Bab 6
Raye pernah beberapa kali jatuh cinta pada lawan jenis, tetapi semuanya tak bertahan lama. Hanya perasaan semu yang mudah hilang. Tak ada yang bisa menyaingi rasa cintanya terhadap sang ayah. Kecuali Rolan, yang membuatnya menyadari jika kadar cintanya pada pria itu hampir mendekati cintanya terhadap ayahnya.
Tak pernah disangka sebelumnya jika Rolan telah berhasil membuat Raye jatuh cinta sedalam ini. Hubungannya dengan Rolan pun baik-baik saja sejauh ini. Hanya diisi oleh kesalahpahaman kecil yang mudah diatasi.
Karena hanya diliputi oleh kebahagiaan, Raye tak pernah menyiapkan hatinya jika suatu saat ada kejadian yang membuatnya harus berpisah dengan Rolan walaupun ia sangat amat tak mengharapkan hal itu. Namun, siapa yang tahu ke depannya hubungan mereka akan jadi seperti apa.
Berani jatuh cinta, berani sakit hati.
Seharusnya Raye juga menerapkan kalimat itu di dalam hidupnya. Bukan hanya memikirkan bahagianya saja.
Setelah melihat kedekatan Rolan dan Ilene, entah kenapa Raye langsung dilingkupi oleh perasaan melankolisnya. Terbakar api cemburu melihat keakraban mereka. Kalau saja wanita itu bukan Ilene, mungkin Raye tidak akan merasa segelisah ini.
Ketukan di pintu kamarnya mengalihkan perhatian Raye dari televisi yang sedang menayangkan drama Korea. Dan ini adalah pertama kalinya drama Korea terlihat tak menarik baginya sebab pikirannya tak bisa melupakan kejadian siang tadi. Masih terus terbayang-bayang dalam benaknya dengan spekulasi buruk yang menaungi isi kepalanya.
“Non Raye? Ada Mas Rolan dateng”
Raye baru keluar dari selimut, hendak membuka pintu, tetapi gerakannya terhenti seketika saat mendengar teriakan Bi Tiar. Terutama saat telinganya mendengar nama Rolan disebutkan.
Satu harian ini, Raye memang belum membalas pesan Rolan sama sekali. Panggilan pria itu pun sengaja diabaikan. Raye sedang ingin sendiri meskipun sangat ingin bertanya perihal Ilene pada Rolan.
“Suruh pulang aja, Bi. Bilang aja aku udah tidur.” Tanpa membuka pintu kamarnya, Raye membalas panggilan Bi Tiar sambil kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
“Kalau orang udah tidur, memangnya masih bisa ngomong?”
Raye langsung mendudukkan dirinya begitu mendengar ucapan tersebut. Tersentak kaget dengan kedua mata yang membulat sempurna.
Pertanyaan barusan bukan datang dari Bi Tiar, melainkan seorang pria yang suaranya sangat ia kenali. Siapa lagi memangnya kalau bukan Rolan.
“Jadi, aku nggak boleh masuk, nih?”
Raye meringis pelan. Merasa bodoh karena tak memeriksa keadaan di luar terlebih dahulu. Ia pun buru-buru beranjak dari ranjang, berjalan menuju pintu untuk menemui Rolan yang datang tiba-tiba.
“Ngapain ke sini?” Begitu pintu terbuka dan Raye langsung berhadapan dengan Rolan, pertanyaan itu langsung lolos begitu saja dari mulutnya. Bi Tiar juga sudah menghilang dari sini.
“Aku ada salah ya sama kamu?” Bukannya menjawab pertanyaan Raye, Rolan malah mengajukan pertanyaan lain. Ekspresinya dibuat memelas, mencari perhatian sang kekasih.
Raye mendorong pintu kamarnya agar terbuka lebih lebar, kemudian menyandarkan satu sisi bahunya pada bingkai pintu. “Enggak,” jawabnya pendek, tampak malas dengan bola mata yang diputar.
“Mau makan malam bareng?” Rolan tiba-tiba saja mengubah topik pembicaraannya.
“Enggak.”
“Mau nonton film bareng?”
“Enggak.”
“Mau bahas soal skripsi lagi?”
“Enggak.”
Tiga pertanyaan yang Rolan ajukan mendapat jawaban serupa. Jadi, ia sudah bisa menarik kesimpulan jika Raye memang sedang marah padanya.
“Okay, sekarang kasih tahu apa salahku?” pinta Rolan, bersedekap dada dengan sebelah alis yang dinaikkan, menunggu-nunggu jawaban Raye.
Raye berdecak, merasa terperangkap dengan pertanyaan-pertanyaan Rolan sebelumnya. Tetapi ia tetap memilih untuk mengelak. “Nggak ada salah apa-apa. Aku cuma lagi banyak tugas aja. Pengen sendiri dulu.”
“Ngerjain tugas sambil nonton drama Korea?” Sekilas, Rolan melirik ke dalam kamar Raye, tepatnya ke arah televisi yang bisa terlihat olehnya dari sini.
Sekali lagi Raye merasa terpojok, makin kesal dengan Rolan. Apalagi bayang-bayang kejadian siang tadi masih terus menghuni kepalanya.
“Kamu bisa pulang aja nggak, sih?!”
Akhirnya Raye tak bisa lagi menahan emosinya, teriakannya lolos tanpa dapat dicegah.
Awalnya Rolan hanya mengerutkan dahinya, terlihat heran dengan Raye yang tiba-tiba meledakkan amarahnya. Namun, ia berusaha untuk bersabar dan mencari tahu kesalahan yang mungkin saja telah dibuatnya tanpa sadar.
Perlahan-lahan Rolan maju selangkah, menipiskan jarak di antara mereka. Lantas, tangannya terulur ke depan untuk membawa kedua tangan Raye ke dalam genggamannya.
