Oh No! : 7
"Fabio, Maverick, kalian benar-benar menunjukkan persaingan yang sengit di semester ini."
Maverick tersenyum malu, sedang Fabio tetap diam dengan wajah datarnya. Keduanya sedang berada di ruang guru, baru saja mengantarkan buku yang digunakan untuk kepentingan pelajaran terakhir tadi.
"Terlebih kamu, Maverick. Grafik nilaimu meningkat drastis. Tapi, berhati-hatilah, terlalu meningkat juga tak bagus. Jika turun sedikit saja akan mendatangkan masalah."
Maverick melirik Fabio di sampingnya, kemudian mengangguk paham.
"Dan kau, Fabio. Jangan terlalu santai. Maverick benar-benar pekerja keras. Jangan terlalu terbuai dengan penggemarmu, atau nanti mereka akan berpaling ke orang di sebelahmu," kelakar guru paruh baya itu.
Fabio menoleh pada Maverick, tersenyum kecil. "Saya mengerti, Pak."
Keduanya berjalan menuju gerbang sekolah, Maverick merangkul pundak Fabio akrab dan hal itu tidak ditolak sama sekali. Namun, Fabio juga tak merangkul balik.
"Fabi, bolehkah Mave bertanya?"
Fabio mengangguk singkat. "Apa?"
"Fabi menganggap Mave apa?" Fabio melepaskan rangkulan Maverick terlalu tiba-tiba, mata pemuda itu menjadi sedikit lebih dingin. Maverick pun tersenyum pahit. "Bisakah Fabi menjawabnya?"
"Menurut kau apa?" Fabio memutar badan, berjalan lurus meninggalkan Maverick yang kini mengembuskan napas kasar dan mengacak-acak rambutnya. Sial, kenapa mulutnya tadi berbicara di luar kehendaknya?
"Fabi! Lupakan apa yang Mave katakan barusan!"
Tangan Fabio terangkat, menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk gestur oke. Melihat itu, Maverick mengembuskan napas lega.
Kelewat lega, malahan.
🍫🍫🍫
"Sampai besok, Miki!"
"Dadah, Ally!"
Miki merasa bersyukur sisa harinya berjalan dengan baik--tolong jangan ingatkan Miki pada insiden di tugas kelompok tadi. Tubuhnya baik-baik saja. Tidak ada guncangan, tidak ada jantung yang remuk, dan tidak ada asap cokelat.
Dia baru saja melepas Alicia yang pulang bersama pacarnya. Mereka terlihat sangat serasi! Miki benar-benar berharap mereka langgeng sampai menikah.
Iri? Tidak. Untuk hari ini Miki belum iri. Iya, belum. Jadi, bisa saja besok dia iri.
Miki melangkahkan kakinya keluar sekolah dengan senyum terkembang. Pelan-pelan, dia kembali bersyukur karena sudah diizinkan untuk tumbuh dan berkembang. Memang pernah satu kali Miki berharap menjadi anak kecil lagi, tapi jika kasusnya sama dengan Kiki, lebih baik Miki tumbuh dengan normal saja.
Gadis itu berjalan dengan santai, angin lembut bertiup menerbangkan anak rambutnya. Trotoar selebar dua meter yang ia pijaki cukup sepi. Dia keluar cukup terlambat, karena menunggu duyunan manusia selesai keluar dari gerbang. Lalu lintas juga tidak begitu padat.
Mata Miki membulat. Ia tersadar bahwa dirinya sudah dekat dengan lokasi Pria Berjubah kemarin. Hanya tinggal melewati sebuah gang tikus antara sekolah dan gedung di sebelahnya.
Gadis bermata bulat itu menyunggingkan senyum. Mungkin mengucapkan terima kasih untuk setengah hari menjadi anak umur empat tahun bisa dilakukan.
Sepertinya Miki lupa kalau dia masih memegang kunci duplikat apartemen Fabio.
Deg!
