Bab 23
Hai! Aku update lagi hari ini walaupun di bab kemaren sepi banget komentarnya kayak hidupku ini😭😭
Tapi yauda gapapa, karena emang lagi mood juga dan kemungkinan cerita ini bakal segera tamat, jadi aku update lagi hari ini🥳
Selamat membaca teman-teman! Ramekan kolom komentarnya supaya mood menulisku bagus terus. Lop you😘😍
•••
“Ka-kamu ... kenapa bisa di sini?” Itu menjadi kalimat pertama Ilene ketika Raye bersitatap dengannya.
Untuk pertama kalinya selama Raye mengenal Ilene, baru kali ini wanita itu terlihat gugup ketika berhadapan dengannya. Sangat jauh berbeda dengan Ilene yang ia kenal selama ini.
Perangainya sebagai sosok yang angkuh dan cenderung santai hancur seketika. Ilene malah kelihatan panik saat ini, tampak dari matanya yang bergetar dan buru-buru menarik gadis kecil bernama Bulan tersebut untuk disembunyikan di belakang tubuhnya.
Belum ada jawaban yang sempat Raye lontarkan atas pertangaan Ilene sebelumnya, wanita itu malah berniat untuk menutup pintu apartemennya dengan gerakan tergesa-gesa. Beruntung Raye menyadari gerak-geriknya dan langsung maju selangkah untuk menahan Ilene.
“Apa Papa tahu?” Dengan sebelah tangan yang masih bertengger di daun pintu dan memaksa Ilene untuk tetap membukanya, Raye langsung mencetuskan pertanyaannya tanpa peduli jika Ilene mungkin menunggu jawabannya.
Respons Ilene yang pertama hanyalah membelalakkan kedua matanya, memberi peringatan pada Raye meski hanya lewat bahasa tubuhnya saja.
“Dia siapa, Mom?”
Saat Ilene hendak bersuara, tiba-tiba Bulan menyela, menanyakan Raye dengan raut yang dipenuhi kebingungan.
Fokus Raye pun teralihkan. Pandangannya kini sudah berlabuh pada Bulan. Pelan-pelan tangannya dilepas dari daun pintu seiring dengan tubuhnya yang dibuat berlutut di hadapan Bulan. Senyum manis ia berikan pada gadis kecil tersebut.
“Hai, Cantik! Aku adiknya Mama kamu,” ucap Raye, penuh kelembutan, sangat berbeda kala ia berbicara dengan Ilene.
Namun, sebelum Bulan sempat menanggapi Raye, Ilene sudah lebih dulu mendorong Bulan untuk masuk ke dalam dan entah berbisik apa pada gadis kecil itu. Sementara Raye hanya mendecih dan kembali berdiri.
Ketika Ilene selesai dengan Bulan, wanita itu langsung mendorong kedua bahu Raye dengan kasar hingga Raye terpaksa mundur beberapa langkah. Syukurlah Raye masih bisa menjaga keseimbangannya hingga bokongnya tak harus menyentuh lantai yang dingin.
Setelahnya, Ilene pun menutup pintu apartemennya, memilih untuk berbicara berdua dengan Raye di depan apartemennya.
“Jangan berani-beraninya kamu ngasih tahu ke Papa tentang hal ini,” ancam Ilene, melotot tajam kepada Raye dengan jari telunjuk yang diarahkan tepat di depan wajah Raye.
Untuk pertama kalinya pula dalam hidup Raye, ia akhirnya bisa merasa setenang ini saat sedang berhadapan dengan Ilene, seolah tak mencemaskan hal apa pun. Kartu AS wanita itu ada padanya, dan itu sangat menguntungkan Raye untuk bisa menang dari Ilene.
Dengan santai Raye melipat kedua tangannya di depan dada. Senyum setengah juga muncul dalam wajahnya. Seketika ia berubah menjadi sosok yang pemberani di hadapan Ilene, bukan lagi seorang bocah yang kerap dibodoh-bodohi oleh kakak tirinya ini.
“Bulan udah sebesar itu, mau sampai kapan lo nyembunyiin dia terus?”
Ilene benar-benar tampak berbeda dari biasanya. Wajahnya pias, menegang dengan napas yang memburu.
“Bukan urusan lo!”
Raye menghela napas panjang dan tetap mempertahankan senyum setengahnya. “Gue akan tetap tutup mulut, tapi lo jangan pernah muncul lagi di kehidupan keluarga gue. Minta Papa untuk cabut hak adopsi lo.”
Satu ancaman dari Raye semakin menambah murka Ilene. Giginya bergemeletuk tajam dengan wajah yang berubah merah padam. Begitu pula dengan kedua tangannya yang sudah mengepal kuat di sisi tubuhnya. Ilene siap meledak.
“Lo...” Sekali lagi Ilene menunjuk Raye dengan tegas, tetapi tak ada lagi kalimat selanjutnya yang bisa wanita itu ucapkan. Mendadak kelu.
