Bab 6

Alin tahu bahwa Sona tidak mungkin menolongnya, tapi ia tetap menelepon pria itu. Ya, sekitar lima belas menit yang lalu Alin menceritakan apa yang dialaminya sekaligus meminta bantuan Sona, dan detik itu juga Alin mendapatkan omelan alih-alih dibantu.

Sudah Alin duga sebelumnya. Jujur, Alin tidak masalah Sona menolak, tetap saja seharusnya pria itu jangan memarahinya terlebih Alin sudah sangat frustrasi begini.

Lalu ... sekarang bagaimana caranya pulang? Haruskah Alin kembali ke gerbang depan kompleks, mencoba pelan-pelan siapa tahu saja kali ini ia menemukan jalan yang benar.

Sudah lima belas menit berlalu, tidak ada keajaiban Sona mau menolongnya. Baiklah, Alin akan benar-benar serius kali ini. Ia yakin akan menemukan rumah Rio jika kembali ke gerbang masuk kompleks.

Baru saja menyalakan mesin motornya, tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekatnya. Dari jaket hijau khasnya, Alin yakin itu merupakan pengemudi ojek online. Alin melirik pada seseorang yang dibonceng oleh ojek online itu, ia terkejut sekaligus merasa lega saat melihat Sona sedang membuka helm.

Pria judes ini ternyata masih punya hati.

"Mas Sona," kata Alin saat ojek online yang membawa Sona sudah pergi. Alin bahkan sudah turun dari motornya.

Sona memang judes dan menyebalkan, tapi karena pria itu berkenan membantunya, Alin berjanji akan mengucapkan terima kasihnya dengan sangat tulus.

"Kenapa lo banyak tingkah banget, sih? Lo kira gue sekurang kerjaan itu sampai-sampai harus melakukan ini?!"

Tunggu, kenapa Alin seolah sudah terbiasa dengan omelan pria itu? Ia tidak takut sedikit pun. Hanya ada perasaan tidak enak lantaran sudah merepotkan.

"Maaf, Mas ... aku pun bingung harus minta tolong siapa. Maaf ya, jadi ngerepotin gini."

"Itu tahu ngerepotin. Lagian harusnya lo berusaha dulu, males banget jadi orang."

What? Sona tidak tahu kalau Alin sudah sangat frustrasi setelah bolak-balik berulang-ulang tanpa hasil. Jika Alin tidak sefrustrasi itu, ia tidak mungkin menghubungi pria seperti Sona. Justru karena Alin sudah hampir di titik menyerah sehingga mengesampingkan fakta bahwa Sona sangat tidak ramah.

Ah, bahkan Sona sebenarnya adalah pilihan kedua. Ya, sebelumnya Alin mencoba menghubungi Nino dan sayangnya tidak diangkat.

"Ya udah ayo."

"A-ayo? Ke mana, Mas?"

"Astaga, lo serius nanya ke mana?"

"Eh iya, pulang maksudnya. Ini kuncinya, Mas." Alin lalu menyerahkan kunci motornya.

"Kenapa ngasih kunci ke gue?!"

"Terus ke siapa lagi?"

"Lo yang nyetir!"

"Hah? Terus Mas Sona mau order ojol lagi? Atau jalan kaki?"

"Astaga. Cepetan naik dan nggak usah banyak omong. Gue pusing dengar suara lo!"

***

Situasi macam apa ini? Alin tidak pernah menduga akan membonceng seorang pria judes bin menyebalkan seperti Sona. Sialnya, pria ini juga yang sedang menolongnya. Alin awalnya mengira Sonalah yang akan menyetir, tapi pria itu justru ingin dibonceng. Dan beginilah rasanya, Alin tidak mungkin menolak. Ia hanya perlu menyetir dengan baik meskipun sebenarnya canggung dan tidak nyaman.

"Stop memperhatikan gue," ucap Sona yang membuat Alin semakin tidak fokus menyetir.

Alin baru saja ketahuan sudah memperhatikan Sona melalui kaca spion. Secepatnya Alin mengubah spion itu ke posisi seharusnya sehingga mereka tidak bisa menatap satu sama lain melalui benda itu lagi.

Alin memilih tidak menjawab. Lagi pula ia sangat malu. Ia yang sedari tadi berkeringat, kini seakan semakin kegerahan parah. Angin yang berembus seiring ia melajukan motornya pun seolah tidak ada apa-apanya.

