Oh No! : 23

Sungguh! Rasanya Miki tak mau ke sekolah pagi ini. Pertama, matanya masih sedikit sembab meskipun tak lagi bengkak. Kedua, kalian tahu alasannya.

Karena tidak tahu apa yang bisa dilakukan di rumah, Miki datang lebih pagi dari biasanya. Bahkan, jalan menuju sekolah masih sepi, hanya orang-orang rajin saja yang tampaknya sedang pergi ke sekolah juga.

Dengan langkah yang terasa sangat berat, Miki sudah sampai di depan gerbang sekolah. Masuk dengan lesu seolah dia hanyalah mayat hidup, sampai-sampai hampir tak sengaja menabrak pilar.

Sesampainya di kelas--yang tentu masih sepi dan sedang disapu oleh orang piket--pun, Miki langsung menghempaskan tas serta badannya ke kursi sebelum menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan di atas meja.

Mengantuk.

Miki sangat mengantuk sekarang. Dia tak bisa tidur nyenyak lantaran memikirkan ia akan menghilang dan Fabio yang pasti membencinya. Paling tidak, Miki tak lagi menangis. Bisa dibilang air matanya sudah mengering setelah kedatangan Alicia semalam.

"Miki."

Miki baru saja membuka gerbang mimpinya saat sebuah tepukan lembut di kepala memaksanya untuk bangun. "Ada apa, Maverick?" tanyanya langsung bahkan sebelum melihat wajah si pelaku. Oh tentu saja, siapa lagi laki-laki yang mengajaknya berbicara dengan suara berat tetapi lembut itu?

"Hanya ingin bilang, Fabi tidak suka melihat Miki sedih."

Alis Miki mengerut. Tidak mengerti apa maksud dan tujuan Maverick mengatakan itu padanya. Sebelum ia sempat bertanya, Maverick sudah berlalu ke kursi, membuka buku catatan dan mulai belajar.

Oh iya, jam pelaaran terakhir nanti akan ada kuis.

Huft ... aku enggak peduli.

Miki kembali menyembunyikan wajah di antara lipatan tangan. Ia menggeser meja ke depan sehingga tubuhnya bisa lebih rebah. Setelah menggeliat ke sana-kemari, akhirnya Miki menemukan posisi yang pas dan mulai memejamkan mata.

"Kamu kenapa, Miki?" Alicia yang baru datang membangunkan Miki yang baru sempat menutup mata selama sepuluh menit. Miki nyaris berdecak, tapi tak jadi. Sedangkan Alicia, dia khawatir tentu saja.

Sebenarnya, Alicia ingin menyarankan pada Miki untuk tidak sekolah hari ini. Kalau saja kalian lihat kemarin malam, gadis itu sangat-sangat kacau. Matanya bengkak, padahal Miki bukan tipe penangis yang matanya akan bengkak.

Tadi malam juga Alicia menawarkan diri untuk menginap setelah memasak makanan dan membuatkan kompres mata untuk keduanya. Kalau Alicia memang tipe mata bengkak, jadi dia selalu butuh itu agar matanya tidak seperti digigit serangga keesokan harinya. Akhirnya, Miki menolak soal menginap.

Miki mengaku butuh waktu sendiri.

Alicia tidak mau memaksa, lagi pula dia tahu Miki bukan anak kecil lagi. Ia hanya memberi peringatan agar Miki tidak melakukan hal-hal di luar nalar. Walaupun ia tahu Miki tak mungkin sebodoh itu. Alicia juga tak bisa melarang Miki ke sekolah. Hei! Jika konsekuensinya adalah ia tak bisa menemui Miki lagi, Miki yang pergi sekolah dalam keadaan kurang sehat seribu kali lipat lebih baik.

"Aku ngantuk." Hanya itu jawaban yang Alicia dengar dari suara Miki yang terdengar serak.

Alicia sadar hari ini rambut Miki diikat dengan ikat rambut warna merah waktu itu. "Kamu enggak nangis kan, Miki?" Alicia menepuk punggung Miki pelan, lega saat yang ia dapati adalah sebuah gelengan. Hmm, kalau menangis pun pasti bahu Miki akan bergetar.

"Kyaaaa! Fabio!"

Miki berjengit mendengar jeritan yang sudah enam hari ini tidak ia santap di pagi hari.

Tampaknya, Fabio sudah dekat dengan kelas.

S karang Miki bukan kesal, perasaan takut dan cemas bertubi-tubi menghantam dadanya, mendatangkan rasa sesak yang sangat tidak menyenangkan.

