Bab 27
Cerita Yes, Sir! bakal terbit sebentar lagi, guys. Tinggal menunggu hari🥳
Gimana? Udah pada siap meluk Rolan-Raye dalam versi cetak belum?
Pokoknya kudu banget entar bawa mereka ke rumah kalian okeee😘😘
Btw, cerita ini tinggal nyisa satu bab lagi, ya. Ramekan kolom komentarnya supaya aku bisa update secepat mungkin💃
Selamat membaca❤
•••
“Papa sekarang bahagia, nggak?”
Sore ini, Raye tengah duduk berdampingan bersama sang ayah di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Tubuhnya menempel erat dengan Tanubrata, memeluk dan menyandarkan kepalanya pada dada ayahnya.
Tanubrata memberi satu kecupan di kepala Raye. Melanjutkan kembali usapannya di rambut sang putri yang dibiarkan terurai. “Papa bahagia, Sayang.”
Raye mendesah panjang, membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Bersamaan dengan itu pula dekapannya di tubuh sang ayah terlepas. Dipindahkannya pandangannya pada Tanubrata, menyorot ayahnya lekat-lekat.
“Tapi kita cuma berdua sekarang. Apa Papa bener-bener bahagia?” Sekali lagi Raye bertanya, hanya untuk memastikan jika sang ayah tidak sedang berbohong hanya untuk menjaga perasaannya.
Satu tangan Tanubrata terulur ke depan, hinggap di satu sisi wajah Raye dengan senyum tipis yang perlahan hadir dalam wajahnya. “Asalkan ada kamu di sini, itu cukup untuk Papa. Dan Papa bahagia walaupun cuma berdua sama kamu.”
Helaan napas kembali terlontar dari mulut Raye, tetapi bibirnya ikut menerbitkan senyum seperti milik ayahnya. Tangannya juga sudah bergerak menggenggam tangan Tanubrata yang semula bertengger di wajahnya.
Kendati jawaban yang ayahnya berikan tak berhasil membuatnya merasa puas, Raye tetap menerimanya. Menghentikan obrolan seputar hal itu dan hanya manggut-manggut saja sebagai tanggapan. Lantas, Raye kembali beringsut mendekati sang ayah, masuk ke dalam pelukannya lagi.
Sejak menerima rentetan kabar soal Ilene dan Andita beberapa waktu yang lalu, Tanubrata memang tampak lebih murung dari biasanya. Pria itu bahkan mengambil istirahat sejenak dari pekerjaannya untuk menenangkan diri.
Raye tahu tak mudah bagi ayahnya untuk menerima semuanya, tetapi tak ada pilihan yang bisa diambilnya. Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali. Lebih baik menjadikan semuanya sebagai pelajaran.
Untungnya Tanubrata sudah mulai pulih sedikit demi sedikit saat ini. Mulai kembali mengurusi perusahaan meski hanya dari rumah saja. Raye juga tidak pernah absen menemani ayahnya, selalu menghibur Tanubrata agar bangkit dari keterpurukan dan kembali memetik bahagia bersamanya.
“Pacar kamu udah dateng, tuh,” celetuk Tanubrata dengan nada menggoda.
Buru-buru Raye mengangkat kepalanya, memandang ke depan dan lambat laun senyumnya mulai hadir ketika menemukan sosok Rolan yang baru keluar dari mobilnya.
Yang dilakukan Raye sore ini memang bukan hanya menemani ayahnya bersantai, tetapi juga menunggu Rolan yang akan mengajaknya pergi. Tentu saja untuk berkencan.
Rolan berjalan menghampiri Raye dan Tanubrata dengan langkah lebar. Tak lupa melempar senyum manis yang selalu membuat Raye bersyukur di dalam hati karena diberi seorang kekasih setampan pria itu.
Begitu tiba di hadapan mereka, hal pertama yang Rolan lakukan adalah menarik tangan Tanubrata dan menyalaminya. Kemudian lanjut berbasa-basi sejenak seiring dengan bokongnya yang mendarat di salah satu kursi kosong.
