Bab 4
Selamat tahun baru. Telat ya? Maap baru buka Wattpad lagi soalnya :D
***
Ini sudah jam tujuh malam, tapi Rio belum juga pulang. Padahal, sedari tadi Alin menunggu di balkon kamar barunya. Sepertinya lebih baik Alin memesan makanan lewat aplikasi saja. Ia hanya perlu menunggu beberapa menit, lalu makanan akan diantar. Jujur saja ia masih canggung jika harus makan di ruang makan terlebih dengan kakak iparnya.
Namun, timing-nya memang sangat pas. Baru saja Alin membuka aplikasi andalannya, tiba-tiba dari tempatnya berdiri ini, terlihat gerobak di bawah sana. Sejak kapan ada gerobak berhenti di situ? Ah, Alin baru menyadarinya.
Saat melihat orang di balik gerobak itu sedang mengipasi dagangannya, Alin yakin kalau itu tukang sate keliling. Makanan kesukaannya. Apalagi aromanya mulai sampai ke balkon lantai dua ini.
Detik berikutnya, Alin segera mengambil uang di dompetnya lalu bergegas ke lantai bawah sambil membawa ponselnya.
"Mau ke mana?" tanya Dewi yang sedang bersantai di ruang TV.
Alin berhenti sejenak untuk menjawab, "Ke depan."
Tak lama kemudian, Alin pun kembali berjalan menghampiri tukang sate yang berada di seberang sana. Alin hanya perlu menyeberang setelah keluar dari gerbang rumah ini.
Awalnya Alin ingin membungkus pesanannya saja dan memakannya di kamar sambil menunggu Rio pulang. Namun, ia rasa lebih baik makan di sini saja. Setelah menyebutkan pesanannya, Alin lalu menuju ke kursi plastik dan meja lipat yang ternyata sudah ada orang di sana.
Alin merasa matanya masih sangat normal, dan ia tidak mungkin salah lihat kalau pria yang sedang makan sate di sana adalah Sona. Ah, kenapa harus bertemu pria judes itu sekarang, sih?
Namun, Alin berusaha masa bodoh. Toh dirinya tidak perlu membahas tentang salah rumah. Apalagi sate dan lontong dalam piring Sona sudah hampir habis, jadi bisa dipastikan sebentar lagi pria itu akan pergi.
Sejujurnya Alin juga ingin mengatakan tentang paketnya yang pasti akan dikirim ke alamat tetangganya itu. Tidak ada salahnya meminta tolong. Meski kalau boleh memilih, Alin merasa sebaiknya mengatakannya pada Nino saja yang lebih ramah.
Sona menoleh begitu Alin duduk di kursi seberangnya. Alin yang juga menoleh ke arah Sona, entah mengapa merasa ada yang aneh dari tatapan dan ekspresi pria itu. Seperti sedang mentertawakannya. Alin berharap dugaannya salah.
"Ngapain lihat-lihat?"
Mendengar itu, Alin langsung pura-pura sibuk dengan ponselnya. Maksudnya sibuk membolak-balik menu.
"Kenapa salting?"
"Rese banget! Jangan kepedean gitu deh."
Sona tidak menjawab karena kini sedang menenggak minumnya, pria itu sudah menghabiskan makanannya. Sedangkan Alin berusaha bersabar karena sebentar lagi pria itu akan enyah dari hadapannya. Tentang paketnya, ia akan mencari cara agar bisa berbicara dengan Nino.
Bersamaan dengan itu, tukang sate menghidangkan pesanan Alin di meja. "Terima kasih, Pak."
Baru saja Alin hendak makan, tiba-tiba ia mendapati Sona sedang menyalakan rokoknya. Tentu saja Alin ingin protes, tapi berusaha ditahannya untuk menghindari berurusan dengan pria menyebalkan itu. Alin hanya bisa menutup hidungnya saja menggunakan tisu. Uh, asap dari sate berpadu dengan asap rokok.
"Lebay banget," gumam Sona.
"Maksudnya?"
"Enggak ada maksud apa-apa, kecuali lo merasa kata-kata gue menyinggung lo."
Alin sengaja tidak menjawab, sejak awal Sona sangat menyebalkan. Sebaiknya ia menghindari berurusan dengan pria itu. Ah, jangankan berurusan, berbicara pun rasanya malas.
Setelah mengembuskan asap rokoknya, Sona berkata, "Hmm, jadi lo kira gue lagi ngomong sama lo?"
Alin berusaha tidak menjawab, tapi Sona benar-benar mengajak perang. "Terus sama siapa?!"
