Bab 21

Hai!

Aku update jam segini masih ada yang melek, kan?🤣

Btw, kalian lebih suka aku update sore atau malem?

Seperti biasa, jangan lupa ramekan kolom komentarnya ya, guys. Yok, bisa yok 500 komentar wkwk

Selamat membaca❤

•••

Kali pertamanya Raye bertemu Rolan di Australia, yang pertama kali ia dapatkan memanglah sebuah pelukan kerinduan. Namun, usai berbasa-basi sejenak, yang Rolan lakukan setelahnya adalah menginterogasi Raye.

Bertubi-tubi pertanyaan Raye dapatkan dari Rolan. Sebab, sejak awal Rolan memang tak memperbolehkan Raye untuk menyusulnya ke sini. Apalagi bila Raye pergi seorang diri.

Karena panjangnya interogasi yang mereka lakukan, pada akhirnya Rolan tahu jika Raye pergi bersama Ilene walau mereka berpisah bergitu tiba di bandara.

“Entar kamu pulangnya sendirian?”

Raye baru saja keluar dari kamar mandi ketika pertanyaan tersebut menelusup ke dalam telinganya. Ia baru saja selesai mencuci muka dan menggosok gigi di pagi hari setelah semalaman ini menemani Rolan di rumah sakit.

Langkah Raye dengan ringan berjalan menghampiri Rolan yang tengah duduk di atas ranjang. Sesekali sambil menyeka wajahnya yang basah dengan handuk kecil.

“Iya, Mas.” Raye menjawab pertanyaan Rolan sebelum menarik kursi mendekat ke ranjang dan mendudukinya setelahnya.

“Orlan sama Valerie pulang sore nanti. Kamu ikut mereka aja sekalian.”

Untuk terakhir kalinya Raye mengelap wajahnya sebelum handuk kecil tersebut disampirkan di seputar lehernya. Lantas, sorotnya berpaling pada Rolan, fokus pada kekasihnya yang juga sedang menatap lamat-lamat ke arahnya.

“Nggak mau,” tolak Raye mentah-mentah.

Hanya tersisa satu hari lagi waktu Raye di sini. Ia bahkan menyayangkan kenapa waktu berlalu begitu cepat. Raye bahkan berpikir ulang untuk menambah jatah absennya dan akan pulang saat Rolan juga pulang ke Indonesia.

Rolan mendengkus geli, sudah menebak jika sarannya akan mendapat penolakan dari Raye. “Aku nggak tega ngebiarin kamu pulang sendirian.”

Raye melipat kedua tangannya di depan dada. Mulutnya sempat mencebik sebal karena Rolan seakan lupa jika ia merupakan perempuan dewasa, bukan anak-anak lagi yang kalau ke mana-mana harus mendapat pengawasan.

“Aku bukan anak kecil lagi, Mas,” bantah Raye.

“Tetep aja, Ray, aku takut kamu kenapa-kenapa nantinya.”

“Aku bisa jaga diri.”

Rolan menarik napas panjang. Kemudian hanya menatap Raye dalam diam, kelihatan lelah berdebat dengan kekasihnya yang sangat keras kepala dalam hal ini.

“Pokoknya kamu tenang aja, Mas. Jangan khawatir soal aku. Fokus sama kesembuhan kamu aja, okay?” ucap Raye saat Rolan tidak lagi bersuara. Ia juga sudah bangkit dari posisinya, berdiri di depan Rolan dengan senyum yang merekah lebar.

Entah untuk yang keberapa kalinya, Rolan mengakui kekalahannya dalam perdebatan bersama Raye. Embusan napas kembali dilakukan bersamaan dengan satu tangannya yang menyentuh tengkuk Raye. Lalu menarik gadis itu dengan lembut untuk menjatuhkan ciuman panjang di dahi sang kekasih.

“Kamu mau ganti baju nggak, Mas?” tanya Raye setelah Rolan menarik wajahnya darinya, kembali memberi jarak di antara mereka.

Rolan mengangguk. “Boleh.”

Okay sebentar.”

Raye menyingkir dari sisi Rolan, beranjak menuju lemari untuk mengambil pakaian bersih yang disediakan rumah sakit untuk pasian berganti.

