Bab 5

Selamat malam Minggu :)

Adakah yang masih melek?

***

Pagi pertama di rumah ini, Alin bangun dan beranjak dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Alin pun buru-buru cuci muka dan menggosok gigi, semalam ia tidak sempat bertemu Rio sehingga pagi ini ia harus menemuinya sebelum kakaknya itu pergi bekerja.

Di ruang makan, tampak Rio sudah berpakaian rapi. Alin langsung menarik kursi tepat di samping pria itu. "Pembohong, katanya pulang jam tujuh malam. Nyatanya apa? Jam sepuluh pun Mas belum pulang," gerutu Alin. Sejenak, ia juga memperhatikan sekeliling, tidak ada Dewi di sana. Bagus.

"Wah, ternyata kamu udah bangun. Gimana tidurnya, nyenyak?"

"Enggak usah basa-basi, Mas. Mau mengalihkan pembicaraan?"

"Bukannya Mas udah kirim chat, supaya kamu jangan nungguin Mas? Kamu pasti baca, kan? Cuma nggak mau balas."

Alin cemberut. "Adiknya datang jauh-jauh bukannya disambut."

"Ya maaf, Mas semalam ada urusan mendesak sekaligus mendadak. Mas nggak bohong."

"Sejak kapan ada hal yang lebih penting daripada adik satu-satunya Mas ini?"

"Banyaklah, kamu pikir kamu satu-satunya prioritas?" balas Rio sambil terkekeh. "Jangan kepedean, Alin," ledeknya kemudian.

Alin tidak lagi menanggapi topik tentang semalam. "Oh ya, Mas mau berangkat kerja?"

"Menurutmu?"

"Kirain mau libur, gitu."

"Emang kenapa? Kamu butuh sesuatu atau mau pergi ke suatu tempat? Bilang aja, biar Mas yang beli sepulang kerja."

"Bukan, tapi aku mau ketemu temen."

"Emang kamu punya temen di sini, Lin?" Rio tampak menerka-nerka.

"Loh, Mas lupa? Aku, kan, pernah tanya dekat nggak sama daerah temenku."

"Oh, yang itu ... iya Mas nggak lupa, kok. Itu agak jauh loh. Dia mau ke sini, kan? Jangan bilang kamu yang ke sana?"

Alin memang memiliki teman di kota ini, namanya Diana. Mereka cukup dekat saat masih sekolah dan sepakat bertemu jika Alin resmi pindah. Awalnya Alin berpikir mereka akan bertemu beberapa hari lagi atau setidaknya akhir pekan. Namun, Alin sendiri agak terkejut saat Diana mengajaknya bertemu siang ini. Alin tentu mengiyakan, mengingat tidak mudah mencari waktu senggang bagi Diana yang kini sibuk mengurus balita, buah pernikahannya dengan sang suami dua tahun lalu.

Ya, temannya itu memang sudah menetap di sini semenjak menikah dengan suaminya dua tahun lalu. Kalau tidak bertemu sekarang, memangnya kapan lagi? Belum tentu mereka bisa bertemu di lain waktu.

"Rencananya kami ketemuan di salah satu tempat makan, Mas. Boleh, kan?"

Rio mengernyit. "Di mana? Kapan? Ada siapa aja?"

Baiklah, interogasi dimulai.

"Cuma ada Diana aja, kok. Nanti siang di restoran Lili, sekalian makan siang. Gitu, Mas."

"Maksudnya kamu mau ke sana?"

Alin mengangguk.

"Diana-nya ngejemput kamu ke sini?"

"Astaga. Mas ngerti namanya ketemuan di suatu tempat nggak, sih?"

"Kamu nggak takut nyasar? Kamu bahkan belum ada 24 jam di sini." Rio mulai galak. "Mas nggak izinin."

Benar dugaan Alin, masuk akal juga kakaknya itu tidak memberi izin. Sayangnya Alin tetap ingin pergi.

"Kecuali dia mau jemput dan antar kamu lagi," tambah Rio.

"Itu nggak mungkin, Mas. Lagian aku bisa baca Maps, kok. Teknologi udah canggih masa nyasar, sih?"

"Jangan banyak tingkah, Lin. Diam aja di rumah. Memangnya kamu tahu harus naik apa aja? Hmm, atau kamu mau ikut sekalian pas istri Mas berangkat kerja? Ah, nggak deh. Nanti pulangnya gimana." Rio mempertimbangkannya.