"Aduh," ucap Alin spontan karena tidak sengaja menabrak polisi tidur dengan keras. Hal itu bahkan membuat dada Sona menubruk punggungnya.

"Astaga ... kalau punya mata jangan jadi pajangan aja!" protes Sona seraya memundurkan posisi duduknya agar seperti semula.

"Sori, Mas. Aku nggak lihat."

"Lagian kenapa ke sini, sih? Pantas aja lo nyasar."

"Aku mau start dari gerbang kompleks, Mas. Supaya enak ingat-ingat jalannya."

Sona berdecak. "Lo buang-buang waktu berharga gue, tahu nggak?!"

"Maaf, Mas." Entahlah, Alin sepertinya bisa menjadi duta maaf hari ini. Tidak terhitung sudah berapa kali ia meminta maaf pada pria judes di belakangnya.

"Padahal dari kompleks ke rumah itu nggak jauh loh. Apa, sih, yang bikin lo kebingungan setengah gila?!"

"Aku tahu emang dekat. Kemarin bahkan langsung nemu meskipun salah nomor. Anehnya, tadi aku sama sekali nggak nemuin rumahnya."

"Ya udah karena lo minta mulai dari kompleks depan, gue mau lo berhenti dulu di minimarket. Sebentar."

"Eh? Di mana minimarketnya, Mas?"

"Itu, belok kiri."

"Oke, Mas. Otewe."

"Enggak usah banyak omong deh, nyetir aja yang bener!"

Apa ini? Sona memperlakukan Alin seakan-akan sopir pribadinya. Sialnya Alin tidak bisa melawan, setidaknya untuk hari ini.

"Ngapain lo ikut turun? Gue cuma sebentar, lo di sini aja," cegah Sona saat Alin hendak ikut turun. Mereka memang sudah berada di depan minimarket.

"Aku juga pengen beli camilan, Mas."

"Oh, tapi jangan deket-deket gue. Belanja masing-masing aja."

Apa Sona memang semenyebalkan ini? Lagian siapa juga yang mau dekat-dekat dengan pria judes itu. Ah, andai tidak sedang ditolong, Alin ingin mendorong tubuh pria itu hingga jatuh ke kubangan air.

Tentu saja Alin dan Sona belanja masing-masing. Alin sengaja menjaga jarak di dalam minimarket demi tidak terlibat masalah dengan pria itu.

Sambil memasukkan makanan ringan ke keranjang belanjaan yang sudah terisi beberapa camilan dan minuman ringan, Alin sejenak melirik ke arah rak lain untuk melihat apa yang sedang Sona hendak beli. Namun, rupanya pria itu tidak ada di mana pun.

Alin berusaha mencarinya lebih teliti, jangan bilang Sona meninggalkannya. Sampai kemudian ia menemukan pria itu sedang antre di kasir. Baiklah, Alin juga harus segera menyelesaikan kegiatan belanjanya. Ia tidak mungkin membuat pria itu menunggu lama.

Sial, kenapa antrean semakin mengular saat Alin selesai belanja? Sedangkan Sona saat ini baru saja menyelesaikan transaksinya.

"Mas Sona, maaf ya harus nunggu. Ini aku udah antre, kok," kata Alin merasa tidak enak.

Sudah Alin duga, Sona tidak menjawabnya. Jangankan menjawab, menengok pada Alin pun tidak. Pria itu dengan lempengnya keluar dari minimarket lalu berdiri di luar.

Tentu saja Alin mulai berharap-harap cemas, semoga ia bisa selesai membayar sebelum Sona kehilangan kesabaran.

"Sori ... kamu Alin, kan?" Suara seorang pria tiba-tiba membuyarkan segala pemikiran Alin.

Sontak Alin menoleh pada pria di sampingnya. Minimarket itu ada dua kasir dan mereka mengantre di kasir yang berbeda.

Selama beberapa saat Alin memperhatikan wajah pria yang sungguh terasa asing baginya. Anehnya, kenapa pria asing ini tahu namanya? Terlebih Alin bukan sedang berada di kampung halamannya. Bukankah sangat tidak wajar ada yang mengenalnya di sekitar sini?

"Maaf, siapa ya?" balas Alin ragu.