“Celananya mana?” tanya Rolan begitu Raye kembali menghampirinya, tetapi hanya membawa satu buah atasan.

Raye mengernyitkan dahinya. “Celananya juga diganti?”

Rolan tersenyum kecil seraya mengangguk pelan. “Semuanya diganti, Sayang.”

“Pakaian dalam juga?” Raye bertanya dengan suara yang sengaja dibuat sepelan mungkin.

Syukurlah Rolan masih bisa mendengarnya sehingga Raye tak perlu mengulang pertanyaan yang menurutnya terdengar canggung tersebut. Karena setelah pertanyaan itu disuarakan, Rolan kembali mengangguk.

O-okay,” gumam Raye yang lambat laun mulai merasa kepanasan. Apalagi tiba-tiba saja otak sialannya ini malah memutar kilas balik kejadian tadi malam. Tanpa sadar wajahnya memerah. Beruntung ia sudah berbalik badan dan siap mengambil celana yang dibutuhkan Rolan.

Raye mengambil celana dalam Rolan secara asal tanpa melihatnya. Kemudian melangkah dengan tergesa-gesa dengan pandangan yang sengaja diajak mengelilingi ruangan. Apa pun itu, asalkan maniknya tak mendarat di wajah Rolan.

“Kamu bisa ganti sendiri nggak?” Di ujung kalimat, Raye menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi rasa gugupnya.

“Bisa kayaknya.”

Raye memberanikan diri menatap Rolan, dan pria itu tengah berusaha melepas satu per satu kancing bajunya. Sementara Raye hanya menunggu di sisi ranjang sampai Rolan selesai.

Saat Rolan kesulitan melepas bajunya karena ada infus yang tertancap di satu tangannya, barulah Raye dengan sigap membantu Rolan hingga baju tersebut lepas dari tubuhnya.

Mengabaikan sejenak rasa gugupnya, Raye turut membantu Rolan memakai baju yang masih bersih. Kali ini semuanya dilakukan oleh Raye. Yang mengancingkan baju Rolan pun Raye meski kepalanya sedari tadi dibiarkan menunduk tanpa sekalipun melirik ke arah Rolan.

“Udah, Mas,” papar Raye setelah semua kancing baju Rolan terpasang. Ia lantas mundur dan tetap menunduk—pura-pura merapikan ujung baju Rolan sampai pria itu buka suara.

“Hmm.”

Namun, yang didengar Raye hanyalah gumaman Rolan. Mau tak mau ia pun menaikkan pandangannya, menatap Rolan yang rupanya juga sedang menoleh ke arahnya.

“Celananya gimana?”

Karena tak ingin terjadi jeda waktu yang cukup lama dan membiarkan suasana canggung kian lekat mengarungi mereka, maka Raye langsung to the point dengan menanyakan hal tersebut walaupun suaranya kali ini terdengar sangat pelan.

“Nanti aja, deh, nunggu Mama ke sini,” jawab Rolan, mencoba menerbitkan senyum dalam wajahnya sembari menyimpan celana miliknya di sebelah bantal.

Rolan menyadari kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Seperti yang terjadi malam tadi. Ia tak ingin membuat Raye merasa tak nyaman. Jadi, satu-satunya jalan adalah memutus aktivitas mengenai hal ini.

“Nggak apa-apa?”

Dua kali anggukan beserta senyum yang semakin lebar Rolan berikan untuk Raye. Dan bersamaan dengan itu pula ekspresi Raye kembali rileks, tak lagi dipenuhi ketegangan.

Raye pun ikut mengangguk, juga tersenyum seperti Rolan sebelum menjatuhkan bokongnya di atas kursi.

“Sarapan kamu datangnya jam berapa, Mas?” Raye membuka topik obrolan baru dengan Rolan.

Pandangan Rolan sempat beralih sejenak dari Raye, melihat jam yang menggantung di dinding sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya itu. “Paling setengah jam lagi dianter ke sini.”

Okay.”

Hanya itu jawaban dari Raye. Ada keheningan yang terjadi sekejap di antara mereka saat Raye dan Rolan sama-sama sedang memeriksa ponsel. Namun, tak lebih dari sepuluh menit kemudian, Rolan kembali angkat suara.

