01. Four Leave Clover




Sore itu gerimis. Aku masih ingat betul, bau khas hujan bercampur dengan wangi bunga gardenia di toko bunga. Ah, tak lupa dengan teh panas yang Bu Ira selalu buatkan.

Tetes air jatuh mengenai dinding kaca besar, membuat permukaannya sedikit berembun. Diluar ramai kendaraan berlalu lalang. Laju mobil mereka membuat air di kubangan membasahi trotoar. Satu-dua pejalan kaki memasang wajah tertekuk setelah mengetahui sepatu mereka basah kuyup karna ikut terkena air kotor.

Netraku meniti kata per kata pada buku di tangan kananku. Novel fiksi klasik yang menceritakan kisah romansa si karakter utama dengan pasangannya yang serasi dan saling mencintai satu sama lain. Pun dengan akhir bahagia.

Kata yang paling tabu di telingaku ketika seseorang menanyakan tentang status, "pasangan". Selalu saja, "Mbak sudah menikah?" Atau "Kapan kamu punya calon? Ingat (Name), umurmu sudah kepala dua". Persetan semuanya. Ketika teman-teman yang lain satu persatu mengirimkan undangan, aku masih sibuk mengurus toko bersama Bu Ira. Ketika jari satu persatu temanku sudah tertambat cincin pernikahan, aku masih menghabiskan waktu melajang dengan hobi-hobi yang ku gemari. Toh menikah bukanlah suatu ajang siapa duluan dia yang menang bukan?

Entah aku yang merasa masih belum siap, atau karna tak tertarik dengan satu pria manapun.

Menghela napas panjang, aku menutup novelku kasar. Pikiran tentang menikah selalu membuat moodku turun. Bu Ira yang tengah merangkai buket pesanan disampingku terkekeh pelan, "Cerita novelnya ndak bagus toh?"

"Bukan novelnya yang ngga bagus bu, tapi mood saya."

"Mesti mikirin soal nikah lagi?" Aku menanggapinya dengan senyum pahit. Bu Ira tau persis bagaimana pandangan orang orang terhadapku yang belum menjalin hubungan di umurku yang sudah duapuluh empat. Tapi beliau tidak pernah mempermasalahkannya seperti yang lain. "Kodrate cah wadon iku ngenteni, nek durung teko entenono", itu kalimat yang sering Bu Ira sampaikan.

Suara gemuruh bersautan, perlahan gerimis menjadi deras. Hawa dingin menusuk kulit membuatku merapatkan syal rajut yang ku kenakan. Semakin malam jalanan aspal makin ramai. Orang-orang yang tadinya berlari kecil menerjang gerimis sekarang memilih berteduh didepan kios-kios toko. Lebih baik daripada mengambil resiko pulang dengan keadaan demam.

Kuteguk perlahan teh panas sembari sesekali bersenandung mengikuti alunan musik yang disiarkan radio. Sebentar mengamati bunga tulip setengah mekar yang tertanam elok di sudut ruangan.

Denting lonceng menyita perhatianku—menandakan seorang pelanggan memasuki toko. Netraku menangkap siulet lelaki sekitar 180-190 cm? Intinya dia tinggi sekali dibandingkan aku yang hanya 165 cm. Jaket merah dengan bordir putih bertuliskan 'NEKOMA' yang dikenakannya basah sebagian. Pft, model rambut yang melawan hukum gravitasi itu sangat menarik perhatian.

"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?" Sapa ku ramah. Terlihat lelaki itu sedikit terperanjat, mungkin kaget karna aku tiba-tiba berdiri disampingnya. Jika dilihat dari dekat, bisa dibilang dia cukup tampan. Kulit gelap eksotis cocok dengan surai hitam legamnya. Dan bola mata hazel tajam yang entah mengapa mengingatkanku pada kucing hitam.

"Ah anu, maaf dek. Saya cuma mau neduh sekalian lihat-lihat"

Hening 3 detik, "Dek?"

Melihat mimik wajahku yang berubah kebingungan, pria kucing itu menjadi salah tingkah. Wajahnya terlihat memerah. "Kak! Maksud saya kakak!"

Sontak tawaku pecah, begitupun dengan Bu Ira, "Kamu orang pertama yang manggil saya dek di usia segini."

"M-maaf."

"Ngga masalah. Itu jaket sama bajumu basah, dilepas aja daripada nanti sakit. Saya ada baju cadangan bisa kamu pakai."

"Eh, ngga perlu kak. Saya disini cuma sebentar kok."

"Hujannya ga keliatan bakal reda sebentar lagi tuh?" Aku berjalan menuju loker pegawai, lalu kembali dengan membawa sebuah kaos putih milikku yang sengaja kutinggal di toko. "Ukurannya lumayan besar, jangan khawatir."

"Engga usah, takut merepotkan kakak..."

"Saya lebih gamau lihat orang tua kamu yang repot kalo nanti kamu sakit. Ini, ganti di ruang pegawai." Kaos putih itu kusodorkan, malu-malu pria didepanku menerimanya. "T-terimakasih."

