Bab 15
“Semuanya baik-baik aja, kan?” Rolan melayangkan sebuah pertanyaan begitu mobilnya bergerak keluar dari parkiran.
Raye mengambil ikat rambut yang selalu dibawanya ke mana-mana, mengumpulkan surainya ke dalam genggaman sebelum mengikatnya serupa ekor kuda. Bersamaan dengan itu pula mulutnya terbuka untuk menjawab pertanyaan Rolan, “Baik kok, Mas.”
Sepulang dari acara pernikahan Niana, entah kenapa suasana hati Raye berubah menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Aura positif dari temannya berhasil memengaruhinya. Tak bohong saat ia menjawab bahwa semuanya memang baik-baik saja, karena kenyataannya memang demikian.
Meski Raye tak dapat menampik jika masih ada beberapa orang yang memandangnya secara skeptis serta turut membicarakan yang tidak-tidak tentang dirinya, hal itu tak berpengaruh besar terhadap perasaannya. Sebab, ia sadar jika orang-orang yang menyayangi dan masih tetap mendukungnya sudah lebih dari cukup. Jadi, Raye benar-benar tak peduli dengan omongan orang lain tentangnya.
“Kalo di kampus, kita jangan bersikap kayak tadi ya, Mas,” tambah Raye, menyandarkan punggungnya pada kursi setelah rambutnya terikat rapi.
Rolan melirik Raye sekilas, tak lupa memberi senyum hangat pada sang kekasih. “Nggak akan, Ray. Kalo di kampus, kamu tetap aku perlakukan seperti mahasiswaku. Jadi, kamu nggak bisa galak-galak ke aku.” Di ujung kalimat, ia sempat menjulurkan lidahnya pada Raye, meledek gadis itu dengan ucapannya.
Raye mendecih geli. Dengan kedua lengan yang dilipat di depan dada, ia memiringkan sedikit tubuhnya menghadap Rolan. Kedua matanya sengaja disipitkan seraya berkata, “Gitu?”
Walau hanya satu kata, entah kenapa Rolan merasa ancaman Raye terasa jauh lebih besar. Suasana di sekitar mereka tiba-tiba berubah mencekam. Apalagi saat Rolan berpaling pada Raye dan mendapati gadis itu yang tengah menyorotnya dengan tajam.
“Becanda, Sayang. Aku rela digalakin kamu mulu, kok,” ucap Rolan bernada pasrah.
Ekspresi Raye yang sebelumnya penuh dengan intimidasi, lambat laun mulai berubah. Seutas senyum akhirnya hadir di sana. Sudut-sudut bibirnya pelan-pelan tertarik hingga kedua belah bibirnya merenggang, menampilkan senyum lebar yang kemudian disusul oleh kekehan kecil.
Hanya dengan memasang sikap seperti tadi, Rolan langsung tunduk padanya. Pria itu benar-benar menghindari perdebatan dengannya. Menggemaskan sekali.
“Oh iya, Mas, suaminya Niana emang sekaya itu, ya? Tadi aku liat tamu-tamunya bukan orang sembarangan. Ada menteri juga tadi, kan?” tanya Raye, mengubah topik obrolan sembari membetulkan posisi duduknya, menghadap ke jalanan di depan sana.
“Kaya banget malahan. Harta orang tuanya nggak akan habis tujuh turunan kayaknya.”
Raye berdecak kagum. Ia lantas mengambil ponsel dari dalam tas, memeriksa galeri untuk melihat-lihat hasil foto yang diambilnya saat berada di acara pernikahan Niana.
“Kok bisa Niana kenal sama suaminya. Aneh nggak sih, Mas?” Raye berpaling pada Rolan walau hanya berlangsung sekian detik.
Rolan mengedikkan kedua bahunya. “Jodoh nggak ada yang tahu. Kayak aku sama kamu.” Gantian ia yang menoleh pada Raye. Pada saat itu pula Raye juga kembali menelengkan pandangannya padanya. Dan ia menambahkan senyum untuk gadis itu saat berpapasan.