Di detik ini, Raye mulai menghilangkan senyum dalam wajahnya. Rautnya berubah datar. Ia lantas memegang tangan Ilene yang masih digunakan untuk menunjuknya, dengan keras menurunkan tangan wanita itu bersamaan dengan tubuhnya yang maju selangkah hingga kini jaraknya dengan Ilene begitu dekat.
Raye kemudian menggeser posisinya sedikit ke samping sambil tetap mencengkeram satu lengan Ilene. Bibirnya kini sudah begitu dekat dengan telinga Ilene untuk berbisik, “Lo nggak pantes ada di keluarga gue. Sama halnya kayak Kakak lo yang berengsek itu. Juga Ibu lo yang pendusta. Kalian semua sama ... cuma benalu di hidup gue dan Papa.”
Raye selesai sampai di situ. Ia lalu menyentak lengan Ilene dan langsung berbalik untuk pergi dari sini.
Langkah Raye dipercepat, buru-buru masuk ke dalam lift, dan pada saat itu pula tangisnya pecah. Entah karena hal apa, tiba-tiba saja Raye merasa begitu sedih. Ia bahkan sampai menangis tersedu-sedu.
Badannya pun sudah tak lagi bisa ditegakkan. Ia berjongkok di pojok lift sambil menutup wajahnya dan menumpahkan semua air matanya di sana.
Walaupun Raye merasa menang dari Ilene kali ini, entah kenapa ia tetap tak bisa menghapus kepiluan yang mendadak memenuhi rongga dadanya.
Entah karena apa.
Raye sungguh tak bisa memahaminya.
•••
“Aku lagi di jalan mau ke rumah sekarang, Mas.”
Raye sudah tiba di Indonesia, dijemput oleh sopir pribadi sang ayah. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Rolan menghubunginya hanya untuk sekadar menanyakan kabarnya.
“Hati-hati, Sayang.”
Raye mengangguk dengan senyum yang tersungging lebar di wajahnya. Lantas, ia lupa jika Rolan tak bisa melihatnya saat ini. Namun, ketika ia hendak berbicara, pria itu malah sudah lebih dulu angkat suara.
“Kemarin kamu jadi ketemu Ilene?”
“Jadi, Mas.”
“Maaf aku nggak bisa nemenin kamu,” ucap Rolan dengan nada menyesal.
Raye tersenyum kecil ketika mendadak bayangan akan wajah Rolan yang dipenuhi penyesalan muncul dalam kepalanya.
“Nggak apa-apa, Mas.”
“Kamu udah lihat anaknya? Kalau nggak salah namanya Bulan.”
“Udah, Mas.”
Rolan mengetahui banyak hal tentang Ilene. Raye jadi penasaran sejauh apa sebenarnya hubungan di antara mereka. Lantas, tanpa basa-basi Raye segera menanyakannya sebelum pikirannya membuat spekulasi sendiri yang berkemungkinan melukai dirinya sendiri.
“Kamu tahu banyak tentang dia,” cetus Raye seraya menggigit bibirnya, berharap jawaban Rolan tak akan menyakiti perasaannya.
“Kamu masih cemburu sama dia?”
Raye menarik napas panjang. Pertanyaan Rolan tepat sasaran. Pria itu jadi jauh lebih peka.
“Aku beneran nggak pernah sedekat itu sama Ilene, Raye. Memang dulu dia pernah deketin aku, tapi itu cuma sebagai batu loncatan supaya dia bisa menjalin hubungan sama salah satu temenku. Dan anak Ilene sekarang, itu anaknya temenku itu.”
Walau tak diminta, Rolan dengan sabar menjelaskan semuanya pada Raye. Dan Raye pun hanya bisa manggut-manggut ketika mengetahui siapa ayah dari anaknya Ilene.
Barangkali karena alasan itu pula yang membuat Rolan berkata jika pria itu tak akan pernah mungkin menjalin hubungan dengan Ilene. Dan sejak awal, Rolan juga menegaskan jika ia tak pernah tertarik dengan Ilene.
“Tapi dia udah nikah di sana, Mas?” Raye semakin kepo.
“Belum. Mereka nggak nikah sampai saat ini walaupun tetap tinggal serumah. Tapi kurang tahu juga, Ray, aku udah jarang berhubungan sama temenku itu.”
Jadi benar, Ilene memang belum menikah.
Lantas, Raye kini semakin dibanjiri kebimbangan. Sebentar lagi ia akan tiba di rumah dan bertemu dengan ayahnya.
Raye pasti akan menceritakan segala hal yang terjadi selama ia berada di Australia. Namun, apa ia juga harus menyertakan Ilene ke dalam ceritanya, membongkar semua kegilaan Ilene di sana kepada sang ayah?
Apa itu perlu?
•••
Udah jelas, ya, itu anaknya Ilene sama siapa😝
Tapi serius, guys, aku kaget banget masa kalian pada nebak itu anaknya Ilene sama papanya Raye. Ya Allah gemes banget kalian pada suka ngelawak ya😭😭
Ntar kalo itu beneran anaknya Ilene sama papanya Raye, ini cerita bakal sepanjang episode Ikatan Cinta😭
10 Mei, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top