Oh No! : 8
Maverick rasa, Fabio menyembunyikan sesuatu darinya.
Bukan bermaksud curiga. Hanya saja, gelagat sahabatnya itu agak aneh dari biasanya. Contohnya saja sekarang, ketika Maverick datang ke rumah pemuda itu untuk belajar bersama, Fabio tampak cukup terganggu.
Eh? Kejadian tadi siang?
Lupakan saja. Bukankah Maverick sudah meminta hal itu untuk dilupakan? Fabio benar-benar tidak mengambil pusing akan hal itu. Iya, Fabio tidak pusing, Maverick yang pusing.
Kembali ke Fabio yang merasa terganggu.
Terlebih saat melihat ekspresi terkejut Fabio yang hanya pernah ia saksikan satu kali saat kelas tujuh. Itu ekspresi langka. Tahun lalu saja, pemuda itu mengeluarkan ekspresi serupa karena menemukan Maverick berada di sekolah pagi buta untuk piket di hari yang sama dengan Fabio. Dan sepuluh menit yang lalu, Fabio kembali mengeluarkan ekspresi tak kusangka-nya itu.
Hei, ini kan bukan pertama kalinya Maverick datang. Apalagi, biasanya Fabio senang--meski tak tampak jelas, tetapi Maverick cukup peka untuk tahu--jika dikunjungi, begitu-begitu dia kesepian juga, 'kan?
"Fabi, apa sebenarnya malam ini Fabi punya acara lain?"
Tuh kan! Maverick benar!
Buktinya sekarang Fabio tersentak kaget, dan memandangnya dengan sorot tak percaya--yang hanya bertahan selama dua detik--sebelum berdehem kecil. Ada yang aneh, meskipun Maverick tahu kebiasaan Fabio yang akan lebih ekspresif ketika berada di rumah, dia masih tampak menahan diri di hadapan Maverick selama ini.
Apa artinya Fabi sudah percaya penuh pada Mave?
"Kalau acara sih, tidak. Kupikir aku hanya ingin istirahat saja. Tapi tak apa, Mave. Tetaplah di sini," ujar Fabio dengan nada tenangnya yang kalem, membuat Maverick otomatis mengangkat sudut bibirnya.
Suara pendingin ruangan yang menderu terdengar jelas ketika hening melanda mereka.
"Kalau begitu, jangan salahkan Mave jika malam ini Fabi begadang!"
Fabio akhirnya tersenyum, mengangguk. Keduanya mulai tenggelam dalam suasana belajar yang tenang, sesekali diselingi oleh candaan dari Maverick. Terkadang, mereka akan berdebat sedikit, lalu dengan cepat menyelesaikan permasalahannya.
Semoga ucapan Fabi tadi memang jujur.
🍫
Kiki yang bersembunyi di sebalik pintu kamar Fabio hanya bisa menajamkan pendengaran sambil tetap waspada. Ia hanya berharap Maverick tak masuk ke kamar, seperti yang Fabio katakan biasa pemuda itu lakukan.
Aku enggak ngerti mereka lagi ngomongin apa....
Kiki kecil yang malang.
🍫
"Fabi rasa, ada yang aneh enggak sama Miki?" Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Maverick sudah akan pamit untuk pulang sampai dia teringat kejadian hari ini. Untuk terlambat, datang di jam istirahat itu memang terdengar gila, bukan? Apalagi kalau dilakukan oleh seorang gadis biasa seperti Miki.
Wajah Fabio sontak berubah. "Aneh, karena dia tak biasanya datang terlambat." Dia menjawab cuek sambil merapikan poni rambutnya, tampak berusaha menyibukkan diri.
Maverick menatap Fabio lagi lebih lama, ia sudah selesai memakai sepatu.
Pemuda yang tak kalah tampan dari Fabio itu mengeratkan jaket biru tuanya. "Mave pikir, Fabi punya firasat lain. Oke, kalau begitu Mave pulang dulu. Makasih ya, buat sosisnya."
