Bab 5

DOUBLE UPDATE LAGI!

Ramein terus yaaa pokoknya😘😘

•••

Kelas baru terisi oleh beberapa orang saja. Masih ada waktu setengah jam sebelum dosen masuk. Raye dan kedua sahabatnya baru kembali dari kantin. Menikmati makan siang sambil bergosip.

“Rajin banget sih, Win, di depan laptop mulu,” celetuk Raye begitu mengambil duduk di pojok kelas. Kalimatnya barusan ditujukan untuk salah satu teman sekelasnya—Windi. Temannya yang paling ambis di kelas.

“Skripsian, Ray. Target gue tahun ini udah lulus,” balas Windi, tanpa menoleh ke arah Raye sedikit pun.

Raye hanya geleng-geleng kepala. Terkadang merasa kagum dengan Windi, tetapi juga jadi insecure karena progresnya yang masih gini-gini saja. Maju enggak, mundur iya.

Entah kenapa Raye terlahir sebagai orang yang malas. Ia memang suka belajar tentang banyak hal, tetapi paling malas kalau diberi tugas yang begitu banyak dan susah. Makanya Raye suka heran dengan Windi yang bisa sesantai itu menggarap skripsi di antara tugas-tugas yang menggunung.

“Kalian belum pada ngambil mata kuliah skripsi, kan, semester ini?” tanya Raye, yang duduk di hadapan Anggita dan Niana. Maniknya tampak waswas ketika menanti jawaban dari kedua temannya.

“Belomlah.”

“Gue juga belom. Kan udah janjian ngambil skripsi di semester depan aja.”

Raye mengembuskan napas lega. Walaupun tidak bisa seambis Windi, setidaknya ia masih punya teman yang sama santainya dengannya. Jadi, Raye tak merasa tertinggal jauh. Yang penting ia bisa lulus dalam waktu empat tahun.

“Eh, tadi gue sempet papasan sama dosen baru di prodi kita. Cakep banget gila. Gue langsung insecure ngelihat muka glowing-nya,” ujar Niana, mengubah topik obrolan mereka.

“Emang secakep itu?” tanya Anggita, dibuat penasaran oleh ucapan Niana. Sama halnya dengan Raye yang tampak serius mendengarkan omongan Niana.

“Cakep banget, deh, asli.”

“Namanya siapa, sih?” Gantian Raye yang bertanya.

“Mana gue tahu,” jawab Niana sambil mengedikkan kedua bahunya.

Tadi malam, grup kelas dihebohkan dengan berita mengenai dosen baru. Desas-desusnya, sih, dosen tersebut masih muda. Perempuan. Menyerupai model dengan wajah yang nyaris sempurna.

Satu angkatan dibuat penasaran, tetapi sampai siang ini, belum ada satu pun yang membagikan foto dosen yang disebut-sebut itu. Barangkali yang baru bertemu dengannya hanya Niana.

Seharusnya tadi Raye meminta Niana untuk memfoto dosen tersebut. Ia sungguh dibuat penasaran secantik apa rupa dosen baru itu. Sekaligus waswas bila berita tersebut memang benar. Tiba-tiba merasa takut jika nantinya Rolan kemungkinan akan tertarik dengan dosen tersebut.

Raye menggeleng-gelengkan kepalanya, menepis dugaan buruk dalam pikirannya.

Tidak.

Rolan bukan tipe pria yang seperti itu. Lagipula Raye juga merasa jika dirinya lumayan cantik.

Namun, hingga setengah jam kemudian, Raye malah tetap memikirkan kemungkinan terburuk itu meski sudah berulang kali mencoba untuk berpikir positif. Ditambah lagi Rolan belum membalas pesannya sejak pagi tadi. Semakin besarlah pikiran negatifnya.

“Selamat siang, semuanya!”

Sapaan itu menyadarkan Raye dari lamunannya, mengalihkan perhatiannya dari ponselnya yang belum memunculkan notifikasi dari Rolan. Saking lamanya bergelut dengan pikiran negatifnya, Raye tak menyadari jika dosennya sudah memasuki kelas. Pantas saja kelas berubah hening dalam sekejap.

“Hari ini Bu Lita nggak bisa masuk. Jadi saya disuruh menggantikan beliau.”

Dosen tersebut masih berbicara panjang lebar di dalam kelas, tetapi Raye sudah tak lagi mendengar apa pun. Seketika dunianya terasa runtuh saat maniknya menemukan sesosok perempuan yang kini tengah berdiri di depan kelasnya sebagai dosennya. Sesosok perempuan yang tak lain adalah Ilene.

Jadi, dosen baru yang sejak kemarin ramai dibicarakan oleh angkatannya adalah Ilene, kakak tirinya yang sangat amat Raye hindari. Tampaknya takdir begitu jahat kepada Raye karena mempertemukan mereka di sini.

