Oh No! : 12
Maverick tampak sibuk membongkar tas, semua buku-bukunya sudah terletak di lantai. Bahkan, pemuda itu sudah memutar benda berwarna hitam itu seratus delapan puluh derajat dan mengguncang-guncangnya. Nihil. Hanya debu-debu dan potongan kertas kecil yang keluar.
"Mave taruh di mana, ya?" Maverick beralih pada baju sekolah yang terhampar di kasur. Merogoh satu-persatu saku celana dan baju. Sama saja. Ia tak mendapat apa-apa.
Pemuda itu mengembuskan napas kesal, peluh tampak memenuhi pelipis. Maverick mengipasi leher dengan tangan, napasnya menderu agak cepat.
Di mana ikat rambut itu?
Kali ini, Maverick meraih buku-buku yang tersebar di lantai. Mengecek lembarannya cepat, siapa tahu aksesoris berwarna merah tersebut ada di sana. Saat tak pula menemukan apa yang ia cari, Maverick kembali memeriksa tas, lalu seragamnya.
Begitu terus sampai beberapa kali.
Akhirnya, Maverick itu kelelahan. Kini dia berbaring di lantai marmer yang dingin. Napasnya memburu.
Apa Mave menjatuhkannya di suatu tempat?
Maverick memandang langit-langit kamar yang berwarna putih, memejamkan matanya sejenak, mendengarkan suara-suara hewan malam di luar sana.
Berdiri, Maverick berjalan menuju meja belajar dan menempatkan diri di atas kursi. Kali ini dia mendengus kasar. "Padahal ini kesempatan Fabi, tapi Mave malah mengacaukannya." Ia mengacak-acak rambut dengan frustrasi.
Kepala Maverick kemudian mendongak membaca tulisan yang tertempel di dinding, tepat di atas meja belajar. Sebuah kertas putih yang tampak tua, sudah agak menguning, tetapi keadaannya masih bersih. Tak ada debu.
TARGET HIDUP: PUNYA MINIMAL SATU SAHABAT
Mata Maverick berubah sendu. Ia menggapai tulisan itu dan mengelusnya pelan, seolah menyingkirkan kotoran yang menempel. "Kapan target Mave bisa terpenuhi?"
Maverick bangkit dari kursi, sebelum menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Sekali lagi, embusan napas berat terdengar di kamar yang hening.
🍫🍫🍫
"Huks."
Kiki tak bisa memejamkan mata. Ia sengaja pamit tidur duluan agar Fabio tak lagi bertanya apa pun. Sesekali masih sesenggukan, sesungguhnya baru kali ini Kiki merasa sepanik itu dalam hidupnya.
Bagaimana tidak? Jika Fabio berhasil membuka tasnya, maka ia akan menemukan blazer dan rok versi mini dari sekolah mereka. Jangan lupakan name-tag yang terbordir cantik di dada kanan.
Membiarkan Fabio membukanya sama saja bunuh diri.
Kiki berguling sekali, mengangkat selimut sampai menutupi kepala saat mendengar langkah kaki yang masuk.
"Kiki sudah tidur?"
Kiki diam, tak berniat menjawab. Dia ngambek. Bocah itu buru-buru memejamkan mata saat sadar selimut yang menutupi kepalanya ditarik dengan lembut.
"Kalau kehabisan napas, bagaimana?"
Kiki masih pura-pura tidur, mengabaikan rasa menggelitik saat mendengar kekehan kecil Fabio.
"Maafkan Kak Aby, ya? Selamat tidur."
Saat merasa yakin sudah ditinggal sendiri, Kiki membuka mata. Dia memegangi wajahnya yang tadi dielus dengan lembut, terlebih bagian dekat mata. Bibirnya cemberut, tetapi pipinya memerah.
"Nyebelin."
Miki kembali memutar tubuh, kali ini benar-benar berusaha memejamkan mata. Dia berharap waktu cepat berlalu.
🍫🍫🍫
Alicia bergerak gelisah di atas kasur. Sudah berkali-kali ia mengganti posisi, tapi tak juga mampu menutup mata. Kantuknya hilang saat dibutuhkan, padahal kamar sudah gelap, hanya sedikit cahaya dari ruang tengah yang mengintip lewat ventilasi kamar.
Aku tidak bisa tidur.
Gadis itu bangkit, bersandar pada kepala ranjang. Alicia memikirkan Miki, ia cemas pada sahabatnya itu. Sedikit menyesal karena memilih pergi dengan Geo tadi siang, tapi dia sudah membuat janji jauh-jauh hari dengan kekasihnya.
Sekarang yang ia pikirkan adalah Miki.
Miki tampak aneh akhir-akhir ini. Selain aroma parfum bayinya tercium makin jelas, tingkahnya yang buru-buru pulang juga aneh. Dia tidak apa-apa, 'kan? Apa terjadi sesuatu?