“Sini, Ray, aku pengen peluk,” kata Rolan sembari menepuk-nepuk sisi ranjang di sebelahnya setelah ia bergeser sedikit.

Raye mengernyit sejenak sebelum bangkit dari posisinya. Ia kemudian berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangan yang direntangkan dan berucap, “Peluknya gini aja.”

“Nggak mau. Sini.” Rolan tetap kekeh, masih menepuk-nepuk ranjang di sampingnya, meminta Raye untuk segera naik dan duduk di dekatnya.

“Bentar lagi ada suster yang nganter sarapan kamu, Mas.” Raye menurunkan kedua tangannya, mencoba menolak Rolan dengan alasan yang cukup logis.

“Sebentar aja.”

Namun, Rolan tetap tak mendengarkan Raye. Tetap memaksa agar Raye segera menaiki ranjang dan bergabung bersamanya.

“Ayo, Sayang. Sebentar aja,” pinta Rolan dengan nada panjang di akhir kalimat.

Raye berdecak dan sempat memutar kedua bola matanya, tetapi tetap menuruti permintaan Rolan. Pelan-pelan ia naik ke atas ranjang, memosisikan dirinya di sebelah Rolan. Dan saat itu pula Rolan langsung membawa Raye ke dalam pelukannya.

“Kangen banget sama kamu,” gumam Rolan. Bibirnya bolak-balik mendarat di puncak kepala Raye, memberi kecupan ringan di sana.

Senyum Raye tersungging di bibirnya. Ia pun membiarkan kepalanya bersandar pada dada bidang Rolan dan melingkarkan kedua lengannya di perut pria itu.

“Kamu cepet pulang ya, Mas.”

Meski tak bisa melihatnya langsung, Raye dapat merasakan jika Rolan menganggukan kepalanya.

“Kamu baik-baik di sana. Kalau ada masalah, jangan lupa cerita ke aku.”

Kalimat Rolan barusan entah kenapa tiba-tiba saja mengingatkan Raye dengan Andita, yang ia sendiri belum bisa memastikan bagaimana kondisinya.

Besok Raye sudah harus kembali ke Indonesia. Dan hal pertama yang akan ia lakukan adalah membesuk Andita di rumah sakit.

Masalah baru seakan-akan sudah siap menyambut kepulangannya. Rasanya sungguh melelahkan.

“Ada apa?” tanya Rolan, mengurai sejenak pelukan mereka hanya untuk menatap Raye yang tiba-tiba membisu tanpa menanggapi ucapannya sebelumnya.

Raye menggeleng pelan, memaksakan senyum untuk hadir di wajahnya dan kembali menelusup ke dalam dekapan Rolan.

By the way, selagi kamu di sini, ada sesuatu hal yang pengen aku sampein ke kamu, tentang Ilene,” cetus Rolan.

Belum ada satu menit Raye kembali menyamankan dirinya dalam pelukan Rolan, ia sudah menarik tubuhnya dari pria itu saat Rolan mendadak membawa-bawa nama Ilene dalam perbincangan mereka.

“Kenapa?” Raye bertanya-tanya dengan kedua alis yang menukik tajam, cukup penasaran karena sebelumnya Rolan jarang sekali membahas soal Ilene dengannya bila bukan Raye yang memancing di awal.

“Waktu itu kamu pernah nanya ke aku alasan kenapa aku nggak akan mungkin bisa menjalin hubungan spesial dengan Ilene,” ucap Rolan sembari merapikan rambut Raye. Sementara maniknya tak lepas dari kedua bola mata Raye yang dipenuhi rasa penasaran. “Itu karena Ilene udah punya anak, Ray. Dia punya anak di sini.”

“Hah?!”

Raye tak bisa menahan keterkejutannya. Matanya membelalak lebar. Sama halnya dengan mulutnya yang ikut menganga, membuat kedua tangannya otomatis bergerak naik untuk menutupinya.

“Di-dia udah punya anak?”

•••

Hayoloh kok bisa Ilene tau-tau udah punya anak aja🤭🤭

27 April, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top