"Tempat kerja Mbak Dewi ngelewatin restoran ini?"

"Iya, kamu mau ikut? Kalau iya siap-siap dari sekarang." Rio tentu tidak benar-benar dengan perkataannya. Sedikit pun ia tidak mengizinkan karena khawatir bagaimana cara adiknya pulang. Ia mengatakan itu karena tahu Alin pasti menolak ikut.

"Mas, aku janjiannya siang ini. Sekarang masih pagi," protes Alin. Lagian pasti tidak nyaman berada satu mobil dengan kakak iparnya. Alin jelas tidak mau.

"Ya terus mau kamu gimana, Lin? Jangan bikin Mas pusing pagi-pagi deh."

"Mas pernah bilang ada motor nganggur, SIM-ku masih aktif loh."

"Bahaya, Alin. Jalanan di sini beda dengan di lingkungan orangtua kita. Pokoknya nggak!"

"Terus ngapain bilang motornya nganggur? Ah, udah aku duga. Mas bilang aku boleh ke mana-mana naik motor itu cuma modus aja supaya aku mau pindah ke sini!"

Rio mengembuskan napas frustrasi. "Maksudnya buat ke mana-mana di sekitar sini, Lin. Ke minimarket contohnya, bukan buat pergi sejauh itu. Pokoknya sekali nggak, tetap nggak."

"Lama-lama Mas jadi mirip Bapak, ya. Ah iya ... kan anaknya," balas Alin kesal.

"Mas kamu benar, Lin. Terlalu bahaya kalau pergi sendiri, apalagi naik motor yang kamu sendiri belum tahu seluk-beluk daerah sini. Jangankan naik motor, bahkan naik angkutan umum atau ojek online pun Mbak juga nggak izinin," timpal Dewi yang sudah mengenakan pakaian rapi, hendak pergi ke tempat kerjanya. Wanita itu memang mengelola sebuah outlet roti bersama sepupunya. Dewi melakukan itu untuk mengisi waktu luangnya.

"Masalahnya siapa yang minta izin sama situ?!" Tentu saja Alin mengatakannya dalam hati.

"Terlepas dari kamu bisa baca Maps atau apa pun itu, kami tetap nggak izinin," putus Rio lagi bersamaan dengan Dewi yang sudah duduk di kursi makan. "Kalau pengen banget ketemu temenmu itu, pas Mas libur aja supaya bisa antar dan jemput kamu secara langsung."

"Sekarang mendingan kamu makan, Lin," tawar Dewi. "Semoga kamu suka masakan Mbak, ya."

"I-iya, Mbak. Makasih," jawab Alin, terpaksa.

"Sayang, aku siapin makannya, ya." Dewi lalu melayani sarapan suaminya.

Rio tersenyum. "Terima kasih, Istriku."

"Ngomong-ngomong, Alin nggak apa-apa, kan, di rumah sendirian?" tanya Dewi yang bagi Alin sangat sok akrab. "Mbak sebenarnya mau libur demi nemenin kamu, tapi—"

"Enggak usah repot-repot, Mbak," potong Alin cepat. Jelas ia lebih bersyukur kalau kakak iparnya tidak ada di rumah.

"Nanti kapan-kapan Mbak ajak kamu mampir ke toko roti deh."

"Tuh, Mbak-mu itu pengen akur sama kamu, Lin. Hargai," kata Rio.

Alin berusaha tersenyum. Akur? Apa itu akur?

***

"Larangan dibuat untuk dilanggar, bukan?" kekeh Alin pada Diana di hadapannya.

Saat ini Alin sudah berada di tempat janjian antara dirinya dengan Diana. Mereka baru saja selesai makan siang. Alin memang nekat, tapi ia tetap berhati-hati sehingga sampai di restoran ini dengan selamat. Ya meskipun tadi sempat ada drama-drama Maps yang sedikit menyesatkannya, tapi Alin senang bisa bertemu dengan Diana setelah sekian lama.

Setelah mengobrol tentang banyak hal, sampailah pada topik tentang larangan Rio dan Dewi tadi pagi.

"Astaga. Jadi sebenarnya kamu nggak dibolehin pergi?"

"Mereka pulangnya sore, kok. Jadi, aku hanya perlu pulang sebelum mereka datang."

"Dasar kamu, Lin. Aku kira kamu emang udah pernah nginep di rumah kakakmu. Tapi nanti jalan pulangnya nggak lupa, kan?"

