sekejam ini? Bahkan seujung jaripun tak pernah saya mendapat keadilan.
"Dunia itu egois, Tuan. Ia memberi banyak ketakutan, mendorong manusia putus asa seperti saya untuk menyerah. Namun disisi lain mengapa saya gemetar ketika memegang botol berisi racun? Mengapa saya hanya diam ketika leher saya terikat tali yang menggantung pada plafon kamar? Hanya maju selangkah, dan saya bisa lepas dari semua rasa sakit ini, namun kenapa saya selalu takut? Dunia terlalu egois, Tuan."
Nanami Kento termakan senyap, celotehan si gadis membuat rancu. Namun di sisi lain ia paham, wanita itu tak sekuat penampakannya. Tubuhnya yang setengah mabuk hampir ambruk.
"Nona, Anda tidak bisa minum. Mari saya antar pulang, tolong beritahu alamat anda sebelum mabuk—"
"TIDAK!" Teriak (Name) tiba-tiba. "Saya tidak memiliki tempat pulang." Setelahnya menangis, tersedu.
Adalah Nanami Kento yang payah dalam menghadapi perempuan, sungguh. Apakah ia harus membiarkan cinta pandangan pertamanya terisak seperti ini? Tidak. Maka ia bawa (First Name) (Name) kedalam bekapan hangat.
"Anda hebat Nona, sendirian menghadapi dunia yang kejam, Anda hebat.." Nanami berbisik. Pelan, namun turut meluluhkan hati si puan. Tangisnya buncah di pelukan.
"Hebat? Lihatlah, bahkan sekarang saya menangis dihadapan orang asing, Tuan."
"Saya tidak keberatan."
"Terimakasih, tak perlu khawatir. Setelah ini kita tak akan bertemu."
Telapak tangan Nanami masih setia mengelus lembut punggung (Name). Tubuh yang jauh lebih kecil darinya itu menanggung beban yang entah seberapa berat.
Bisa ia cium harum madu di helaian surainya, membuat candu. Jika menuruti egonya, sudah ditempelkan bibir dan hidungnya pada mahkota gadis itu.
"Nona," lembut panggilnya.
"Bagaimana jika kita jadikan malam ini bukan hanya pertemuan pertama dan terakhir?"
"Maksud Tuan?"
Nanami Kento meregangkan pelukan. Ditatapnya intens manik (e/c) yang berkilauan karna air mata itu. "Mari kita bertemu lagi, bukan sebagai orang asing." Ucapnya serius.
"Saya akan mencari Nona (Name). Dan setelah itu, apakah Anda ingin bersama saya? Saya akan berikan semua kebahagiaan yang Nona ingin. Saya janji, usai ini Nona hanya mengeluarkan tangis bahagia. Maka dari itu bersamalah dengan saya, Nanami Kento.
"Saya tau, adalah bodoh mengatakan hal ini pada wanita yang sedang mabuk. Tapi percalayah, esok lusa ketika Nona membuka mata dan tak sedikitpun ingat dengan saya, saya akan tetap menjadikan Anda milik saya. Jadi tunggulah sebentar, ya?"
Si pria menarik napas dalam, wajahnya maju hingga bertemu dengan bibir lembut si wanita. Mengecup tipis.
"En dag vil du gifte dig med mig?"
Fin.
990 words,
31 Desember 2021
•••
|| Reyi's note
Thankyou yang sudah membaca sampe sini! Luv u ol.
Aga kecepetan alurnya, maaf ya haha ngejar dl soalnya.
Ini hepi ending ya, kalian tau kan brarti jawaban Nanami di bab 5 apa?
Jadi ga gantung ya, dilarang nagih bonchap.
See ya in another book!♡
-salam hangat, Yaotome Ray
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top