Oh No! : 22
Sudah bisa ditebak bukan, bahwa sepasang mata yang mengawasi adalah milik Fabio.
Yap, itu memang Fabio. Milik siapa lagi, coba?
Tak sampai satu menit ditinggal Miki, dia langsung ikut melesat pergi untuk meminta penjelasan, tapi malah disambut dengan pemandangan Miki sedang berbicara dengan seorang pria berjubah yang terlihat mencurigakan.
Fabio awalnya ingin menarik Miki pergi, karena sosok berjubah itu terlihat seperti orang jahat, bagaimana jika Miki diculik? Namun, niatnya menguap saat dengan ajaib, telinganya dapat mendengar percakapan mereka.
Fabio bersembunyi di sebalik tiang listrik, jaraknya sekitar sepuluh meter dari keduanya.
Jujur saja hatinya berdebar semangat saat mengetahui bahwa Miki adalah takdirnya. Jadi, dia tidak mencintai orang yang salah, 'kan? Fabio memang belum mengerti apa-apa, dan dia akan meminta seseorang untuk menjelaskannya nanti. Akan tetapi, rahangnya seketika mengeras mendengar Miki akan menghilang selamanya.
Kau bercanda? Menghilang? Selamanya? Hanya karena dia ketahuan?
Tidak! Fabio tidak mau!
Fabio mulai merasa bersalah. Apa Miki akan menghilang karenanya? Jika Miki menghilang, maka Fabio akan menjadi manusia paling berdosa di muka bumi. Coba saja Miki tidak ketahuan, pasti dia akan baik-baik saja sekarang.
Setelah Miki anjak kaki dari sana, Fabio langsung merogoh ponsel untuk menghubungi seseorang yang ia harap dapat memberi kejelasan tentang hal ini. Ralat. Harus memberi penjelasan padanya.
"Alicia, bisa kita bertemu sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu dan ini menyangkut Miki." Fabio langsung berucap to the point, sejak awal tak berniat mengulur-ulur waktu.
"Di taman? Baiklah. Aku segera ke sana."
🍫🍫🍫
Miki berjalan lesu, kepalanya menunduk. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bersatu dengan takdir sebelum pulang sekolah? Boro-boro bersatu, Fabio saja mungkin tak mau melihat wajahnya lagi.
Gadis itu mengembuskan napas pelan, dia sudah hampir sampai di kamar apartemennya. Miki pun mengeluarkan kunci dari tas putih yang berisi buku beserta rok dan blazer sekolahnya.
"Miki baik-baik saja?"
Kepalanya terangkat, matanya melebar saat ia menemukan Maverick duduk di samping pintu apartemennya. Bagaimana dia tahu rumah Miki?
"Ma-Maverick? Kok di sini?" Miki bertanya agak panik.
"Lain yang ditanya, lain yang dijawab, ya?" Maverick terkekeh, ia berdiri dari tempatnya. Tersenyum pada Miki yang tampak kebingungan. "Boleh kita bicara?"
Jadi, di sinilah Miki dan Maverick sekarang, di kursi ruang tamu apartemen Miki. Pintu dibiarkan terbuka lebar. Miki yang baru selesai mengganti baju Fabio--tak mungkin dia hanya berpakain seperti itu--pun keluar dengan cepat. Ia memakai baju kaus dan celana panjang.
"Sebenarnya Mave sudah curiga kalau Kiki adalah Miki." Miki melotot saat ia baru duduk, tanpa basa-basi Maverick langsung melompat ke pokok pembicaraan.
Apa tadi? Curiga? Apa selama ini dia memang semencurigakan itu?
"Habisnya bau bayi Miki lebih pekat dari biasanya." Maverick tertawa, seolah yang ia katakan itu adalah hal biasa dan wajar. "Dan Miki pernah lari ke apartemen Fabi, 'kan? Mave kira Miki punya kerabat, tapi sekarang masuk akal!"
Miki hanya menatap Maverick dengan tatapan horor. Benar-benar" ya orang yang otaknya encer itu, hebat sekali dalam menyimpulkan sesuatu. Bahkan Miki belum mengatakan sepatah kata pun.
"Kok kamu tau?"
"Habis, Miki tadi pakai baju Fabi. Mave pernah lihat baju itu pas belajar ke rumah Fabi."
Oh, oke. Ingatkan Miki lagi dengan kebiasaan pemuda ini yang akan syuting Maverick The Explorer tiap kali ia mengunjungi apartemen Fabio meskipun sudah pernah berkunjung beberapa kali. Ah sudahlah, orang pintar memang beda.
"Selain itu, Kiki juga mirip dengan Miki. Jadi, tempo hari Mave tidak salah, 'kan?" Maverick tersenyum lebar, menunjuk pada dirinya sendiri.
