👑 6/6 👑

Cinta karena terbiasa memang benar adanya. Sebagian orang mungkin pernah mengalami hal tersebut. Tak terkecuali Claude de Alger Obelia.

Sejak kecil, [Name] selalu berada di sampingnya. Menemaninya disaat ia sendirian, menghiburnya disaat sedih, serta melindunginya disaat orang lain mencoba untuk menyakitinya.

Lambat laun, aktivitas bersama tersebut menumbuhkan bibit-bibit cinta di hati pangeran tampan tersebut. Saat itu, Claude tidak mengerti apa itu cinta. Dia hanya ingin selalu bersama [Name] sejak saat itu. Melindunginya, menghiburnya ketika sedih, serta berada di sampingnya ke mana pun langkah kaki gadis itu membawa sang empu.

Seperti orang yang mulai jatuh cinta pada indahnya hari, pada sejuknya malam dan pada jingganya petang.

Claude pernah bermimpi memulai hari dengan kesejukan masa yang akan mereka hadapi, melalui riuhnya pepohonan menyambut harinya yang begitu padat.

Seperti para petualang cinta, Claude menginginkan [Name] dalam hari harinya. Berpetualang dimana mereka dapat menyatukan jari dalam genggaman lalu tersenyum dan tertawa dalam langkah yang akan mereka lalui bersama.

Claude tidak peduli pada kasta mereka yang berbeda. Pria itu bahkan rela jika harus membuang semua yang ia punya asalkan mereka bisa bersama.

Dari awal, Claude memang tidak menginginkan tahta. Dia hanya ingin hidup tenang bersama orang yang berharga baginya tanpa seorangpun mengusik ketenangan mereka.

Tapi bagaimana jika ada orang yang berniat untuk menghalangi keinginan sederhana itu?

Sang Kaisar misalnya.

Sejak [Name] menemui Kaisar, sikapnya perlahan tapi pasti mulai mengalami perubahan. Meski tidak begitu jelas, tapi Claude bisa menyadari ada yang tidak beres dengan wanita itu.

[Name] sering kali melamun dan seolah terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ditambah tatapan kosong yang tak jarang tertangkap oleh mata biru milik Claude semakin membuat sang pangeran cemas akan kondisi wanita yang dikasihinya tersebut.

Beberapa hari ini [Name] bahkan tidak terlihat batang hidungnya, dan hal itu tentu saja membuat Claude semakin khawatir. Maka dari itu ia memilih untuk mendatangi kamar [Name] untuk memastikan keadaan wanita itu.

Claude sudah siap dengan omelan yang akan ia terima dari [Name] karena wanita itu selalu melarangnya datang kesana.

Itu tidak pantas, katanya.

Tapi sekali lagi, Claude tidak peduli. Memastikan keadaan [Name] jauh lebih penting dibandingkan dengan pandangan orang lain terhadap apa yang ia lakukan.

'tok tok tok'

"[Name], ini aku."

Hening.

Tak ada jawaban.

'Apakah dia tidur?'

Saat Claude mencoba membuka pintu, ia baru menyadari bahwa pintu itu tidak terkunci.

Setelah merutuki kecerobohan [Name], pangeran tampan itu mulai melangkah memasuki kamar tersebut.

'deg'

Kaki sang pangeran seolah terpaku di lantai tempatnya berpijak. Jantungnya pun seolah berhenti berdetak. Manik biru permata yang indah itu membulat sempurna begitu mendapati pemandangan di depannya.

"[NAME]!" Claude segera berlari menghampiri [Name] yang tergeletak di atas lantai dengan darah keluar dari mulutnya.

Mendengar namanya disebut, dengan susah [Name] menoleh ke asal suara. "Y-yang mulia..."

"Kau kenapa?! Apa yang terjadi?!" tanya Claude panik. Rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dengan tangan yang gemetar, sang pangeran segera membawa [Name] ke pelukannya. Tidak peduli darah wanita itu menempel di pakaiannya yang mewah.

"S-suara .. di .. kepalaku .. tidak .. mau .. berhenti," ucap [Name] terbata. Napas gadis itu bahkan terdengar sangat berat ketika berbicara.

Suara? Suara apa?

"Bunuh dia ... Bunuh dia ... Bunuh dia ... Suara itu terus meyuruhku untuk membunuhmu- ..." [Name] terbatuk, membuat darah kembali keluar dari mulutnya. "A.. ku .. tidak.. bisa.. menghentikannya."

Meski bingung, Claude mulai memeriksa mana [Name] saat dirasa ada yang tidak beres. Dan Claude tidak bisa menahan rasa terkejutnya begitu mengetahui ada energi yang tercampur dengan mana wanita dalam dekapannya.

'Ini ... Sihir hitam?'

Bagaimana bisa?

Kenapa bisa ada sihir hitam di dalam tubuh [Name]?

"Aku akan mengobatimu."

Saat Claude bersiap merapalkan mantra, [Name] menggelengkan kepala.

"Tidak. Suara itu tidak akan hilang selama aku masih hidup, Yang Mulia."

"AKU TAU!" Claude berteriak frustasi. Tentu saja dia tau, sihir itu akan lepas jika orang yang terkena sihir tersebut melakukan apa yang diperintahkan. "Tapi kau bisa mati jika dibiarkan begitu saja."