Mereka masih sempat mengobrol sejenak sebelum akhirnya pamit undur diri pada Tanubrata.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Raye begitu Rolan mengeluarkan mobilnya dari pekarangan rumahnya.
“Makan?”
Raye memalingkan tatapannya pada Rolan. Sebelah alisnya naik saat jawaban yang pria itu berikan malah lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan.
“Makan jam segini? Aku belum laper, Mas.”
“Paling ngemil doang.”
“Oh, okay,” sahut Raye, menganggukan kepalanya sebelum melempar pandangannya ke luar jendela, mengamati jalanan yang cukup padat karena mungkin saat ini bertepatan dengan jam pulang kantor.
Ada jeda yang cukup panjang setelah keduanya memutus obrolan. Raye sibuk menikmati keramaian di luar sana, sedangkan Rolan fokus menyetir.
Tatkala lampu lalu lintas berubah merah dan mobil seketika berhenti, Raye serta-merta merasakan genggaman di satu tangannya. Segera ditolehkan kepalanya ke sisi kanan, menemukan Rolan yang rupanya sengaja menggenggam tangannya selagi mobil berhenti.
Bukan hanya itu saja, setelah netra mereka sempat bersitatap sejenak, Rolan kemudian menarik lembut tangan Raye untuk dibawa ke depan bibirnya. Sedetik kemudian, hadirlah beberapa kali kecupan singkat yang pria itu berikan di punggung tangannya.
Raye tidak mengelak. Tidak juga bersuara. Ia hanya memerhatikan Rolan sambil mengulum bibirnya yang menampilkan senyum malu-malu. Hatinya pun ikut meletup-letup di dalam sana.
Sederhana memang, tetapi Raye sangat amat menyukainya. Tindakan-tindakan kecil seperti inilah yang terkadang membuat Raye merasa begitu dicintai.
•••
Mereka tiba di sebuah kafe yang menjadi langganan tiap kali ingin sekadar nongkrong. Kafe yang juga masih milik kerabat dekat Rolan.
Begitu keluar dari mobil, keduanya sama-sama berjalan ke dalam. Bergandengan tangan, menaiki tangga untuk mencapai lantai dua yang merupakan rooftop di kafe ini.
“Kok tumben sepi banget,” cetus Raye ketika mereka menginjakkan kaki di lantai dua.
Raye sudah sering sekali datang ke sini, baik bersama Rolan maupun teman-temannya. Dalam keadaan sepi sekalipun, rooftop di kafe ini tidak pernah kosong. Setidaknya ada dua sampai tiga meja yang tetap terisi. Berbeda halnya dengan sekarang. Benar-bebar tak ada orang sama sekali selain mereka berdua.
Rolan hanya mengedikkan kedua bahunya sebagai respons atas kalimat Raye barusan. Kemudian mengajak gadis itu untuk mengambil duduk di tengah-tengah ruangan.
Raye menuruti Rolan dan segera duduk di hadapan pria itu. Kebingungannya sebelumnya pun sudah diabaikan, merasa tidak terlalu penting memikirkan hal itu.
“Judul skripsi kamu belum di-ACC juga sampe sekarang?” Rolan memulai obrolan sembari melihat-lihat buku menu.
Raye pun sama. Maniknya kini terpaku pada menu-menu yang tertulis, memikirkan hendak memesan apa. “Belum, Mas,” jawabnya kemudian. Masih dengan mata yang belum lepas dari buku menu. “Biasanya berapa lama sih, Mas? Udah seminggu belom di-ACC juga.”
“Tergantung ketua prodi. Biasanya kalo lagi banyak urusan, sih, emang bakal lama. Tapi nggak akan sampe dua minggu. Senin nanti kamu cek lagi aja.”
Raye manggut-manggut. Senin nanti ia memang akan datang ke kampus untuk memeriksa form pengajuan judulnya.
“Kamu pesen duluan aja, ya? Aku mau ke toilet bentar.”
