Oh No! : 3
Alicia sedang berbaring santai di atas kasur. Seusai berkencan, dia langsung berjalan lurus menuju kamar dan segera membuka ponsel.
Bukan untuk menghubungi sang pacar, tapi memeriksa apa ada notifikasi dari Miki.
Ia tahu sahabatnya itu pasti sedang bosan. Alicia jadi merasa bersalah karena tetap pergi berkencan hari ini. Jadi, sebagai penebus dosa, ayo telepon Miki dan ajak dia makan malam di rumah Alicia.
"Miki seharusnya senang." Setelah menekan kontak Miki, Alicia menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya.
🍫
Di sebuah kamar yang agak berantakan, tampak sebuah ponsel di atas kasur berbunyi nyaring. Di layarnya bisa terbaca My Ally.
Selang beberapa lama, layarnya mati. Kemudian kembali hidup dengan nada panggilan yang sama.
🍫
Alicia mengerutkan kening. Sudah tiga kali dihubungi, masih saja tidak diangkat. Biasanya, Miki akan mengangkat di panggilan pertama, atau kedua, tapi sekarang....
Apa Miki ketiduran, ya?
Akhirnya, Alicia memutuskan untuk mengirim pesan sebagai gantinya.
🍫🍫🍫
Setelah Miki selesai dengan keterkejutannya, jiwa anak kecil membuat gadis itu kembali menangis, tetapi kali ini lebih keras. Antara malu, takut, dan kesal bercampur menjadi satu.
Tentu saja, apalagi yang akan kau lakukan ketika orang yang kau benci menyelamatkanmu?
Karena tak nyaman dengan tatapan orang-orang seolah dia pelaku kejahatan, Fabio pun memutuskan untuk membawa balita ini ke apartemennya, yang kebetulan tak jauh dari sana--dengan sedikit bersusah payah lantaran anak ini terus menangis dengan keras.
Fabio tidak pernah suka mendengar tangisan siapa pun. Tidak pula anak kecil ini.
Jadi, di sinilah mereka. Di ruang tamu apartemen Fabio yang cukup mewah. Sofanya besar berlapis kulit, meja tamunya terbuat dari kaca yang mengilap bersih. Ada tiga buah sofa, satu buah sofa panjang berkapasitas tiga orang, satu buah sofa yang dapat menampung dua orang dan sebuah single sofa yang bersebrangan dengan sofa berukuran sedang.
Kini Miki duduk di atas sofa paling panjang, dan Fabio duduk di single sofa.
Udara sejuk dari pendingin ruangan membantu Fabio menyegarkan tubuhnya yang sedikit berkeringat.
Benar, karena takut seseorang menemukan dirinya membawa seorang balita secara ilegal, Fabio sedikit berlari saat sudah sampai di gedung apartemen.
Sedangkan Miki yang sudah kelelahan menangis, hanya berkonsentrasi pada susu kotak cokelat yang diberikan Fabio sesampainya mereka di sini. Ia tak mau memikirkan apa pun dulu, biarkan ia menerima keadaan pelan-pelan.
Miki terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya setelah ia menghabiskan susu cokelat itu.
"Nah, nama Adik siapa?" Fabio membuka suara saat yakin gadis kecil di depannya tidak akan menangis lagi.
Miki menelan ludah gugup, memutar otak pas-pasannya ketika dihadapi pertanyaan itu.
Jika dia memberitahu nama aslinya, pasti ketahuan. Bagaimanapun juga, Miki masih membenci Fabio. Ia harus tetap waspada, siapa tahu Fabio juga membencinya, kemungkinan terburuk apa pun bisa saja terjadi.
"Kiki...."
Fabio mengangkat sebelah alis.
"Namanya Kiki." Akhirnya nama yang terkesan sangat kekanakan itulah yang menjadi pilihan Miki. Yah ... dia bisa apa lagi? Ia hanya bisa berharap Fabio tidak akan mengenalinya.
Bukankah dari Miki ke Kiki itu cukup jauh?
"Baiklah, halo Kiki. Ini, Fabio. Kak Fabio." Fabio tersenyum ramah sekali sambil menunjuk dadanya. Nada bicaranya lembut dan menyenangkan.
Namun, memang Miki sejak awal sudah membencinya, Miki justru mendecak dalam hati.
Aku udah tau, kali....
"Tapi Kiki bisa memanggil Kak Aby saja, oke? Supaya lebih mudah," tawar Fabio masih dengan nada yang sama. Ia tersenyum dengan tampan, senyum yang disukai oleh para penggemarnya.
Sekali lagi, Miki membenci Fabio. Jadi sekarang, mata gadis itu melotot horor.
Apa? Aby? Apa dunia mau kiamat sekarang? Atau yang ini kembaran Fabio?
"Apa ada yang salah, Kiki?" tanya Fabio menyadari gerak-gerik balita di depannya cukup aneh.
Dan sejak kapan Fabio itu kalo ngomong lembut banget?
