Oh No! : 2

"Aaah ... kok pas lagi asyik jalan-jalan gini aku malah lupa?"

Miki, gadis yang sekarang sedang mengaduk-aduk isi tasnya itu, mengerang saat mengetahui ia melupakan sesuatu yang cukup penting; ponsel.

Sekarang masih sore, dan karena bosan sendirian di apartemennya, apalagi Alicia sedang berkencan, jadilah Miki memutuskan untuk berjalan-jalan. Orang tuanya sedang dinas ke luar kota selama dua minggu.

Kaus ¾ putih bergaris-garis merah dengan baju monyet longgar sampai setengah betislah pakaian yang Miki pakai sejak pulang sekolah tadi. Ditambah sepatu kets biru dengan kaus kaki putih pendek, serta tas ransel putih.

Poninya yang sengaja ia ikat ke atas dengan rambut yang tak terlalu panjang makin membuatnya seperti seorang anak kecil yang tersesat, jika saja tingginya masih di bawah seratus tiga puluh sentimeter.

Sebenarnya, banyak juga orang yang masih mengira dia anak SMP, sebuah fakta yang terkadang membuat Miki harus cemberut.

Dia sudah masuk sekolah menengah atas sejak dua tahun yang lalu dan orang-orang masih mengiranya anak SMP?!

"Ah, udahlah. Lagipula benda itu sepinya minta ampun."

Tak terasa, kakinya membawa Miki ke dekat sekolah. Dan sekolah, mengingatkannya pada satu nama yang ia benci, Fabio Robinson.

"Uuh ... kok bisa sih fannya betah ngikutin dia terus? Mana dia cuek banget lagi. Paling enggak kasih senyum doang juga enggak pa-pa. Kalo tingkahnya ke cewek aja kayak gitu, ke Mamanya sendiri dia kayak apa?"

Miki mulai mengomel sendiri dengan volume suara yang tidak bisa dibilang kecil. Para pejalan kaki di sekitarnya juga tidak peduli, tetapi ada beberapa yang menatapnya dengan pandangan bingung sampai aneh.

"Kalau aja aku bisa, rasanya aku mau jambak rambutnya sampai ak-"

"Apa kau yakin, Gadis Muda?"

"-u puas ..., hah?"

Miki menolehkan kepalanya pada sumber suara. Apa itu ditujukan untuknya?

"Ya, aku memang berbicara denganmu, Gadis Muda. Atau ... Miki Harvey?"

Mata Miki terbelalak, ia berlari kecil menuju sosok misterius itu. Seorang pria jangkung aneh dengan jubah hitam yang hampir menutupi wajahnya. Entah kenapa, hawa dingin yang janggal terasa menyentuh kulitnya di jarak satu meter dari pria itu.

Hantu? Mustahil! Ini masih siang bolong.

"Ba-bagaimana Anda tahu namaku?" Miki menunjuk diri sendiri, tak bisa menyembunyikan ekspresi takjub dan penuh tanyanya. Mendadak bicaranya jadi sopan karena pria itu juga berbicara dengan nada formal.

Agaknya Miki berani bertaruh, sepuluh detik yang lalu tidak ada siapa-siapa yang mengenakan jubah hitam mencurigakan di sekitar sini.

Apa itu berarti pria ini baru saja muncul?

"Tak ada yang tak kuketahui di dunia ini," jawab pria itu santai sambil menyeringai.

Miki rasa keringat dinginnya mulai keluar dari dahi maupun telapak tangan. Oh, seharusnya ia tak meladeni orang asing mencurigakan seperti yang Alicia selalu katakan. Miki benar-benar ceroboh!

"Miki?"

Miki yakin ia tak pernah menolehkan kepala secepat ini sebelumnya. Ia merasa terselamatkan dengan panggilan itu. Namun, ekspresi leganya justru berubah saat tahu siapa yang menyapa.

"Maverick?"

Miki tahu, sangatlah tidak sopan untuk memusuhi Maverick yang notabene adalah sahabat Fabio. Namun, percayalah, hal itu terjadi secara alami bahkan tanpa gadis itu kehendaki. Dan juga, Miki bukan memusuhi, hanya sedikit waspada. Banyak yang bilang seseorang itu memiliki sifat yang hampir sama dengan sahabatnya.

Dia memang tak pernah melihat Maverick melakukan hal jahat, atau belum? Ah, sudahlah. Miki sedang malas berpikir.

"Hai, lagi apa? Sendirian saja?" tanya Maverick ramah. Tentu saja, ia selalu ramah pada siapa pun.

Miki menggeleng kaku. Sedikit banyak terkejut pemuda itu mengiranya sendirian. "Kamu sendiri lagi ngapain?" Ia mengusahakan suaranya juga terdengar ramah.

"Oh, Mave," Ekspresi Maverick berubah, ia menutup mulutnya, "Mave harus menjemput adik dari tempat penitipan anak! Sampai nanti, Miki!" Pemuda itu berlari menjauh meninggalkan Miki seorang diri.

Miki tersenyum kecil ke arah Maverick, dan tetap pada posisinya sampai lima detik kemudian.

Kini raut muka Miki berubah menjadi curiga. "Anda siapa?" tanya gadis itu, waspada pada Pria Berjubah yang sedari tadi setia mendengar percakapannya dengan Maverick. Namun, kenapa Maverick tidak bisa melihatnya?

"Ekhem, kau tak perlu tahu siapa aku. Yang penting, apa kau yakin dengan pemikiranmu terhadap orang-orang selama ini sudah benar?"