"Hati-hati." Fabio mengangguk. Membukakan pintu, lalu menahannya tetap terbuka sampai Maverick menghilang di ujung lorong.
"Mave enggak naksir Miki, kok!"
Fabio membanting pintu rumahnya cepat, alisnya mengerut kesal mendengar sorakan terakhir Maverick untuknya. Dasar orang jail. Ia berbalik, kemudian mengembuskan napas lega setelahnya. Malam ini Maverick memang hanya ingin belajar, tidak bereksplorasi di dalam rumah Fabio seperti biasa.
Tidak. Fabio tak ingin membayangkan reaksi apa yang akan Maverick tunjukkan jika ia menemukan Kiki.
Pemuda itu membuka pintu kamarnya pelan, hanya untuk menemukan Kiki dengan mata sembab yang mengering tertidur sambil duduk di lantai, bersandar pada dinding tepat di dekat pintu. Pakaiannya sudah kembali berganti menjadi baju kaus longgar milik Fabio.
"Apa dia tak kedinginan?" Menggeleng-gelengkan kepala, Fabio segera mengangkat bocah itu menuju tempat tidur, kemudian membaringkan tubuh itu dengan lembut.
Entah apa yang terjadi pada Kiki sehingga tahu-tahu menubruk kakinya--lagi--dalam keadaan menangis tersedu. Fabio penasaran, tetapi tak ingin menanyakan. Takut Kiki akan menangis lagi. Ia hanya berharap Kiki baik-baik saja.
Tapi, kenapa dia menolak mencari orang tuanya?
Ah, itu pikirkan saja besok.
"Tidur nyenyak, Kiki."
🍫🍫🍫
"Kiki enggak kangen Papa sama Mama?"
Fabio buru-buru menyodorkan segelas air pada Kiki yang tersedak telur mata sapi. Benar-benar di luar dugaan. Fabio jadi merasa bersalah karena melontarkan pertanyaan ketika bocah itu sedang sibuk mengunyah.
Pemuda itu ikut meringis ketika Kiki menatapnya dengan mata yang berair setelah terbatuk keras beberapa kali. Dengan telaten ia mengambil tisu dan mulai mengelap area di sekitar mulut Kiki.
"Kangen."
Tangan Fabio disingkirkan dengan cepat, kini ia sudah dihadapkan dengan wajah Kiki yang memberengut.
Kesal, seharusnya ia tahu Fabio akan bertanya lagi. Namun, memang Kiki aslinya kurang pintar. Sampai sekarang dia belum memikirkan alasan yang bagus. Ini masih hari kedua, tetapi sangat wajar Fabio bertanya.
Statusnya sekarang masihlah anak hilang yang tersesat.
"Tapi, Kiki belum mau pulang." Bohong, dia ingin sekali pulang, tapi tidak bisa. "Kiki bosan, rumah Kiki sepi...." Yang ini tidak bohong, tapi tak sepenuhnya benar juga. Sebagai anak tunggal, ia memang sering nyaris mati kebosana. Namun, itu jauh lebih baik daripada terjebak di tubuh anak umur enam tahun.
Kiki tidak menatap Fabio. Justru, memainkan sendok dan garpunya asal, menusuk-nusuk kuning telurnya agak beringas lalu terbatuk sekali. Sisa tersedak tadi masih ada.
Fabio menggaruk tengkuknya yang tak gatal, jadi tak enak membuat bocah ini suram. Padahal, sebelumnya ia mengunyah sarapan dengan semangat. Dan tadi dia bilang apa? Rumahnya sepi? Apa pekerjaan orang tuanya? Masa sampai menelantarkan anak sendiri?
Tatapan Fabio berpindah pada makanan di piring. Telur mata sapi yang malang.
"Kalau belum mau, Kiki nisa tinggal satu malam lagi saja. Besok, kita benar-benar harus cari Papa-Mama Kiki, oke?"
Kiki sadar reaksi senangnya terlalu cepat.
"Iya, Kak! Makasih, Kak Aby!" Kini sang telur mata sapi sudah terbebas dari serangan brutal garpu, mulai berpindah ke mulut Kiki. Bocah itu makan dengan semangat yang seolah bangkit lagi.