Ini tidak lucu! Sama sekali tidak lucu! Jika Fabio sedang bercanda, Miki ingin berteriak bahwa ini adalah lelucon paling garing yang pernah ia dapat. Namun, melihat ekspresi pemuda di depannya yang penuh perhatian, entah kenapa ia merasa Fabio sedang serius.
Miki menggeleng pelan, ia tersenyum gugup. Gadis itu menarik-narik pelan tali tasnya sebagai pengalih perhatian.
Fabio masih tak mengerti apa yang salah dengan Kiki di depannya, tetapi ia memilih untuk mengabaikan. Dia mengangguk paham, kemudian tampak seperti menimbang-nimbang sesuatu. "Umur Kiki berapa?"
Miki kembali memutar otak pas-pasannya. Sedikit sebal karena sedari tadi dipaksa berpikir keras.
Dengan ukuran tubuh sekecil ini, umurnya berapa, ya? Ah ... anggap saja umurnya jadi lebih muda 10 tahun.
"Enam tahun...," jawabnya pelan. Miki tak berani menatap mata Fabio.
"Wah, jadi Kiki sudah sekolah, ya?" tanya Fabio sebagai bentuk basa-basi.
Ia harap dengan memujinya sedikit, Kiki akan lebih bersemangat. Agaknya Fabio paham perasaan Kiki, tidak akan ada yang senang ketika kau tiba-tiba dibawa ke tempat asing dan ditanyai ini itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Fabio harus melakukannya.
Miki mengangguk, mengiyakan.
"Hmm, jadi ... apa Kiki tersesat ... tidak, apa Kiki terpisah dari Mama Kiki, tadi?" Jujur Fabio merasa cukup kesulitan untuk menemukan kata yang tepat. Sudah lama ia tak berkomunikasi dengan anak kecil.
Aku ngerti tersesat itu apa kok..., batin Miki sebal.
Gadis itu merasa tak punya pilihan lagi selain mengangguk. Yang ia inginkan sekarang hanyalah, semua ini cepat berakhir dan ia bisa pergi dari sini. Terserah ke mana, yang penting jauh dari Fabio.
Fabio manggut-manggut paham. "Jadi, tadi Kiki sedang berjalan-jalan dengan Mama?" Rasanya aneh juga menginterogasi anak kecil seperti ini. Ia berani bertaruh Maverick akan tertawa lima menit tanpa henti jika tahu akan hal ini.
Miki kembali mengangguk.
"Apa Kiki tinggal di dekat sini?"
Miki berpikir sebentar. Ia memang ingin pulang. Sangat malahan. Namun, jika dia mengaku tinggal di sekitar sini, kemungkinan besar Fabio akan mengantarkannya ke rumah.
Apa reaksi orang tuanya nanti kalau mengetahui keadaan anaknya sekarang sudah berubah menjadi bocah berumur enam tahun? Ia sendiri tidak yakin tubuhnya akan kembali besar dalam waktu dekat.
Akhirnya, Miki menggeleng.
Fabio memasang pose berpikir. "Apa Kiki punya ponsel?" Fabio bertanya sambil menatap tas ransel putih yang ikut mengecil bersama dengan baju dan tubuhnya itu. Yah ... mengingat ponsel bukan suatu hal yang asing lagi bagi anak kecil zaman sekarang.
Aku punya, sih ... tapi kan tinggal di apartemen. Miki menggeleng lagi.
"Atau ... Kiki hafal tidak nomor ponsel Mama atau Papa?" Fabio masih tidak menyerah. Dia juga ingin segera mengembalikan anak ini pada orang tuanya. Anak manis seperti ini, siapa saja pasti akan merasa kehilangan, bukan?
Kalau itu aku juga hafal ... tapi mereka pasti sibuk. Lagian, mana mungkin dengan kondisi kayak gini?! Lagi-lagi Miki cuma bisa menggeleng.
"Kalau begitu, karena Kakak juga belum pernah melihat Kiki sebelumnya, bagaimana kalau Kiki tidur di sini malam ini? Besok kita akan cari Mama-Papa-nya Kiki, oke?"
Sudah berapa kali mata Miki serasa ingin keluar dari rongganya hari ini?
"Habisnya, sekarang sudah sore, sebentar lagi malam. Kakak khawatir, nanti kita akan kemalaman dan belum juga menemukan orang tua Kiki. Kiki enggak mau kan, Kakak antarkan ke kantor polisi?"
Mata Miki lebih membesar, sebelum menggeleng kuat-kuat. Fabio gemas sendiri melihatnya.
"Enggak mau Polisi! Kiki di sini aja."
Aloohaaa
Wadu, maaf telat update, harusnya kan kemarin T^T
Tapi ga papalah kan, jadwalnya ngga geser kok ^^"
Oh ya, ada yang aneh ngga di part ini? Ada typo, nggak? Kalau ada, biarkan aku tahu ;)
Sippo, babay!
Jika ada di posisi Miki, apakah yang akan kalian lakukan?
Revisi tanggal 8 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top