"Sama rokok. Gue bilang rokoknya lebay, kenapa lo yang sewot?"
"Jangan pikir aku bodoh, ya."
"Kalau nggak bodoh, kenapa bisa salah rumah padahal punya mulut buat bertanya."
"Astaga. Itu gara-gara kamu yang mendadak langsung nyuruh ini dan itu!"
"Lo sebut itu alasan? Seharusnya lo memastikan dulu, ini rumah Mas Rio atau bukan ... baru masuk. Kalau lo sebelumnya nanya, gue pasti kasih tahu rumahnya ada di sebelah."
"Harus banget ya bahas ini?"
"Enggak juga," balas Sona seraya berdiri, lalu membuang puntung rokok yang tersisa setengah dan menginjaknya hingga tidak lagi mengeluarkan asap. Pria itu kemudian menghampiri tukang sate, bermaksud membayar pesanannya.
"Hush, hush ... sana!" batin Alin.
Saat Sona sedang sibuk membayar pesanannya, tiba-tiba Alin merasakan ada getaran ponsel di meja. Rupanya Sona lupa membawa serta ponselnya, atau pria itu sengaja meninggalkannya? Ah, masa bodoh, yang penting pria itu masih di sini.
Dari tempatnya duduk, Alin bisa melihat dengan jelas nama sang penelepon. Kak Nino. Alin ingin berbicara dengan pria ramah itu. Namun, sangat tidak mungkin ia bisa menjawab teleponnya. Jangankan menjawab, menyentuh sedikit saja sepertinya Sona akan mengeluarkan tanduknya.
Sona lalu mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan itu, "Pesanannya udah siap bahkan udah dibayar. Kalau nggak bisa sabar, jangan nitip."
Alin semakin tidak heran kalau Sona cenderung tidak ramah padanya, bahkan pada kakaknya sendiri saja, seperti itu nada bicaranya.
"Malah dimatiin," gerutu Sona seraya menyimpan ponselnya di saku.
Sementara itu, dari arah rumahnya, Nino tampak berjalan ke arah pedagang sate. Nino memang memutuskan menghampiri saat melihat Alin sedang makan di sana.
Baru saja hendak pulang, Sona mendapati Nino kini sudah ada di hadapannya. "Astaga, lo nggak sabaran banget, Kak."
"Ini udah dibayar, kan?"
"Udah."
"Kalau gitu saya minta piring, Pak. Saya mau makan di sini aja," kata Nino pada tukang sate.
"Boleh," jawab tukang sate itu sambil dengan sigap menyerahkan piring pada Nino.
"Hmm, tapi nggak apa-apa, nih, Pak? Maksudnya, kan, harus keliling. Kalau saya makan di sini, nanti tambah lama."
"Enggak apa-apa dong, apalagi sama pelanggan setia. Mas Nino santai aja makannya."
Nino pun tersenyum, lalu duduk di kursi yang diduduki oleh Sona tadi. "Kamu Alin, kan?"
"I-iya, Mas."
Sejujurnya Alin mendengarkan obrolan Nino, Sona dan tukang sate tadi. Rasanya membahagiakan, di saat dirinya memang sedang ingin mengatakan sesuatu pada Nino, sekarang orangnya benar-benar muncul di hadapannya. Sedangkan Sona, pria itu sudah pergi setelah Nino benar-benar duduk.
Sambil membuka pembungkus satenya lalu meletakkannya pada piring, Nino berkata, "Oh ya, kamu di sini untuk menetap, kan? Bukan liburan atau yang lainnya?"
"Maaf, bukan maksud kepo ... hanya saja, saya tadi sore sok tahu banget udah bilang duluan kalau kita tetangga, padahal kamu belum tentu tinggal di sini," tambah Nino.
"Boleh dibilang, aku pindah sementara ke sini."
"Oh begitu, saya baru kepikiran sekarang. Kalau pindah, pasti bawa banyak barang. Tapi tadi saya lihat kamu cuma bawa tas aja. Itu sebabnya saya memastikan lagi."
"Ah iya, bicara soal barang-barang ... sejujurnya aku mengirimnya via ekspedisi dan masalahnya, nomor rumah yang tertera di paketnya itu nomor 20, bukan 21," jelas Alin. "Aku bersyukur bisa ketemu Mas Nino malam ini, apa besok siang atau sore ada di rumah? Soalnya kurir pasti antar ke alamat yang tercantum di paket."
"Wah, maaf ya, Alin. Kemungkinan saya belum pulang, masih kerja. Tapi tenang, Sona pasti ada di rumah."