"Enggak, dong, tenang aja. Kalaupun lupa, Maps berguna juga meski terkadang menyesatkan."

"Lain kali aku yang datang ke tempat tinggal kamu aja deh kalau begitu."

"Jangan, Di. Nanti aja kalau aku udah tinggal di rumah indekos, syukur-syukur kalau bisa sewa apartemen sekalian," kekeh Alin.

"Hah? Kok bisa berencana nge-kos, sih? Kenapa?" Diana agak terkejut.

"Aduh, kamu nggak akan ngerti. Pokoknya mau sebesar apa pun rumah kakakku, bahkan misalnya seperti istana sekalipun ... aku tetap milih nge-kos. Lebih nyaman, lebih bebas."

"Maksudnya biar bebas bawa cowok, Li? Hayoh, mau ngapain kamu?"

"Pikiranmu, Di. Bukan begitu. Lagian aku nggak punya pacar."

Diana tertawa. "Padahal yang lain udah pada momong anak, kamu kapan nikahnya kalau pacar aja nggak punya?"

"Boro-boro nikah, Di. Minimalnya punya pacar aja dulu deh, cuma pasti susah juga. Ah, kenapa kakak cowok itu ribet banget, sih?" keluh Alin.

"Jangan nethink, Lin. Kakakmu mungkin cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa. Dia laki-laki, jadi lebih tahu tingkah cowok-cowok zaman sekarang."

"Mendadak bijak, Bu? Padahal kamu nggak punya kakak cocok. Kamu nggak tahu rasanya ada di posisi aku."

"Iya, aku nggak punya kakak cowok, tapi aku punya suami. Sedikitnya aku tahulah apa yang diinginkan laki-laki dari seorang perempuan," kekeh Diana. "Ranjang, ranjang, ranjang. Jadi, aku rasa kakakmu cuma mau melindungimu dari cowok-cowok mesum."

"Hadeuh, jangan dipukul rata gitu, dong. Enggak semua laki-laki...." Apa-apaan ini, kenapa Alin jadi teringat wanita seksi yang kemarin berada di rumah Sona? Kalau boleh berpikiran buruk, sepertinya Sona dan wanita itu baru saja melakukan hal-hal yang Diana maksud.

"Tunggu, tunggu. Mbak yang jaga anakku nelepon, nih. Sebentar ya, Lin." Diana lalu keluar sejenak untuk mengangkat telepon.

Sambil menunggu Diana, Alin merogoh ponselnya yang ada di dalam tas. Biasanya memang jarang ada yang chat maupun meneleponnya, itu sebabnya Alin belum mengeceknya sejak tadi. Namun, kali ini terpampang satu panggilan tidak terjawab. Tumben sekali. Pertanyaannya siapa? Foto profil peneleponnya pun kosong.

Astaga ... paket! Mungkinkah itu nomor kurir? Ya Tuhan, bisa-bisanya Alin lupa kalau paketnya sampai hari ini. Alin secepatnya mengambil kartu nama Nino yang sengaja diletakkannya dalam dompet, ia akan mencocokkan nomor ponsel Nino dengan nomor yang sepuluh menit lalu meneleponnya.

Alin seharusnya sadar kemungkinan itu Nino sangatlah kecil mengingat ini masih siang, dan benar dugaannya, yang meneleponnya bukanlah Nino karena nomornya jelas berbeda.

Sekarang hanya ada dua kemungkinan, entah itu kurir atau ... Sona?

Bersamaan dengan itu, layar ponsel Alin berganti lagi tanda ada telepon masuk. Nomor yang tadi. Perlahan Alin mengangkatnya, "Ha-halo...."

"Paket lo, nih! Mau gue buang atau kasih ke tukang rongsok?" Suara di ujung sana membuat Alin semakin yakin bahwa Sona-lah yang meneleponnya. Sial, malah berurusan dengan pria ini lagi.

"Titip dulu, bisa?" Alin sengaja berbicara se-ramah mungkin.

"Ini bukan penitipan barang, cepetan keluar!"

"Masalahnya aku lagi nggak di rumah, tolong ya dua jam ... ralat, maksudnya satu jam aja."

"Gue tunggu paling lama setengah jam!"

"Ya ampun, kalau gitu simpan depan pagar rumah Mas Rio bisa?"

"Lo nyuruh?"

"Terserah deh." Alin kesal sendiri sehingga memutuskan menutup panggilannya tanpa pamit. Kenapa Sona se-menyebalkan ini? Apa susahnya titip dulu di depan rumahnya? Andai saja itu Nino, pasti dengan senang hati membantunya.

