Oh No! : 10

Bruk!

"Maaf!"

Miki buru-buru berdiri lagi, meringis kecil, lalu mengusap sedikit bagian bokongnya yang mencium lantai, sampai ia sadar ada sebuah tangan yang terulur. Ia tak menyambut tangan itu, justru berdiri sendiri dengan buru-buru.

"Maaf, Mave tidak sengaja." Maverick kembali mengulang ucapannya, saat kebaikan hatinya ditolak Miki secara gamblang. "Miki marah?"

Miki menggeleng tegas. "Bel udah bunyi! Cepetan!"

Maverick terkejut, ketika dirinya tahu-tahu ditinggal sendirian di ujung lorong kelas. Saat seorang guru menegurnya, barulah pemuda itu sadar ia sudah terlambat. Ah, gara-gara adiknya tadi rewel, Maverick jadi terlambat pergi ke sekolah.

Perhatian Maverick teralihkan pada sebuah benda kecil yang terjatuh. Ia membungkuk untuk memungutnya.

Ikat rambut?

🍫🍫🍫

"Itu apa?"

Fabio menatap Maverick dengan sorot datar, sebagaimana yang selalu ia tunjukkan di sekolah, tetapi aura tanda tanya masih bisa dirasakan. Pelajaran pertama baru saja usai, mereka menunggu kedatangan guru selanjutnya.

Maverick hanya mengangkat bahu. "Tadi Mave menabrak Miki, terus ketemu ini." Ia menampilkan senyum lebar. Sadar tatapan Fabio padanya berubah menjadi tajam.

Miki?

Namun, sebelum Fabio sempat membuka mulutnya, pak guru sudah memasuki kelas.

Maverick buru-buru menyimpan aksesoris perempuan itu, tetapi tanpa sengaja terjatuh dari saku celananya dan tak ada yang sadar.

Sampai mata Miki membulat ketika melihat sebuah benda yang tak asing berada di lantai kelas.

Gadis itu buru-buru meraba saku rok juga blazernya.

Benar saja, tak ada apa pun di sana.

Dengan wajah pucat yang cukup kentara, Miki berusaha memikirkan cara untuk mengambil ikat rambut itu.

🍫

"Punya Kiki, 'kan? Maaf, ternyata Kakak baru sadar ada ini. Tertinggal di dalam mesin cuci."

Kiki hanya tersenyum lebar, menerima ikat rambut berwarna merah yang hari itu mengikat poninya menjadi model buah apel. Dia kira, benda ini hilang entah ke mana. Ternyata Fabio sempat menyelamatkannya.

"Ya sudah, kalau gitu Kakak pergi sekolah dulu. Kiki jaga rumah, oke?" Fabio terkekeh, ketika Kiki mengangguk lucu. "Janji ya, sore ini kita akan cari Papa-Mama Kiki."

Ia benar-benar pergi setelah menyempatkan diri mengusap rambut halus Kiki.

🍫

Oh iya! Sore ini janji pergi nyari orang tua! Harus bikin alasan apa lagi, coba? Kok hidupku gini amat, sih?

"Miki? Kamu kenapa?"

Terlonjak kaget, Miki tersenyum kaku pada Alicia. Gadis itu menggeleng.

Alicia tampaknya tahu apa yang Miki lihat. "Bukankah itu ikat rambut kamu, Miki? Kenapa bisa ada di sana?" Matanya memicing menatap benda berwarna merah tersebut, suaranya berbisik agar pak guru tak terganggu, terlebih lagi suasana kelas sedang cukup tenang.

"Aku mau ambil." Jawaban Miki lebih seperti tak ingin menjelaskan kenapa ikat rambutnya bisa ada di situ. Miki sendiri juga tidak tahu!

Kalau Fabio melihat ikat rambut itu ... dan dia sadar itu milikku ... aduh! Bagaimana ini?!

Miki beruntung, tiba-tiba kelas menjadi ribut saat pak guru akan membagikan nilai ulangan. Ulangan Sejarah, bapak itu akan dengan senang hati membagikan dari nilai terbawah.

Bagaimanapun juga, nama Fabio dan Maverick akan dipanggil paling akhir, karena salah satu di antara mereka pasti peraih nilai tertinggi. Jadi, ia masih punya kesempatan sebelum mereka maju ke depan.

"Miki Harvey."

Miki tersenyum saat namanya dipanggil setelah dua belas orang, tersenyum dan mengangguk pada sang guru, ia berjalan dengan cepat ke tempat duduknya. Saat melewati meja Fabio dan Mavercik, senatural mungkin gadis itu menggeser ikat rambutnya dengan kaki, lalu pura-pura membungkuk memperbaiki sepatu, setelahnya meraih benda itu tepat saat Maverick menantang Fabio siapa yang nilainya paling tinggi.

Untung saja tidak ada yang sadar!

🍫🍫🍫

"Miki, hari ini main ke rumahku, yuk?"

Miki menoleh horor pada Alicia, sebisa mungkin ia menjaga ekspresinya untuk tetap tampak biasa. Menelan air liurnya lamat-lamat, Miki rasa IQ-nya sudah bertambah karena akhir-akhir ini dipaksa berpikir keras terus.