Tidak ada guncangan, tidak ada jantung yang serasa ingin lepas, kepulan asap cokelat langsung menyelimuti tubuh Miki, membuatnya kembali terbatuk.
"Kenapa, sih...?" Miki menyingkirkan asap cokelat yang masih tersisa. Jujur, ia merasa sedikit ngeri, tidak mungkin! Tidak mungkin! Jangan bilang kalau...
"!!!"
Miki langsung berlari ke dalam gang tikus di sampingnya. Tempat itu kecil dan sempit, gang ini sering digunakan para anak nakal untuk membolos, tetapi sekarang, Miki beruntung tempat ini benar-benar sepi.
"Kok gini?" gumamnya sambil menatap tangannya yang kembali mengecil. Ia menepuk pipinya kuat-kuat. Sakit. Dan telapak tangannya hanya mampu menepuk pipi.
Ada apa dengannya? Bukannya tubuhnya sudah kembali?
Miki menggigit bibir bawahnya gugup, keringat dingin mulai mengucur di dahinya. Pelan, gadis itu melirik pada baju yang ia kenakan.
Bohong...!
Blazer dan roknya juga ikut mengecil!
Sebagai sekolah swasta, Andromeda memiliki seragam khusus. Semua orang pasti akan curiga jika melihat seorang bocah mengenakan seragam sekolah itu dalam versi SMA yang mini. Tak ada yang mau repot-repot membuat versi mini untuk anaknya.
Jadi, dengan mempertahankan segala kewarasannya, cepat-cepat ia mengganti blazer juga rok dengan baju monyetnya lagi. Untung tak ada yang mengintip. Sekali lagi diingatkan, gang ini sedang sepi. Kemudian, setelah lihat kanan-kiri, Miki keluar dari gang itu dan memutuskan untuk bergegas ke tempat Pria Berjubah.
"Hei! Paman!"
Beruntung pria itu ada di sana. Tangannya menunjuk wajah orang itu dengan tidak sopan. Namun, siapa peduli? Orang ini tak patut diperlakukan dengan sopan!
"Ah, kau anak yang kemarin. Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan sesuatu?" tanya pria misterius itu dengan tenang. Ah, jangan lupa dengan senyuman miringnya yang mencurigakan. Terlalu mencurigakan.
Alis Miki berkerut tajam memasang tampang marah. "Apa yang Anda lakukan padaku? Kembalikan tubuhku seperti semula!" seru Miki pada pria itu. Para pejalan kaki sayangnya tak ada yang peduli. Tidak, mereka terhipnotis! Miki yakin sekali ada yang aneh setiap kali ia berbicara dengan Paman Berjubah.
Sebenarnya, Miki ingin saja mendekat dan menarik paksa jubah hitam itu, tapi di saat bersamaan dia juga takut. Pertama, tubuhnya yang kecil pasti akan mudah dilumpuhkan, bagaimana jika nanti ia diculik kemudian dijual? Oke, memang berlebihan, tapi pria di depannya ini memang tinggi sekali.
Kedua, hawa dingin yang mencekam di sekitar pria itu juga membuat Miki gentar. Iya, dia hanyalah seorang gadis SMA yang penakut.
"Apa yang bisa kulakukan? Kau sudah memakan cokelat itu dan kau harus melaluinya selama tujuh hari." Nada suaranya dalam dan sangat tenang, Pria Berjubah berjongkok dengan sukarela di depan Miki.
Ekspresi Miki melunak menjadi bingung, dia mundur satu langkah.
"Maksudnya?" Tanpa sengaja, seorang pejalan kaki menyenggolnya. Untung saja Miki tak sampai terjatuh. Menjadi kecil memang merepotkan.
"Ekhem, baiklah akan kujelaskan padamu." Pria itu menyeringai, sebelum mengeluarkan cokelat yang sama dari balik jubahnya.