Fabio jadi berpikir yang bukan-bukan. Apa Kiki ini korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga ia tak mau pulang? Tidak, untuk ukuran korban kekerasan, mental Kiki pasti sudah hancur, tak akan mudah menerima orang baru. Fabio juga tak melihat bekas luka atau lebam.
Namun, kalau sampai memilih tinggal dengan orang asing, apalagi untuk seorang anak umur enam tahun yang manja....
"Kak Aby, kalau enggak makan, nanti telat, lho!"
Fabio menoleh pada Kiki yang kini menatapnya dengan tampang polos.
Oh iya! Apa Kiki sendiri tidak sekolah? Dia sudah terhitung libur mulai kemarin, 'kan? Apa Fabio harus mengecek ke tiap TK saja? Tapi bagaimana bisa dia tahu? Ada banyak tempat penitipan anak di sini.
"Kak Aby!"
Akhirnya, Kiki hanya bisa kembali memberengut. Diabaikan itu menyebalkan. Apa yang Fabio pikirkan, sih? Semoga saja, bukan tentang identitas Kiki.
🍫🍫🍫
Tak ada yang membuat wajah Alicia bisa secerah ini di pagi hari, selain kejutan kecil dari kekasihnya ..., dan kedatangan Miki yang kemarin sangat-sangat terlambat.
Yah, meskipun gadis itu juga datang terlambat dari biasanya--bahkan keributan fans Fabio sudah usai--tapi itu lebih baik daripada satu hari yang lalu. Kemarin, pikiran Alicia sudah terbang ke mana-mana. Apa Miki yang polos itu diculik? Atau dia kehabisan bahan makanan? Orang tuanya kan sedang tidak di rumah.
Alicia jadi sedikit rindu dengan keluhan rutin Miki di saat penggemar Fabio ribut. Padahal, dia baru tidak mendengarnya dua hari ini.
"Ally, boleh aku pinjam buku kamu?" bisik Miki yang baru sampai di tempat duduknya. Alicia mengerutkan kening, kemudian menatap sahabatnya dari atas ke bawah. Hanya satu yang ganjil, napasnya agak memburu ..., dan lagi-lagi tidak pakai kemeja.
Wajar sih, Miki melangkahkan kaki ke dalam kelas bertepatan dengan bunyi bel masuk. Dia memang harus cepat jika tak ingin terlambat.
"Apa daftar pelajaran kamu hilang, Miki?"
Untuk sekarang, Alicia belum curiga. Dengan senang hati ia membantu Miki yang ternyata masih saja membawa buku dua hari yang lalu.
Bahkan, saat bel pulang sekolah berbunyi, Miki buru-buru pulang dengan alasan tidak enak badan dan capek, ia ingin tidur. Alicia cemas, gadis dingin itu sempat menawarkan tumpangan kekasihnya yang ditolak Miki dengan halus.
"Enggak perlu, aku baik. Dadah, Ally!"
Miki menoleh gugup saat tangannya ditahan oleh Alicia. Tatapan dinginnya menusuk sampai ke tulang, itu sorot mata yang menyeramkan. Alicia hanya menatapnya seperti itu jika ia akan berkata sesuatu yang serius.
"Ingatlah, aku sahabatmu, Miki."
Hati Miki mencelus mendengarnya. Bolehkah ia menangis sekarang?
Alooohaaaa
Ini hari keduaku berumur 16 tahun :3 *infogaguna
Apdet rutin dua kali seminggu? Ahahahaha *nangissambilketawa *digeplakMiki
Pembelaan: 7 ulangan susulan, ulangan, tugas, pembahasan kisi-kisi, ambil nilai........ *coret*WB*coret* PAS tanggal 21 Mei
Boleh aku menangis sekarang? Miki, nangis bareng yuk. *digeplak lagi
Tolong beri aku semangat... uuh... hiks hiks
Maafkan aku... kalau ada salah.
Babay....
Revisi tanggal 29 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top