Permintaan izin dari Rolan langsung menarik perhatian Raye. Bola matanya sudah berpaling dari buku menu, berlabuh pada Rolan yang sudah dalam posisi berdiri.
“Okay,” jawab Raye kemudian.
Rolan lantas melangkah meninggalkan Raye setelah sempat memberi ciuman singkat di puncak kepalanya.
Menit demi menit berlalu. Raye masih sendirian. Belum ada tanda-tanda Rolan akan kembali. Ia juga sudah memesan dan kini tengah sibuk dengan ponselnya, membunuh waktu selagi menunggu sampai Rolan kembali.
“Raye Adrinala!”
Sedang asyik-asyiknya memainkan game di ponselnya, Raye dikejutkan dengan suara seseorang yang berteriak memanggil namanya. Ia tersentak sebelum membalik badannya.
Lagi-lagi Raye dibuat terkejut saat mendapati apa yang kini tampak dalam penglihatannya. Kedua matanya sampai melotot lebar hanya untuk memastikan jika matanya memang tak salah lihat.
Di depan sana, Raye melihat kerumunan orang yang jumlahya kurang lebih lima belas orang yang tak lain adalah teman-teman dekatnya seperti Anggita, Niana, Andika, Randi, dan yang lainnya. Mereka mengisi bagian kanan dan kiri, sementara Rolan berada di tengah-tengah sambil memegang sebuket bunga.
Namun, yang lebih membuat Raye shock adalah banner di belakang Rolan yang bertuliskan: will you marry me?
Raye sedang dilamar, bukan?
Otaknya mendadak berhenti bekerja. Ia hanya bisa mematung sembari menutupi mulutnya yang menganga lebar dengan kedua telapak tangannya.
Sejak kapan Rolan dan teman-temannya memenuhi rooftop? Dan bagaimana pula banner itu bisa berada di sana? Raye sungguh tak menyadarinya sama sekali.
Saat Raye tengah mencoba mengembalikan fungsi otaknya, tiba-tiba saja musik bernada lembut mengalun di sekitarnya. Bersamaan dengan itu pula Rolan berjalan ke arahnya dengan senyum yang begitu lebar.
Begitu tiba di hadapannya, yang Rolan lakukan adalah menyerahkan sebuket bunga yang dibawanya kepada Raye. Sementara Raye yang masih dibanjiri kegamangan menerimanya begitu saja.
Perlahan Rolan membungkukkan tubuhnya hingga berakhir berlutut di hadapan Raye. Dalam genggamannya kini sudah ada sebuah cincin, yang disodorkannya pada Raye.
“Raye Adrinala, mungkin lamaran yang seperti ini kelihatannya klise dan norak, tapi semoga aja kamu nggak masalah, ya.” Rolan terkekeh di akhir kalimat. “Jadi, will you marry me?”
Raye seperti kehilangan suaranya. Lidahnya mendadak kelu. Dalam sekian detik, ia masih belum bisa buka suara.
“Terima, Ray!”
“Terima dong, Ray. Lama banget.”
“Jangan sok-sokan mikir, deh.”
Kalimat-kalimat bernada godaan itu mampir di telinga Raye, tentu saja dari teman-temannya yang menjadi penonton. Kalau saja keadaan Raye tidak seperti ini, mungkin ia sudah memukuli kepala temannya satu per satu.
Raye mencoba menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya secara perlahan. Lambat laun perasaannya mulai bisa lebih tenang.
Ditatapnya wajah Rolan lamat-lamat, wajah yang dipenuhi kebahagiaan dan harapan, yang sejak tadi selalu menampilan senyum menawan. Karena tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Raye akhirnya mengangguk seraya berucap, “Aku mau, Mas.”
Sorakan seketika terdengar heboh usai Raye memberi jawaban. Rolan pun juga ikut bersorak girang sebelum bangkit berdiri dan langsung memeluk Raye.
“Terima kasih banyak, Sayang,” lirih Rolan dengan perasaan yang penuh suka cita.
•••
Bakal update bab akhir secepat mungkin kalo udah rame yaa😙
9 Juni, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top