"Cokelat ini akan membuat tubuhmu mengecil selama tujuh hari. Pagi sampai sore, tubuhmu akan kembali seperti semula, selebihnya tubuhmu akan seperti ini. Sampai kau kembali ke bentuk semula, kau harus selalu tinggal dengan takdirmu. Jika tidak, kau akan menghilang dan dianggap tak pernah ada."
Miki mengejap beberapa kali. Perkataan Paman Berjubah ini terlalu panjang.
Apa? Jadi tubuhnya akan seperti ini selama tujuh hari? Takdir? Siapa takdirnya? Lalu apa tadi? Dia akan menghilang?! Di ... dianggap tak pernah ada?
Tidak! Miki masih ingin hidup lebih lama! Miki tak mau menghilang!
"Tenang saja, hatimu sendiri yang membimbingmu pada takdirmu. Lagipula, kau sudah bertemu orang yang tepat." Kekehan halus menyusul setelah ucapan si Paman Berjubah.
Tenang katanya? Miki tidak bisa tenang sekarang! Kenapa hidupnya jadi begini?! Tahu begini, dia tak akan mau lagi menerima cokelat dari sembarang orang. Miki menyesal sekali.
"Aku tak ingin menghilang!" Air mata Miki mulai berlinang. Bagaimanapun juga, mental Miki sudah berubah menjadi mental anak umur enam tahun.
"Kalau begitu, kau tinggal lalui saja. Baiklah, aku harus pergi."
Ketika Miki mengusap air matanya, pria tadi sudah menghilang.
Siapa dia? Pasti bukan manusia!
Hawa dingin yang sedari tadi terasa di kulit Miki hilang begitu saja. Setidaknya, dia sudah tahu bagaimana ciri dan tanda-tanda si Paman Berjubah. Tubuhnya jangkung dan tegap, matanya berwarna hijau, auranya dingin dan mencekam.
Jadi sekarang, apa yang harus Miki lakukan?
Miki yang kini sudah berubah menjadi Kiki pun akhirnya memilih untuk melihat ke sekelilingnya. Sungguh! Ia merasa sangat takut jika nantinya akan menghilang. Matanya masih basah oleh air mata. Sampai akhirnya, mata bulat berairnya menangkap satu objek.
"Kak Aby!" Kiki berlari dan langsung menubruk kaki objek itu, yang ditubruk pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Kiki? Apa yang Kiki lakukan di sini? Menunggu Kakak, hm?" Kiki tak menjawab, hanya menangis dan membiarkan Fabio mengangkatnya dalam sebuah gendongan.
"Hey, jangan menangis. Bukankah kita akan mencari orang tuamu sore ini?"
Kiki menggeleng. "Enggak ... jangan ... Kiki enggak mau ... ayo pulang Kak, pulang." Bocah itu menangis makin deras dan kencang, agak terdengar memilukan.
Fabio sadar itu adalah tangisan ketakutan. Ia pun mendekap gadis kecil itu erat, hangat dan lembut. "Sst ... jangan menangis, oke? Kita pulang saja, ya ...."
Hebat. Hanya dengan itu saja, isakan Kiki seakan tertelan. Memang benar, inilah yang Kiki butuhkan sekarang. Sebuah sandaran yang kokoh dan kuat, yang mampu menopangnya dengan baik.
Ke mana rasa bencinya pada pemuda itu?
Meski Fabio bingung dengan maksud pulang Kiki, ia tetap membawanya ke apartemen. Dia sempat curiga kenapa tas yang balita ini gunakan sudah berganti. Namun, ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Tasnya kan sama-sama berwarna putih.
Yang penting, ia harus menenangkan Kiki yang menangis.
Aloohaaa
Huft, ada banyak sekali ulangan susulan, tugas, dan lain-lain yang harus kukejar.
Malah sakit lagi hari ini T^T
Btw, udah mau dekat puasa nih, aku mau minta maaf kalau ada salah ya...
Ada yang janggal di part ini?
Babay~
Revisi tanggal 28 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top