Membayangkan akan bertatap dengan muka Fabio saja, Miki tidak sanggup. Miki merasa dia tak lagi pantas berhadapan dengan Fabio, ia terlalu malu. Jika diingat-ingat lagi, kebersamaannya selama menjadi Kiki seperti tidur di kasur yang sama, makan berdua, dan duduk berdampingan di ruang TV saja sudah membuat wajahnya memerah. Oh, jangan lupakan isi percakapan mereka.

Memalukan!

Jadi, setelah mendesah keras, dia menenggelamkan kepalanya semakin dalam pada meja, sehingga wajahnya tak bisa dilihat lagi.

Alicia hanya bisa menatap sedih sahabatnya itu.

🍫🍫🍫

Seperti hari-hari yang biasa, Fabio memasuki kelas dengan dagu yang cukup terangkat. Langkahnya terhenti sebentar melihat Miki, kemudian tatapannya berpindah pada Alicia yang mengangkat bahu. Ia kembali menatap Miki sambil berjalan menuju kursinya.

Fabio meletakkan tas dengan kasar, hanya mengangguk untuk sapaan semangat Maverick yang sibuk belajar. Dia ikut mengambil buku catatan yang sama dan membukanya, tetapi tak sungguh-sungguh membaca.

Apa Fabio marah?

Ya, Fabio marah pada awalnya. Dia merasa amat tertipu selama ini.

Jadi, selama ini Miki itu Kiki? Ya, ternyata memang begitu.

Ternyata, Fabio sudah menyatakan perasaannya secara tidak langsung? Sekali lagi jawabannya: ya.

Setelah menemui Alicia, dia masih sulit mempercayai apa yang terjadi pada Miki. Tentang Pria Berjubah, cokelat, dan takdir. Namun, fenomena itu terjadi di depan mata, membuat Fabio tak bisa mengelak dari kenyataan.

Alicia bahkan sempat terkejut saat tahu ia bisa melihat sang Paman Berjubah, panggilan Miki untuk sosok misterius tersebut.

"Fabi baik-baik saja?"

Fabio menoleh pada Maverick, mengangkat alisnya satu. Fabio menemukan Maverick membuka mulut, untuk segera mengatupkannya lagi, lalu menggeleng pelan.

"Apa?" Fabio akhirnya bersuara. Jika ada yang ingin Maverick katakan, kenapa menahan diri seperti itu? Ini bukan Maverick yang biasa.

"Lupakan saja, Fabi pasti baik-baik saja."

Fabio mengernyit, sepertinya Maverick tahu sesuatu. Buktinya pemuda itu melirik Miki yang sedari tadi wajahnya tak bisa Fabio lihat. Kalaupun dia tahu, sepertinya Maverick tak akan membahasnya.

Fabio mengerutkan dahi sedikit saat menoleh sesaat pada Miki. Apa dia tidak sesak napas? Detik berikutnya, Fabio kembali menatap buku catatan, mengembuskan napas pelan.

Fabio memang marah pada Miki, tapi tak sampai kecewa apalagi membenci. Dia cukup bisa membayangkan bagaimana dia akan bertindak jika berada di posisi yang sama dengan Miki, dalam bayang-bayang akan menghilang pasti tidak menyenangkan.

Jadi, Fabio tak ingin ambil pusing lama-lama. Dia sudah bertekad agar bersatu dengan takdirnya ini nanti.

Apa pun yang terjadi, ia harus berhasil.

🍫🍫🍫

Seorang pria berjubah hitam tampak berdiri di depan gerbang sekolah Miki. Namun ia tak sendirian, ada sosok lain dengan jubah putih.

"Kau yakin mereka bisa?" tanya sang Jubah Putih dengan nada ragu. "Kalau kau salah pilih, maka pangkatmu tak akan pernah naik," sambungnya lagi.

Angin kesiur tampak tak berpengaruh bagi keduanya. Suhu udara di sana bergabung antara dingin yang menusuk tulang dan hangat mentari pagi.

"Kau pikir aku sebodoh itu?" balas Pria Berjubah sambil menyeringai lebar. "Kita lihat saja nanti."

Alooohaaa

Happy Sunday! XD

Mulai mendekati ending dan aku semangat banget!! X3

Gima part ini, ada yang aneh ga?

Hehe, jangan lupa tekan yang bintang ya XD

Babay!

*Lagi masak berdua sama mama 😍*

Eh, Ajah Me_Azzafa Aku cek part depan final, lho.

Wkwkwk

Revisi tanggal 9 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top