Percobaan pertama tentu saja langsung mendapat penolakan dari Raye. Ditepis begitu saja.
Percobaan kedua pun masih sama.
Dan yang ketiga kalinya, akhirnya Rolan bisa menggenggam tangan Raye meski harus memberi sedikit paksaan. Lalu, tanpa aba-aba ia langsung menarik lembut gadis itu hingga masuk ke dalam pelukannya.
Satu detik.
Dua detik.
Hingga detik ketiga tak ada penolakan lainnya dari Raye. Tampak pasrah berada dalam dekapan Rolan.
“Maaf,” ucap Rolan, menugaskan tangannya untuk memberi usapan pada punggung Raye. “Apa pun kesalahanku, aku minta maaf.”
Terdengar helaan napas panjang dari mulut Raye bersamaan dengan kedua tangannya yang akhirnya melingkari pinggang Rolan, membalas pelukan pria itu.
Apa yang Raye lakukan pun mengundang senyum Rolan, menyadari jika kekasihnya ini sudah mulai melunakkan hatinya.
“Jangan ada perempuan lain,” kata Raye, bernada rendah dan halus.
Rolan refleks mengurai sejenak pelukan mereka, memegang kedua pundak gadis itu dengan netra yang memandang heran. Suara Raye terdengar sangat pelan di telinganya. Jadi, ada kemungkinan jika ia memang salah dengar.
“Perempuan lain? Maksudnya aku selingkuh gitu?” tanya Rolan, memastikan jika apa yang ia dengar dan pikirkan memang benar.
Dengan bibir yang melengkung ke bawah, Raye mengangguk sebanyak dua kali, membenarkan pertanyaan Rolan.
Kemudian terdengar tawa kecil dari Rolan seiring dengan cubitan singkatnya yang mendarat di hidung Raye. “Kenapa bisa mikir gitu, hm? Memangnya aku kelihatan seperti tukang selingkuh?”
Raye langsung menggelengkan kepalanya. Satu tahun menjadi kekasih Rolan, ia tahu betul jika pria itu bukan termasuk tipe pria yang matanya suka jelalatan ke sana kemari. Lalu, Raye pun tersadar jika tak sepatutnya ia berpikiran buruk tentang Rolan hanya karena rasa bencinya pada Ilene.
Pada dasarnya, semua pikiran negatif itu hadir karena Ilene. Wanita itu berhasil mengacaukan isi kepalanya. Tanpa sadar, Raye terprovokasi hanya karena bertemu kembali dengannya. Dan itu sugguh menyebalkan.
“Kenapa bisa mikir gitu?” Rolan memindahkan satu tangannya untuk merangkul pinggang Raye. Sedangkan yang satuya lagi diangkat menuju kepala Raye, membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan.
Raye menunduk, menatap jemarinya yang memainkan kancing kemeja Rolan. “Nggak tahu. Tiba-tiba ngerasa takut kalo kamu tertarik sama perempuan lain.”
“Tumben. Biasanya kamu nggak kayak gini.”
Menurut Rolan, Raye bukan tipe kekasih yang cemburuan. Jadi, agak mengherankan baginya mengenai sikap Raye yang satu ini.
“Itu, Mas,” Raye menjeda sejenak, mencoba merangkai kalimat yang tepat dan mudah untuk dipahami. “di prodi, kan, ada dosen baru. Cowok-cowok di kelas aku pada heboh karena dosennya cantik banget.” Ia sedang memancing Rolan untuk mengangkat pembicaraan tentang Ilene tanpa menyebutkan namanya langsung.
Kedua alis Rolan menukik hampir bersentuhan. “Maksud kamu Ilene?”
Raye melirik Rolan sekilas lewat sela-sela bulu matanya sebelum membuat gerakan mengangguk secara perlahan.
“Astaga! Kamu pikir aku bakal tertarik sama dia?” Ada nada jenaka dalam pertanyaan Rolan, seolah-olah apa yang terlontar dari mulutnya memang tak mungkin terjadi.
Sekali lagi Raye mengangguk, tampak lesu. Serupa dengan wajahnya yang ditekuk tak bersemangat.
Akhirnya tawa Rolan pun meledak. Tangannya bergerak mengacak-acak rambut Raye dengan gemas. “Jangan mikir yang macem-macem, Ray. Aku nggak mungkin bisa tertarik sama Ilene.”
Raye menghentikan jemarinya yang sedari tadi asyik memutar-mutar kancing kemeja Rolan lantas menaikkan tatapannya, memusatkan seluruh perhatiannya pada Rolan.
“Kenapa nggak mungkin?” tanya Raye, masih belum puas dengan ucapan Rolan mengenai Ilene.
“Karena aku udah punya kamu.” Rolan mengukir senyum simpul dalam ekspresinya. “Lagian, kalau saat ini aku belum ketemu kamu, aku juga nggak akan mungkin tertarik sama dia. Jadi, jangan mikir yang enggak-enggak, ya?”
Raye tidak menanggapi kalimat Rolan. Ia malah langsung masuk ke dalam pelukan sang kekasih, menyerukkan kepalanya di dada bidang Rolan sambil merutuki sikap kekanakannya barusan.
Namun, segala ucapan Rolan mengenai Ilene berhasil membuang kegelisahannya. Dan semoga saja Rolan benar-benar menepati omongannya.
•••
Guys, tanpa kalian komen "next, lanjut" atau apa pun itu, aku bakal tetep usahain update setiap hari, kok. Jadi, komentari isi ceritanya aja ya kalo bisa. Ya yang penting jangan naxt next naxt next mulu dah😭✌
Love you, guys! Semoga besok ketemu lagi😘
2 Februari, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top