Baiklah, Alin akan membiarkan paket itu tetap di sana setidaknya sampai Nino pulang. Tentang Sona, Alin tidak akan memedulikan pria menyebalkan itu.

"Lin, maaf ya ... aku harus pulang sekarang." Diana yang baru kembali setelah menjawab telepon, langsung cepat-cepat memasukkan ponselnya ke tas. "Bayiku ngamuk, barusan si Mbak nelepon. Bisa kebetulan gini, ya. Bayiku hampir nggak pernah sampai ngamuk parah. Ditambah lagi mertuaku mau datang. Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya."

"Oh, iya nggak apa-apa. Kalau gitu hati-hati di jalan ya, Di."

***

Awalnya Alin berencana lebih lama bersama Diana. Namun, mau bagaimana lagi kalau keadaan mendesak mengharuskan temannya itu pulang lebih cepat dari perkiraan. Alin pun tidak ada pilihan selain pulang. Jalan-jalan? Mungkin bukan waktu yang tepat, terlebih ia harus mengurusi paketnya yang sudah datang.

Mau tidak mau, Alin pasti berhadapan dengan Sona. Ah, padahal tadinya Alin ingin mengambilnya sore-sore saja, saat Nino sudah datang. Mau bagaimana lagi, Alin hanya perlu bersikap masa bodoh terhadap Sona.

Alin agak tenang saat motor yang dikendarainya sudah memasuki area perumahan Latansa. Alin senang, fakta membuktikan dirinya tidak nyasar sehingga kekhawatiran Rio dan Dewi tadi pagi tidaklah terbukti.

"Apa aku bilang, mana mungkin aku nyasar?" batinnya.

Alin menghabiskan sekitar lima belas menit dari gerbang masuk Latansa hingga titik dirinya berada saat ini. Anehnya, kenapa sesulit itu menemukan rumah yang bernomor 21. Apalagi desain rumah-rumah itu tampak serupa.

Alin sempat lega saat melihat angka 21, tapi ia ingat betul bentuk rumah Rio, sedangkan di hadapannya sekarang agak berbeda. Alin jadi pusing sendiri, ia seakan berputar-putar di area yang sama tanpa menemukan hasil. Apa-apaan ini? Alin ingin tertawa miris dengan kekonyolan ini. Bisa-bisanya ia gagal menemukan rumah Rio.

"Ini pasti ada setan yang biasa nyasarin orang-orang di jalan," gerutu Alin dalam hati.

Alin berhenti sejenak. Rasanya cuaca seakan sangat panas sehingga Alin kegerahan. Dengan tangan yang mulai gemetar, ia membuat rute perjalanan melalui Maps di ponselnya untuk menemukan rumah Rio, sialnya tetap tidak berhasil. Alin merasa terus berputar di tempat yang sama. Rumah-rumah yang dilaluinya sampai terasa tidak asing saking sudah berulang kali Alin lewati.

Alin sebenarnya sempat bertanya pada orang yang kebetulan ditemuinya sekitar tempat itu. Mereka menunjuk nomor yang benar, tapi itu rumah orang lain. Alin ingin protes, bisa-bisanya ada nomor sama, membuatnya pusing setengah mati.

Menghubungi Rio? Itu sangat tidak mungkin. Dewi pun mustahil. Harapan Alin tertuju pada Nino yang baik hati. Ya, Nino pasti bisa menjawab kebingungannya, terlebih pria itu pernah mengatakan agar jangan sungkan jika ada sesuatu.

Alin menepi lagi, tapi ia harus menelan kekecewaan karena Nino tidak menjawab teleponnya. Mungkin saja pria itu sedang sibuk bekerja. Sekarang, harapan terakhir Alin adalah Sona. Pria yang semalam pencitraan dengan mentraktir sate tanpa memberi tahu ... apakah bersedia menolongnya? Ya, apakah Sona mau membantunya sedangkan meminta nitip paket saja langsung menolak.

Baiklah, sebut Alin gila karena meminta tolong pada pria judes seperti Sona. Namun, ia tidak punya pilihan selain melakukannya. Sampai pada akhirnya, Alin benar-benar menghubungi Sona.


Bersambung....

Update agak panjang nih (jatah 2 bab).

 Maaf baru nongol lagi, semoga Bab 6 bisa muncul lebih cepat, nggak pake lama :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top