"Ya Tuhan ... ini beneran Alin, kan? Serius, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Aku Bayu, dan aku yakin kamu nggak kenal."

Alin mengernyit. "Eh?"

"Aku kakak kelasmu waktu SMA," jelas Bayu kemudian. "Aku tahu kamu karena dulu kamu cukup aktif di sekolah," sambungnya.

Jujur saja Alin terkejut. Ia sama sekali tidak pernah menduga ada orang yang mengenalnya lantaran selama ini ia merasa bukan termasuk kalangan populer baik saat sekolah maupun kuliah.

Alin tidak langsung menjawab karena antrean kasir sudah sampai gilirannya. Bayu pun sama.

"Ngomong-ngomong kamu tinggal di sini?" tanya Bayu kemudian.

"I-iya, Kak." Sebenarnya ini tidak nyaman, tapi Alin tidak mungkin menyebut nama saja sekalipun mereka sudah sama-sama menjadi alumni. Tetap saja Bayu merupakan seniornya, meski Alin tidak mengenalnya.

"Sama dong, kebetulan banget ya. Dari kapan?"

"Sebenarnya aku baru pindahan," balas Alin.

Mereka kini sudah selesai membayar belanjaan masing-masing bahkan Bayu dengan sigap mendorong pintu kaca minimarket itu, mempersilakan Alin keluar.

"Terima kasih," kata Alin.

"Rumahmu nomor berapa? Jangan-jangan kita tetangga. Kalau aku nomor 40."

"Oh, sepertinya jauh, Kak. Rumah kakakku nomor 21."

"Wah, kalau itu dekat, Lin. Justru depan-depanan. Ah, wajar sih kamu baru di sini, jadi belum tahu sistem penomorannya. Coba aja kapan-kapan kamu perhatikan ... nomor 21 berhadapan sama 41, sedangkan 40, berharapannya sama 20. Meskipun tempat tinggal kita nggak persis banget berhadapan, tetap aja deketan," jelas Bayu panjang lebar.

Sayangnya, penjelasan Bayu barusan tidak sedikit pun disimak oleh Alin. Bagaimana tidak, fokusnya terpecah menyadari Sona sudah tidak berdiri di depan minimarket lagi. Kabar buruknya, di dekat motor pun tidak ada. Sial, Sona serius meninggalkannya!

"Maaf, Kak. Aku buru-buru, nih. Aku duluan, ya," pamit Alin.

"Oh, iya ... aku pun udah ditungguin sama temen-temen di tongkrongan. Kamu hati-hati ya, aku harap kapan-kapan kita bisa ketemu dan ngobrol lagi."

Alin kemudian secepatnya menggantung belanjaan pada motornya. Ia yakin Sona belum jauh, itu sebabnya ia cepat-cepat melajukan motornya.

Alin tampak lega mendapati Sona sedang berjalan sambil menenteng belanjaan pria itu. Secepatnya Alin berhenti di sampingnya. Mulanya Sona tetap berjalan, membuat Alin kembali melajukan motornya agar sejajar dengan pria itu. Sampai kemudian Sona benar-benar menghentikan langkahnya.

"Maaf, Mas. Aku kelamaan ya?"

Sona tidak menjawab.

"Silakan naik, Mas. Aku minta tolong banget Mas Sona jangan berubah pikiran buat nunjukin jalan menuju rumah," mohon Alin. "Aku nggak enak kalau Mas Sona jalan kaki, sedangkan aku naik motor."

Ya, Alin mungkin bisa saja membiarkan Sona berjalan dan ia tinggal mengikutinya saja. Namun, Alin bukan orang yang seperti itu.

Awalnya Sona hanya berdiri saja, sampai kemudian pria itu kembali duduk di jok belakang. Tentu saja Alin tampak lega.

"Sekali lagi maaf ya, aku bikin Mas Sona nunggu lama tadi."

"Jangan banyak bacot buruan berangkat, panas," ucap Sona, jutek seperti biasa. "Lo tinggal nurutin arah yang gue perintahkan, dilarang banyak tanya."

"Siap, Mas."

Awalnya mungkin menyebalkan mendengar nada bicara Sona, tapi sekarang Alin sepertinya benar-benar terbiasa. Apa apaan ini?


Bersambung....



Makasih ya buat yang nungguin cerita ini, padahal update-nya lemot banget :( Maafkeun :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top