Tanpa mendengarkan apa yang dibicarakan Ilene di sana, Raye mencoba menarik napas dalam-dalam. Kedua matanya dipejamkan sejenak untuk mengesampingkan emosi yang mulai menguasai dirinya. Beruntung hatinya mudah dikontrol hingga ia tetap bisa bersikap tenang sampai kelas selesai.

•••

Kehidupan pribadi Tanubrata sangat jauh dari sorotan publik. Orang-orang paling hanya mengenal Andita sebagai istrinya. Lalu, Raye dan Ardan yang merupakan anaknya baru terekspos tahun lalu karena kasus pelecehan seksual yang Ardan lakukan.

Tidak ada nama Ilene di dalamnya. Wanita itu tak pernah disebut-sebut sebagai bagian dari keluarga mereka karena memang tidak ada yang tahu. Dan Raye sangat bersyukur akan hal itu. Teman-temannya jadi tidak heboh melibatkan dirinya dengan Ilene. Karena ia sangat tak suka dihubung-hubungkan dengan wanita itu.

“Raye, kan? Bisa bicara sebentar?”

Satu sentuhan di lengannya membuat langkah Raye otomatis terhenti. Yang menahannya adalah Ilene, berbicara seakan-akan mereka tak saling mengenal. Tetapi tetap saja aksinya barusan mengundang tanda tanya di kepala teman-temannya yang hendak keluar kelas.

“Maaf, Bu. Saya lagi buru-buru,” balas Raye, menerbitkan senyum yang dibuat-buat dan segera menarik lengannya dari pegangan Ilene. Tanpa basa-basi, ia segera pergi dari sana. Teman-temannya bahkan kelihatan kaget dengan keberaniannya.

Raye kabur begitu saja. Berlari menghindari Anggita dan Niana yang menyusulnya. Yang menjadi tujuannya adalah toilet, bersembunyi sebentar di sana sembari mengabari kedua temannya untuk tidak menunggunya.

Mengambil duduk di atas kloset yang masih tertutup, Raye pun mengusap wajahnya sedikit kasar. Bersamaan dengan itu pula napasnya berulang kali dikeluarkan dengan kasar.

Saat ini, ada banyak pertanyaan yang hinggap dalam kepalanya, yang tentu saja berkaitan dengan Ilene.

Kenapa wanita itu kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun tidak pulang?

Dan bagaimana bisa Ilene menjadi dosennya saat ini?

Takdir benar-benar lucu. Baru saja Raye hendak merayakan hidupnya yang terasa sempurna selama satu tahun ini, tetapi Ilene malah datang dan merusak segalanya.

Sekali lagi desahan panjang lolos dari mulutnya. Disusul oleh pemberitahuan pesan yang masuk ke dalam ponselnya, dari Rolan.

Pak Rolan:
Sudah pulang?

Raye hanya membaca pesan tersebut dari notifikasi bar. Tak juga membalasnya. Dibiarkan begitu saja dan langsung mengunci ponselnya kembali.

Suasana hatinya sedang buruk saat ini. Yang ingin Raye lakukan hanyalah pulang dan tidur untuk melupakan kejadian hari ini. Kehadiran Ilene cukup mengganggu pikirannya. Mendadak merasa khawatir jika kedatangan wanita itu membawa dampak yang buruk dalam hidupnya.

Raye sempat membasuh wajahnya dengan air sebelum keluar dari kamar mandi. Mencoba mengukir senyum untuk membuang perasaan buruk yang menghuni hatinya. Lantas, berjalan menuju gerbang depan fakultasnya untuk menunggu ojek online yang baru saja dipesan. Dan Raye berharap jika ia tidak berpapasan dengan Rolan.

Namun, baru saja harapan tersebut dibuat, Raye malah langsung dipertemukan dengan Rolan di koridor jurusan. Tetapi pria itu tak sendirian. Rolan berdiri saling berhadapan dengan seorang perempuan, yang tak lain adalah Ilene.

Dalam pandangan Raye, keduanya tampak akrab. Sepertinya sedang membicarakan hal yang seru sampai membuat mereka tertawa cukup keras. Ditambah pula dengan Ilene yang memukul pelan lengan Rolan dan bersikap santai, selayaknya teman dekat.

Bukannya menginterupsi keduanya, Raye malah berbalik dan memilih untuk melewati koridor lainnya sebelum Rolan menyadari keberadaannya.

Sepanjang jalan, Raye terus-terusan memaksa agar senyum hadir dalam wajahnya walaupun hatinya terasa tak tenang di dalam sana. Bukan untuk mencoba terlihat baik-baik saja, tetapi Raye selalu menggunakan senyumnya agar perasaan tidak enaknya enyah dari dirinya meski hanya sekajap. Dan itu cukup membantu.

•••

1 Februari, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top