[Name] tersenyum sedih melihat Claude yang seolah tidak berdaya. "Lebih baik aku mati daripada harus membunuhmu dengan tanganku sendiri."

Formalitas yang selalu [Name] terapkan di antara mereka seolah hilang entah kemana.

"Kalau kau mati, apa artinya hidupku di dunia ini?" ucap Claude lemah. Pria itu pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan. Meremang dalam kesepian sambil merutuki perihnya ditinggalkan seseorang yang ia sayangi.

Dulu Claude bisa menghadapi semua rasa sakit itu karena [Name] selalu ada di sampingnya. Wanita itu adalah sumber kekuatannya, jadi bagaimana mungkin ia bisa tetap hidup jika orang yang menjadi alasannya untuk bertahan justru tidak ada?

"Jangan menangis, Yang Mulia." Dengan lemah, [Name] berusaha menyeka airmata yang mengalir di pipi sang pangeran.

Claude bahkan tidak sadar kalau ia menangis. Pria itu terlalu takut memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Maaf." Tanpa bisa dicegah, airmata juga menetes dari kelopak mata wanita berhelai [hair color] tersebut. "Maaf karena aku tidak bisa menepati janji kita untuk terus bersama."

"Diam," ucap Claude dengan suaranya yang bergetar. "Aku mohon berhenti bicara."

Suara tarikan nafas terdengar jelas dari wanita dalam pelukan Claude. [Name] merasa nafasnya semakin terasa berat dan sulit dari waktu ke waktu.

Di balik pandangannya yang berkabut, [Name] tidak bisa berhenti menatap sang pangeran.

Dari awal, [Name] sudah menyadari bahwa ia dan Claude memang berbeda. Itulah mengapa [Name] seolah memasang tembok pembatas di antara mereka. Baginya, Claude adalah sosok yang sempurna. Tentu tidak bisa disandingkan dengan orang biasa seperti dirinya.

Mungkin ego [Name] yang tak bisa menepis bahwa ia memang mengagumi Claude sejak pria itu masih anak-anak. Sejauh mana [Name] mengenalnya, baik buruknya Claude, tetap ia mengaguminya.

"Aku mencintaimu, Claude." [Name] tersenyum lembut. Setidaknya, ia ingin bisa menyampaikan perasaan yang ia rasakan sebelum mereka berpisah.

Claude selalu menantikan saat [Name] bisa menyebutkan namanya. Tapi jika dalam situasi seperti ini, panggilan itu malah terdengar sangat menyedihkan untuk didengar.

"Aku juga."

[Name] bahagia mengetahui Claude memiliki perasaan yang sama dengannya. Meski harus mati sekarang, sepertinya [Name] tidak apa-apa.

Tapi bagaimana dengan Claude? Apakah dia juga akan baik-baik saja ke depannya?

"Jadilah Raja yang bijak suatu hari nanti, Yang Mulia. Dan temukan kebahagiaanmu sendiri."

Mustahil.

Claude ingin meneriakkan kata itu tepat di depan wajah [Name]. Bagaimana dia bisa bahagia jika sumber dari kebahagiaannya malah pergi meninggalkannya?

"Jaga dirimu, Claude."

Dalam sekali tarikan nafas, [Name] mengucapkan kalimat terakhirnya. Tangan wanita yang sedari tadi menyentuh wajah Claude kini jatuh terkulai di sisi tubuhnya yang dingin.

"[Name]?" Dengan perasaan takut, Claude menepuk pelan pipi [Name] untuk sekedar menyadarkan wanita itu. Tapi percuma, semuanya sudah selesai. Raga dalam pelukannya sudah tak bernyawa. Tubuh itu hanya cangkang kosong sekarang.

"[Name] bangun! Aku tidak menyuruhmu mati, sialan! Aku tidak mengijinkanmu untuk meninggalkanku! [Name]! Kumohon bangun. Jangan tinggalkan aku."

Claude tidak pernah menangis sebelumnya. Bahkan ketika ibunya meninggal, ia tidak menangis. Karena dari kecil ia sudah belajar untuk menahan kesedihannya.

Tapi saat wanita yang berstatus sebagai pelayannya pergi, pertahanan pria itu runtuh begitu saja.

Claude mencintai [Name] lebih dari yang wanita itu tau. Hatinya ibarat rumah yang sekali pun tidak ia biarkan orang lain untuk menjadi tuan atau penghuni di dalamnya, kecuali untuk wanita yang selalu menemaninya selama ini.

Tapi sekarang wanita yang menjadi tuan di rumahnya sudah pergi. Pergi ke tempat yang tidak bisa ia temui.

Apakah hidup Claude memang harus sebegitu tragisnya?

Bukankah semua orang berhak berbahagia dalam hidupnya?

Tapi kenapa tidak dengan Claude?

Kenapa keadaaan seolah membuat Claude tidak memiliki pilihan lain kecuali mengobati lukanya sendiri?

Jika Dewa itu ada, Claude berharap DIA mematikan hatinya agar tidak lagi merasakan sakit yang membuatnya berpikir bahwa mati jauh lebih baik.

.
.
.
.

END

Words : 1204
Senin, 6 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top