"Kupikir kamu kesepian, Miki. Ayo menginap. Kita adakan pesta piyama." Alicia tampak memaksa, Miki makin merasa tidak enak.

Pesta piyama? Miki mau sekali! Tapi tidak bisa, yang benar saja tidur di rumah Alicia malam ini.

"Ally. Gimana, ya, aku...."

Seolah teringat sesuatu, ekspresi Alicia berubah. Ia teringat kejadian kemarin saat bertemu pria berjubah misterius. "Oh ya, apa kemarin ada orang asing berkunjung ke rumah kamu, Miki?"

Miki yang sedang bersusah payah memikirkan alasan yang bagus, mengangkat kepala terkejut. Orang asing? Ke rumahnya? Dia bahkan berani bertaruh, tetangga sebelah mengetuk pun ia tak bisa buka pintu.

"Ah, tidak. Lupakan saja." Melihat ekspresi Miki, Alicia jadi teringat ucapan paman berjubah itu. Apa ia benar-benar terlalu mengkhawatirkan Miki? Sebaiknya ia tak membahas Pria Berjubah, itu tak akan bagus. Jadikan saja ini rahasia.

Miki menatap Alicia yang kini terdiam dengan bingung. Jarang sekali ia lihat Alicia seserius ini, terlepas dari ekspresinya yang tampak datar sehari-hari.

"Alicia?"

Keduanya menoleh pada Geo, pacar Alicia yang jangkung. Ia tersenyum manis pada dua gadis itu. "Hari ini jadi kan, beli kalung anjingmu?"

Mulut Alicia membulat. "Oh iya ya." Lalu, Alicia menatap Miki dengan ragu, ia merasa tidak enak.

Menyadari maksud tatapan Alicia, Miki buru-buru tersenyum riang. "Wah, silakan Geo! Bawa aja Ally-nya, sekalian beliin buat aku, ya, tapi buat yang manusia!" Tawa garing Miki membahana, terdengar sedikit dipaksakan.

"Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari aku, ya, Miki."

"Tenang saja!"

Akhirnya, dua sejoli itu pergi.

Lega sih lega, tapi lama-lama Miki jadi merasa aneh dengan segala keburuntungannya sampai detik ini.

Alicia sudah pergi, Miki pun sekarang sedang di jalan. Dengan waswas, ia menoleh ke segala arah ,memastikan tak ada sang Pria Berjubah.

Bisa saja semua ini ada sangkut-pautnya dengan orang itu?

Kalau aku jemput buku, apa masih sempat, ya?

Miki memeriksa jam melalui ponselnya. Paman Berjubah memang mengatakan tubuhnya akan berubah saat jam pulang sekolah, tetapi ia masih punya waktu lima belas menit sebelum kembali menyusut. Dan sekarang, masih ada waktu sepuluh menit lagi.

Miki rasa ini bukan ide yang bagus. Kalau kakinya panjang seperti milik Fabio sih, mungkin saja dia mampu bolak-balik ke apartemennya dan apartemen pemuda itu dalam waktu singkat. Kalau Miki, tinggi saja tak mencapai seratus empat puluh sentimeter. Boro-boro kaki satu meter, sama adik kelas saja Miki kalah tinggi.

"Tapi, masa aku harus beralasan lupa jadwal lagi sama Ally?"

Nekat, akhirnya Miki memacu kakinya menuju rumah. Siang ini Fabio piket, jadi masih ada waktu kalaupun tubuhnya berubah menjadi Kiki, sebelum masuk ke dalam apartemen Fabio. Setidaknya, ia sudah harus sampai di depan pintu seperti hari yang sebelumnya.

"Eh? Kuncinya ...."

Tubuh Miki meremang, saat sadar kunci rumahnya tidak ada di dalam tas.

"Kunci?"

Kalang kabut gadis itu membongkar tasnya, bahkan sampai mengeluarkan seluruh isi benda putih itu. Namun, tetap saja yang dicari tidak bisa ditemukan.

Gimana nih? Apa aku salah tarok? Atau jatuh di tengah jalan?

Pikiran Miki kacau, ia bahkan sudah tak tahu berapa lagi waktu yang ia punya sampai tubuhnya berubah menjadi Kiki. Sempoyongan, ia keluar dari gedung apartemennya, kemudian mulai mencari kunci.

Pandangan Miki mulai mengabur. Ah, ia siap menangis kapan saja.

Pasti jatuh! Aku yakin!

Alooohaaaa

Selamat hari Minggu, guys!

Besok aku ujian~ Biologi, B.Indonesia, sama Penjasorkes *huahaha Salma setrong gitu loh

Uuu makin ke sini kok aku makin sayang Maverick ya ^3^

Kuharap ga ada typo, kalau ada yang aneh, mohon maklum, kalau bisa kasih tahu aku juga XD

Woke deh

Babay!

*pagi-pagi edit part habis sahur. Ngohoho*

Revisi tanggal 6 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top