Oh benar, kejadian waktu itu. Itu kan baru kemarin.
"Iya." Miki mengangguk dengan berat hati. "Hei, menurut kamu, Fabio marah banget, enggak? Mungkin dia benci aku sekarang." Mata Miki menyendu, kepalanya menunduk. Ia memainkan jari-jarinya di atas paha.
Maverick menggeleng. "Tidak tahu, Mave bukan Fabi," jawabnya enteng membuat Miki ingin melotot kesal padanya. Maverick memang suka berbicara seenaknya. "Tapi kalau Mave jadi Fabi, Mave tidak akan membenci Miki."
Miki terdiam, dia menatap Maverick yang tersenyum meyakinkan.
Ternyata, Maverick hanya datang untuk memastikan apa Miki baik-baik saja. Alasan itu membuat kening Miki mengerut, kenapa dia menjadi begitu perhatian?
"Aku pulang, jangan lupa pergi ke sekolah, oke?"
Miki mengangguk lesu, tak berniat mengantar Maverick sampai ke pintu. Gadis itu menghempaskan badannya ke sofa setelah Maverick benar-benar pergi. "Gimana, nih?" Dan air mata lagi-lagi keluar tanpa bisa ia tahan.
Di sisi lain, Maverick sedang tersenyum. Ia merasa sudah memenuhi kewajibannya sebagai sahabat yang mendukung percintaan temannya sepenuh hati. Sebenarnya, Maverick juga terkejut dengan fakta Miki adalah Kiki.
Namun, Maverick tidak berniat menanyakan bagaimana bisa. Hei, Maverick percaya ada keajaiban di dunia ini. Jadi dia pikir ini salah satu dari keajaiban yang ada.
"Semoga mereka baik-baik saja besok."
🍫🍫🍫
Miki sedang duduk termenung di karpet tengah. Suasana hening dan sepi, matanya nyaris kosong. Tubuhnya tidak mengecil, seolah tahu bahwa ia sudah tak lagi berada di rumah 'sang takdir' padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Biasanya jam segini aku lagi liat Fabio masak.
Lagi-lagi, air mata mengalir di pipi Miki yang sejak awal sudah lembab. Ia mengusapnya cepat, menggelengkan kepala. Tidak boleh! Jangan cengeng! Miki harus kuat!
Menepuk kedua pipi, Miki beranjak menuju kamar mandi, mencuci muka. Saat melihat mata yang sayu di cermin entah kenapa air mata Miki meleleh lagi. Miki bingung antara menangis karena takut menghilang atau takut dibenci Fabio.
Keduanya.
Suara bel yang berbunyi membuat Miki mengangkat kepala. Awalnya ia ragu untuk membuka, tetapi karena bel itu terus-terusan dibunyikan--seperti orang panik--Miki buru-buru menuju pintu.
"Kenapa lama sekali, Miki?"
"Ally?"
Tangis Miki seketika pecah seiring dengan dirinya yang langsung memeluk sosok Alicia. Miki menangis seperti anak kecil.
Alicia yang tiba-tiba dipeluk melebarkan mata terkejut, ia melangkah masuk sambil tetap memeluk tubuh Miki dan menggiring Miki untuk duduk di kursi ruang tamu. Tentu setelah ia menutup dan mengunci pintu.
Hanya suara tangis Miki yang terdengar, Alicia sedari tadi hanya bungkam, tanpa melonggarkan pelukannya pada Miki.
Lama-kelamaan mata Alicia ikut berkaca-kaca.
"Oh, Miki ...."
Akhirnya malam itu Miki dan Alicia menangis bersama-sama.
🍫🍫🍫
Fabio tengah duduk di sofa depan TV dengan raut wajah datar, sorot matanya menunjukkan kesedihan. Ia menoleh ke sekitar, seolah bisa membayangkan sosok Kiki yang ke sana-kemari.
"Kak Aby! Malam ini kita makan apa?"
Pemuda itu menggeleng keras, ia mengacak-acak rambutnya kasar. Seharusnya ini menjadi malam terakhir Kiki tinggal bersamanya, tetapi apa yang terjadi pagi ini benar-benar di luar dugaan. Otaknya yang logis masih sulit untuk menerima segala penjelasan yang ia dapat tadi.
"AARGH!"
Aloohaa
Saking lamanya aku enggak baca cerita ini, aku terkaget-kaget sendiri pas ngeditnya 😂😂😂
Yowes, yang penting update :3
Babay!
*pulang cepat karena sakit perut :(*
Dan saat revisi pun, terkaget-kaget saat membacanya.
Revisi tanggal 9 Januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top