"Yah, kenapa harus pria itu lagi?" keluh Alin dalam hati.
"Nanti biar saya yang bilang ke Sona, kalau ada kurir antar paket, amankan dulu. Nanti kamu bisa ambil. Nomor ponsel kamu pasti tertera di paket, bukan?"
Alin terpaksa mengangguk, padahal ia sangat berharap tidak berurusan dengan Sona lagi.
"Tapi syukur-syukur kalau saya udah pulang, nanti saya sendiri yang nerima."
Seketika Alin seolah diberi suntikan semangat. Ya, semoga kurir datangnya saat pria di hadapannya ini sudah pulang kerja.
Mereka pun makan bersama. Bagi jomlo seperti Alin, makan dengan pria tampan seperti Nino, sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ah, betapa menyenangkan sekaligus mengenyangkan. Alin bahkan jadi berpikir, pria seperti Nino mana mungkin tidak punya pacar? Ah, sudah pasti punya.
"Ngomong-ngomong, kamu kuliah atau kerja?" Nino kembali memecah keheningan di antara mereka.
"Lebih tepatnya cari kerja, Mas."
"Oh, udah apply ke mana aja?"
"Beberapa tempat, sih. Tinggal nunggu dipanggil," jawab Alin apa adanya. Ia memang sudah mengirimkan CV-nya ke beberapa perusahaan yang Rio rekomendasikan sebelum datang ke sini.
Baru saja Nino hendak menjawab, tiba-tiba ponselnya berdering. "Maaf ya, Alin. Saya angkat telepon dulu."
Pria itu tampak menjawab telepon selama beberapa saat, lalu kembali fokus pada Alin setelah selesai berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. Tampak piring Alin juga sudah kosong.
"Kamu udah selesai makan ternyata," kata Nino, tidak heran karena Alin memang makan lebih dulu, bahkan saat Sona masih ada di sini. "Kebetulan saya juga ada urusan mendadak," tambahnya.
Alin masih terdiam, menunggu Nino melanjutkan pembicaraannya. Sedangkan Nino, tampak mencari sesuatu dalam dompetnya. "Kamu boleh simpan ini," ucap Nino seraya menyerahkan sebuah kartu nama pada Alin.
"Sejujurnya saya mau minta nomor ponsel kamu, tapi saya tahu nggak semudah itu terlebih kita baru kenal. Kamu juga nggak mungkin ngasih, kan?" Ucapan Nino jelas membuat Alin mengernyit.
"Jangan salah paham, ini bukan maksud jahat. Maksudnya gini, kamu kalau ada apa-apa bisa hubungi saya di nomor yang tertera. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa, kok. Ini barangkali butuh aja," jelas Nino. "Pokoknya kamu bisa hubungi kapan pun kamu mau."
Alin tersenyum melihat kecanggungan Nino. "Iya, Mas. Saya bawa kartunya, nih."
Sial, kenapa ada pria yang tampan dan menggemaskan dalam waktu bersamaan? Alin bisa-bisa terpesona kalau seperti ini caranya. Alin tahu terlalu dini untuk mengatakan Nino pria idaman, tapi sungguh ketampanan pria itu, juga cara bicaranya yang ramah, membuat Alin sedikit senang bisa bertemu dengan pria itu. Ditambah lagi, Nino beberapa tahun lebih tua darinya.
"Kalau begitu saya duluan, ya." Nino pun pamit. Sebelum pergi, ia menghampiri tukang sate, "Sona udah bayar, kan?" tanyanya memastikan sekali lagi.
"Sudah, Mas. Terima kasih, ya."
Alin sejenak memperhatikan Nino yang entah sedang membicarakan apa dengan tukang sate itu, sehingga ia yang sebenarnya sudah selesai makan, memilih duduk dulu.
Setelah memperhatikan Nino hingga menghilang di balik gerbang rumah bernomor 20 itu, Alin pun berdiri, bersiap-siap untuk membayar.
"Jadi berapa, Pak?"
"Enggak usah bayar lagi, Mbak," kata tukang sate itu.
Hah? Bayar lagi? Alin bahkan belum membayarnya. Apa jangan-jangan Nino berbicara dengan tukang sate itu untuk membicarakan tentang pesanan yang harus dibayar Alin, lalu pria itu membayarnya?
"Udah dibayarin, kok."
Alin agak terkejut. "Sama siapa? Mas Nino maksudnya?"
"Bukan, tapi Mas Sona."
Hah? Maksud pria judes itu apa? Pencitraan?
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top