Tidak berselang lama, ia kembali dengan kaosku yang sudah dipakainya. Nampak pas walau sedikit kekecilan. Masih saja dengan wajah memerah dan tangan yang canggung memegang tengkuk.

"Terimakasih, besok saya kembalikan kak...?"

"(Name). (First name) (Name)." Senyum kuukir sementara tanganku sibuk dengan rangkaian buket bunga pesanan untuk besok.

"Iya, Kak (Name)."

"Kamu?"

"Kuroo Tetsurou."

Aku mengangguk pelan, melanjutkan pekerjaanku membantu Bu Ira. Sementara Kuroo kulihat sedang berjalan-jalan mengelilingi toko. Menyusuri tiap sudut, memandangi satu persatu bunga yang disusun rapi memenuhi dinding. Langkahnya terhenti ketika netranya menangkap jejeran pot bunga Daisy yang bermekaran. Jarinya lembut menyentuh ujung dedaunan.

"Kamu suka?"

"Eh, kak (Name)?" Kuroo menoleh, mendapatiku yang lagi-lagi mendadak berdiri disampingnya.

"Kamu suka bunga daisy?"

"Saya ga tertarik sama bunga sih, yang ini sedernana, tapi cantik."

Kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyum ringan. "Bunga daisy merah punya makna cinta diam-diam, kecantikan, ketulusan dan kesederhanaan." Jelasku tiba-tiba.

"Eh?" Si pendengar tertegun. Manik hazel itu sekarang fokus kearahku.

"Sementara Daisy oranye bermakna kegembiraan, kehangatan dan semangat,"

"Bunga daisy sendiri bermakna kesucian, kesederhaan, kelembutan dan kemurnian." Sambungku kemudian.

Jeda sebentar sebelum telunjukku mengarah pada pot disamping bunga daisy. "Kamu pasti tau itu kan? Melati. Sama-sama simple tapi cantik. Walaupun begitu mereka punya makna yang indah. Kesucian, keanggunan namun sederhana, ketulusan, keindahan, dan kerendahan hati."

Kuroo terpaku ditempatnya. Menatapku seperti orang melamun. Kurasa aku tidak menjelaskan sesuatu yang rumit? Hanya filosofi bunga? Apakah sesulit itu dimengerti? Kulambaikan telapak tanganku didepan wajahnya, "Kuroo Tetsurou?".

"Hm? Eh, iya kak?"

"Maaf saya tiba-tiba nyeloteh tentang bunga, kamu keganggu kah?"

"Engga! Engga sama sekali. Malah kakak kelihatan keren." Senyumnya merekah,  manis. "Kakak sama kaya saya kalo udah bahas voli."

"Kamu main voli? Pantas saja,"

"Hm?"

"Pantas saja badanmu bagus."






"...ya?"

Eh? Kenapa ekspresinya begitu? Tiba-tiba saja Kuroo memalingkan wajah sembari menyilangkan tangan di depan dada. Ada yang salah dengan perkataanku barusan? Aku hanya berkata jujur, badannya memang bagus. Kaosku terlalu pas dibadannya, jadi lekuk tubuhnya terlihat jel—

Astaga.

"AH! Maksudnya bukan gitu, bukan! Saya ngga bermaksud mesum atau apa tapi—"

"Jadi daritadi kakak emang diem-diem ngeliatin badan saya ya..."

"ENGGAKKKK!"

Malam itu hujan belum berhenti. Hawa dingin terkalahkan oleh hangatnya percakapan kami. Tentang voli, bunga, dan sedikit candaan soal kaos tentu saja.

Di malam itu juga aku mengenal seorang Kuroo Tetsurou. Remaja SMA yang memegang posisi sebagai middle blocker sekaligus kapten tim voli Nekoma High, bernomor punggung 1. Menyukai grilled salted mackerel pike, dan chemistry.

Tepat ketika jarum jam menunjuk angka 7, sayangnya percakapan hangat itu harus berakhir. Hujan mereda dan Kuroo harus bergegas pulang. Lelaki itu akan beranjak pergi jika aku tidak menahan lengannya, "Tunggu sebentar, Kuroo"

Aku merogoh saku celana dan menemukan barang yang kucari, gantungan kunci semanggi berdaun empat. "Good luck buat turnamen musim dinginnya"

Kuroo tersenyum, "Terimakasih"

🥀

(n.) Semanggi berdaun empat (Four leave clover) menjadi lambang khas Irlandia yang disebut dengan shamrock dan dipercaya akan membawa keberuntungan serta kebahagiaan. Setiap helai daun dari Four Leaf Clover ini melambangkan Faith (Kepercayaan), Hope (Harapan), Love (cinta), dan Luck (keberuntungan).

Kamus Bahasa Jawa:
Mesti: pasti
Kodrate cah wadon iku ngenteni, nek durung teko entenono: kodratnya anak perempuan itu menunggu, kalau belum datang, tunggu aja.

To be continued,
1139 words.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top