Raye membenarkan ucapan Rolan. Jodoh terkadang memang sulit ditebak. Seperti halnya Raye yang entah bagaimana bisa malah berakhir bersama Rolan, sosok yang tak pernah disangka akan menjadi kekasihnya.
Mana pernah sekalipun Raye membayangkan akan menjalin kisah cinta dengan dosennya sendiri. Kalau diingat-ingat, semuanya masih terasa aneh hingga saat ini. Namun, Raye juga tidak bisa menepis jika saat ini perasaannya pada Rolan sudah terlalu dalam.
Raye mencintai Rolan sampai ia sendiri merasa jika dirinya tak akan sanggup menjalani hidupnya tanpa kehadiran pria itu.
•••
Perjalanan yang berlangsung sekitar setengah jam berakhir begitu mobil yang Rolan kendarai memasuki pekarangan rumah Raye. Keduanya berbarengan keluar dari dalam mobil, berjalan beriringan menuju rumah Raye yang terang benderang.
“Papa lagi pergi, deh, kayaknya,” celetuk Raye saat menyadari mobil sang ayah tak ada di carport.
“Oh, ya? Ke mana emangnya?”
Raye mengedikkan bahunya. Ia lantas membuka pintu utama di rumahnya yang tak terkunci, mempersilakan Rolan untuk masuk karena pria itu memang ingin mampir sebentar.
“Kamu mau ngomong apa emangnya, Mas?” tanya Raye, memboyong Rolan untuk duduk di ruang tamu. Pasalnya, saat hampir sampai, pria itu sempat berkata ingin membicarakan sesuatu dengannya.
Rolan mengambil duduk di sofa panjang, menunggu Raye menempati sisi kosong di sebelahnya, tetapi gadis itu tampak belum ingin duduk sama sekali. Kepalanya malah dilongokkan ke depan, seolah-olah sedang mencari sesuatu.
“Kamu nyari apa?” tanya Rolan. Kedua alisnya tampak menukik tajam.
“Bi Tiar, Mas. Kok kayaknya rumah sepi banget,” jawab Raye, yang kemudian beralih pada Rolan, masih berdiri di seberang pria itu. “Kamu mau minum apa? Biar aku aja yang bikin.”
“Nggak usah,” tolak Rolan. Ia lantas menepuk-nepuk sisi kosong di sampingnya sembari berucap, “Sini duduk aja. Aku pengen langsung ngomong sama kamu.”
Raye menaikkan sebelah alisnya, menatap Rolan dengan sangsi. Entah kenapa tiba-tiba saja perasaannya mendadak waswas. Namun, ia tetap berjalan menghampiri pria itu, duduk di sampingnya seperti yang Rolan isyaratkan sebelumnya.
“Ada apa sih, Mas? Kok aku deg-degan, ya.”
Rolan tersenyum kecil, yang tampak seperti dipaksakan. Suasana hatinya mulai dipenuhi perasaan melankolis. Kedua tangan Raye kemudian dibawa ke dalam genggamannya. Posisi duduknya pun dibuat agak serong agar bisa menatap gadis itu lebih leluasa.
“Aku lagi nggak baik-baik aja.” Kalimat itu dijadikan sebagai kata pembuka sebelum Rolan menceritakan semuanya secara keseluruhan.
Kerutan samar pertanda kebingungan mulai memenuhi dahi Raye. Namun, karena suasana di antara mereka yang tiba-tiba berubah sendu, hatinya makin diliputi perasaan tidak enak. Pikirannya mendadak menerka-nerka jika ada sesuatu buruk yang sedang terjadi.
“Kamu ... kenapa?” Raye bertanya dengan suara yang terdengar begitu pelan. Maniknya tak dibiarkan lepas dari Rolan, mengamati perubahan ekspresi sang kekasih yang terlihat dipayungi oleh awan kelabu.