Mendengar itu, Miki memutar otaknya untuk mencerna perkataan orang aneh tersebut. "Maksudnya?" Miki memiringkan kepala, tak berhasil mencerna ternyata. Keinginannya untuk bertanya lebih lanjut tentang orang itu sirna sudah, bahkan rasa penasaran kenapa Maverick tidak bisa melihat sosok pria itu juga telah pergi.

"Makanlah cokelat ini, maka kau mulai menuntun dirimu pada takdirmu."

Miki tak mendengar apa yang orang ini katakan lagi sejak ia mendengar kata cokelat, langsung saja disambarnya plastik yang berisi sepotong cokelat berbentuk bola tersebut.

Apa Miki pernah mengatakan bahwa ia mencintai cokelat? Dia SANGAT suka cokelat.

"Terima kasih, Paman! Aku makan, ya!" Tanpa basa-basi, Miki langsung mengeluarkan cokelat itu dari plastik, tersenyum saat cokelat bola itu berada digenggamannya. Dalam waktu singkat, cokelat itu sudah berpindah tempat ke mulutnya.

Miki tak menyadari seringaian yang tercetak di bibir si Pria Berjubah.

"Em ... enak...!" Miki terlihat sangat menikmati, ia sampai memejamkan matanya untuk meresapi rasa si cokelat. Cokelat itu meleleh di mulutnya dengan pelan, tapi pasti. Rasa manis mulai Miki rasakan di seluruh mulut, dan mulai turun ke kerongkongannya.

Deg!

"Eh? A... apa yang...?"

Tiba-tiba, tubuh Miki bergoncang hebat. Pandangannya mengabur, keseimbangannya hilang, ia berusaha sekuat tenaga agar tak roboh. Secara bersamaan ia merasa jantungnya ingin meledak saat itu juga, seolah ada yang mencengkram dan meremasnya. Gempa bumi! Bukan, ini lebih buruk. Apa yang terjadi?

Racun? Apa cokelat ini beracun? Apa nyawanya sedang dicabut?

Akhirnya, kepulan asap cokelat menyelimuti tubuh gadis itu. Pekat dan berbau seperti kokoa.

"Uhuk! Uhuk! Tadi itu apa?" Tangan mungil itu masih berusaha menyingkirkan asap yang tersisa. Sampai benar-benar hilang, barulah ia bisa melihat dengan jelas. Matanya berair. Meskipun sudah tak terasa lagi, rasa sakit di dadanya tadi sempat membuatnya menitikkan air mata.

Miki pun melihat ke sekeliling. Kontan matanya melebar menunjukkan ekspresi tak percaya.

Hah? Kenapa orang-orang di sekitarku jadi raksasa?

Dia pun menunduk untuk melihat kakinya. Merasa aneh saat merasa ia dapat menoleh lebih cepat dari biasanya. Jangan bilang kalau lehernya memendek?

Eh? Kok kakiku jadi kecil?

Miki menggeleng-geleng kuat, berharap ini hanyalah mimpi. Ia menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangan. Tetapi rasanya ada yang aneh. Tangannya benar-benar hanya cukup untuk menepuk pipi.

Perlahan, dengan takut-takut, dilihatnya kedua telapak tangannya dan...

Kecil

Persis ukuran anak TK.

"KYAAAA!"

Jeritan Miki sukses mencuri perhatian beberapa pejalan kaki. Sayangnya, seolah tersihir sesuatu, mereka dengan cepat mengabaikan anak itu dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Seperti tidak terganggu sama sekali, layaknya keadaan Miki sekarang adalah wajar.

Miki sadar ia tak lagi merasakan hawa dingin di dekatnya. Dengan gerakan patah-patah, dia menoleh ke tempat Pria Berjubah tadi.

Hilang

Pria itu sudah tak ada lagi. Hilang tanpa bekas, seolah-olah memang sedari tadi tidak berada di sana. Yang ada sekarang hanyalah tiang listrik yang berdiri sendiri.

Ti... tidak....

Setetes air mata jatuh dan Miki langsung mengusapnya, air mata itu makin banyak dan ia berusaha mengusapnya lagi dengan lengan kausnya. "Huwaaaaaa...!" Dan tangisan keras seorang anak kecil pun tak bisa dihindari.

Miki langsung berbalik dan berlari sambil tetap menangis. Pikirannya kalut, setengah dirinya masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Miki harap ini mimpi! Seseorang tolong bangunkan ia dari mimpi buruk ini!

Bruk!

Tanpa sengaja, Miki menabrak kaki seseorang. Sakit....Jadi ini bukan mimpi.

"Hiks hiks huwa ... hiks hiks."

Miki hanya berhenti dari larinya dan tetap menangis. Air matanya turun makin deras, membuat dadanya sesak. Anak itu mulai sesenggukan.

Tak disangka, seseorang yang ia tabrak kakinya tadi mengangkat tubuh kecil Miki lalu menggendongnya. Rasa aman dan nyaman menyelimuti tubuh Miki begitu saja tanpa ia sadari.

"Aduh ... kenapa Adik menangis? Nanti cantiknya hilang, lho...."

Merasa tubuhnya tak lagi menginjak tanah, Miki mengusap air mata sampai ia dapat melihat sosok yang mengangkatnya. Hangat. Siapa gerangan yang begitu berbaik hati pada balita lusuh dan cengeng sepertinya?

"Cup, cup, cup, jangan menangis lagi, oke?"

Dan matanya tak bisa tak membulat lebar ketika menyadari siapa yang menggendongnya sekarang.

FABIO ROBINSON!

Aloohaaa

Aku membawa part baru >w<

Ada yang bisa nebak apa yang akan terjadi? X3

Ada yang janggal, nggak? Silakan beri krisar ^^

Babay!

Revisi tanggal 25 September 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top