Semakin memikirkan Miki, Alicia makin merasa cemas.
Dia memang belum mampu menebak apa yang terjadi dengan sang sahabat, tetapi ia yakin itu bukanlah hal yang bagus.
Apa aku pergi ke rumah Miki, ya?
Membuka selimutnya, Alicia turun dari kasur. Menghidupkan lampu kamar dan menyipitkan mata saat ruangan menjadi terang benderang. Alicia tidak mengganti baju, ia memakai piyama lengan panjang, hanya menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu.
Alicia membuka pintu kamar, ada sang ayah yang tengah menonton televisi ditemani ibu.
"Mau ke mana, Cia sayang?"
Alicia menoleh pada ibu. Wanita itu sudah berdiri menghadapnya. "Ke rumah Miki. Malam ini dia sendirian, Ibu," jawab Alicia jujur. Dia tak pula terbiasa berbohong.
"Rumah Miki? Bukankah ini sudah terlalu larut? Tak baik seorang anak perempuan bepergian pada jam segini." Kali ini ayah Alicia yang bersuara.
"Kalau begitu antarkan Cia, Ayah." Gadis itu mengeratkan jaketnya, "Cia khawatir dengan keadaan Miki." Ia menatap kedua orang tuanya penuh harap.
"Cia, tidakkah kamu pikir, kamu terlalu perhatian pada Miki?"
Mata Alicia membesar, tertegun. Teringat lagi pria berjubah misterius kemarin. Dia juga mengatakan hal yang serupa.
Benarkah? Apa dia terlalu memanjakan Miki? Apa perhatiannya ... terlalu berlebihan?
"Miki tidak akan dewasa jika terus dimanjakan olehmu. Sekarang, kembalilah ke kamar dan tidur. Jika memang khawatir, ajak Miki tidur di rumah kita besok."
🍫🍫🍫
Curiga
Satu kata yang mendeskripsikan perasaan Fabio pada Kiki sekarang.
Sudah berkali-kali dia mengajak untuk mencari orang tuanya, tapi balita itu menolak. Berdalih ia bosan di rumahnya yang sepi, atau dia belum mau pulang. Tapi apa itu wajar bagi bocah enam tahun?
Yah, sebenarnya bisa saja, sih. Kiki beralasan rumahnya sepi, jadi bisa disimpulkan kedua orang tuanya sibuk. Namun, orang tua sibuk macam apa yang menelantarkan anaknya? Bocah lagi. Apa mereka bahkan tidak menyewa pengasuh anak?
Bagi Fabio sendiri, tidak masalah menampung Kiki. Kiki sudah memberinya banyak kesenangan; ia jadi lebih jujur di rumah, bisa menumpahkan perhatiannya, apalagi Kiki tampak sangat tulus. Bocah itu juga berhasil membuat Fabio tak lagi merasa kesepian.
Keberadaan Kiki sedikit banyak membawanya ke arah yang lebih baik.
Hanya saja, Fabio menemukan beberapa keanehan.
Teman sekelasnya, Miki, sekarang selalu datang ke sekolah setelah ia tiba. Padahal, biasanya gadis itu sudah ada di kursinya dengan ekspresi tidak senang saat ia memasuki kelas. Dan gadis itu selalu pulang terburu-buru, bahkan mengerjakan PR di sekolah.
Miki, meskipun hanya gadis biasa yang tak begitu menonjol, ia tak pernah bertingkah kelewatan seperti terlambat dan tidak membuat PR. Setidaknya, itu salah satu alasan mengapa ia tak begitu disorot.
Kesimpulannya, tingkah Miki aneh akhir-akhir ini.
Sedangkan, Kiki di rumah memang berlaku seperti biasa. Dia seolah tak kemana-mana dan menunggu Fabio di apartemen. Menyambutnya, atau membuatnya panik dengan tahu-tahu tertidur pulas.
Namun, entah kenapa otak cerdas Fabio selalu menghubung-hubungkan Miki dengan Kiki.
Entahlah, nalurinya yang melakukan itu. Lebih lagi, setelah kejadian barusan, apa ada sesuatu di tas Kiki yang bisa menguak identitasnya? Tas itu pasti sangat berharga, sampai-sampai membuat bocah itu menangis.
Fabio melirik tas putih yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Ingin membuka, tapi janji pria tak dapat dilanggar.
Miki adalah Kiki? Mana mungkin!
Iya, mana mungkin! *komporin Fabio
Aloohaa
Halo gaes, udah 11 hari puasa tapi masih aja laper siang hari :'v
Finally ujian selesai!!! Horaaaay *tebar kertas warna-warni
Tapi masih ada pesantren kilat, ya ga pa-pa sih *nyapu kertasnya terus buang ke tempat sampah
Part ini cuman malam hari loh, tapi keempat tokoh kita disorot, gimana? Gimana? Kalo aneh maafkeun yah!
Babay!
Revisi tanggal 18 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top