Tarikan napas dalam-dalam dilakukan oleh Rolan. Kepalanya sempat menunduk sebentar sebelum kembali pada wajah Raye yang kian dipenuhi penasaran bercampur kewaspadaan.
“Aku harus pergi, Ray.”
“Pergi? Pergi ke mana? Jangan aneh-aneh deh, Mas.” Raye langsung menyela omongan Rolan meski ia tahu jika pria itu belum selesai. Tangannya yang berada dalam genggaman Rolan pun ditarik paksa. Mendadak diserang kepanikan.
“Aku serius. Aku lagi nggak baik-baik aja, Ray. Aku beneran harus pergi.”
“Kamu pulang aja deh, Mas. Nggak suka ngomongnya aneh gitu,” tukas Raye, memutar kedua bola matanya dan bersiap untuk bangkit dari duduknya.
Namun, Rolan lebih sigap dan menahan agar Raye tidak pergi sebelum ia menuntaskan apa yang ingin disampaikannya. “Sebentar. Aku belum selesai.”
Raye mengembuskan napas panjang. Tampak tak suka dengan ucapan Rolan, tetapi pada akhirnya ia tetap kembali menjatuhkan tubuhnya di sisi pria itu.
Rolan menggenggam satu tangan Raye, sedangkan yang satunya lagi mendarat di dagu gadis itu, menuntun agar tidak lagi membuang muka dan kembali menatapnya.
“Aku bener-bener minta maaf karena baru ngasih tahu kamu soal ini sekarang. Aku pikir aku baik-baik aja, tapi ternyata enggak.”
“To the point aja, Mas. Kamu sebenernya kenapa?” tuntut Raye tak sabaran.
“Aku harus dioperasi,” balas Rolan dalam satu tarikan napas dengan sorot yang memandang jauh ke dalam bola mata Raye.
Satu detik.
Dua detik.
Hingga detik kelima terlewatkan, Raye masih dalam posisi membeku. Mulutnya setengah terbuka. Sementara kedua matanya tampak bergetar dipenuhi kegentaran.
“Ke-kenapa?” Setelah sekian detik hanya diam, akhirnya Raye mengajukan pertanyaan pada Rolan meski terdengar terbata-bata.
Rolan memalingkan sejenak pandangannya dari Raye, tak sampai hati melihat raut wajah Raye yang mulai dipadati kesedihan. Genggamannya pada gadis itu pun semakin mengerat.
“Aku punya penyakit jantung sejak lahir. Dan sekarang kondisiku lagi nggak baik-baik aja,” jawab Rolan, begitu lirih dan masih belum berani menatap manik Raye secara langsung.
Respons yang Raye berikan benar-benar membuat hati Rolan makin tercabik-cabik. Kedua tangan yang digenggamnya terkulai lemas, sama seperti kedua bahunya yang meluruh lemah. Pengakuan Rolan barusan membuat Raye seperti kehilangan seluruh tenaganya.
Pelan-pelan Rolan menggeser pandangannya kembali kepada Raye. Dan yang didapatinya hanyalah wajah murung Raye dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca. Lalu, tanpa aba-aba Raye melesak ke dalam pelukan Rolan. Sedetik kemudian, tangis gadis itu pun pecah.
“Jangan pergi,” isak Raye di sela-sela tangisannya yang bertambah kuat tiap detiknya.
Dan Rolan tak bisa berbuat apa pun selain mendekap tubuh gadis itu erat-erat. Kedua matanya pun memejam dengan tangan yang terkepal kencang di balik punggung Raye.
•••
Semoga Rolan-Raye bisa jadi temen ngabuburit kalian selama puasa yak😗😍
Aku usahain supaya besok bisa ketemu lagi! Jangan lupa ramein kolom komentarnya yaa❤❤
13 April, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top