Rencana 4 :: Cari Solusi

Dahi seorang gadis seusia Nasya mengerut. Dia menganalisis sekali lagi gambar angka tujuh puluh besar sementara di sampingnya ada sosok anak kecil yang bersandar di angka nolnya. Di bagian bawah tertulis caption di status Instagram sahabatnya itu.

Angka yang disanding usiamu sudah banyak, tetapi jiwa anak kecilmu kembali.

Buru-buru gadis tersebut menyibak rambut keriting panjangnya yang terurai. Dia lantas mengambil posisi duduk bersila. Sebuah guling dia taruh di atas kedua pahanya yang setengah terekspose karena memakai hot pants. Telunjuknya menyentuh simbol video di room chat Whatsapp Nasya.

"Iya, Re?" tanggap Nasya begitu wajah bulat kecil Tere muncul di layar ponselnya.

Mata belo Tere menangkap selimut biru langit tidak tertata di atas ranjang Nasya. Beberapa senti dari kaki ranjang, puring jendela bergerak lemah. Menandakan jendela kamar itu terbuka hingga menyilakan angin malam meniupnya. Sementara itu, gordennya masih terikat rapi ke salah satu sisi jendela. Dia bisa melihat itu semua karena Nasya tengah duduk di kursi belajar seraya memegang ponsel dengan posisi yang bisa memperlihatkan semua hal tersebut.

Tere mencebik karena sadar itu adalah kebiasaan Nasya jika sedang gerah hati atau murung. Nasya pernah mengaku padanya jika melakukan hal tersebut—membuka jendela hingga membiarkan angin masuk—dapat membawa ketenangan. Nasya jadi bisa lebih jernih dalam berpikir.

"Heh! Kenapa lo? Oma kali ini bertingkah apa lagi?"

Dengan wajah masih bad mood, Nasya menjawab, "Ya yang tadi sore gue chat, Oma kabur." Dia mengingatkan kembali percakapan mereka tentang Nasya yang panik karena Meutia tidak biasanya pergi seperti hari ini.

"Terus sampai nyaris tengah malam begini belum balik?" tuntut Tere yang sangat penasaran. Baginya, setiap perbuatan Meutia yang membuat Nasya atau serumah kalang kabut justru menarik untuk didengar.

"Udah, tapi yaaa gitu; Papa ngomelin Oma, Oma nggak terima, terus akhirnya ngambek," jelas Nasya sebelum bangkit dari kursi dan merebahkan diri di ranjang. Membuat tampilan layar dirinya bersama background seprei biru langit polkadot putih.

"Repot deh urusannya," keluh Tere dengan setengah meledek.

Sebagai tempat curhat Nasya sejak mereka menjadi teman satu kelas di Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat dari awal perkuliahan, Tere jadi tahu betul jika Meutia menjadi mogok makan dan mogok bicara jika sudah seperti ini. Biasanya, hal yang Nasya dan keluarga sahabatnya itu lakukan adalah membujuk dengan cara mengajak Meutia jalan-jalan. Untungnya, tidak perlu jauh-jauh. Cukup ajak sang oma belanja, makan, atau menonton di bioskop. Kini hal itulah yang coba dirinya sarankan pada Nasya.

"Iya, seandainya bisa begitu," celetuk Nasya tanpa minat.

Dahi Tere mengerut. "Maksud lo?"

"Teresia Ester anaknya Bapak Daniel dan Ibu Triana, denger!" Nasya menyorot tegas dan serius pada lawan bicaranya. "Lo belum tahu, kan, Oma seharian tadi perginya ke mana?"

Tere menggeleng.

"Ya udah, makanya gue kasih tahu dulu nih."

"Ya udah, buruan!" sembur Tere karena merasa nada bicara Nasya barusan setengah mengegas. "Lo mah bertele-tele."

"Ya bukannya begitu, Markonah. Gue tadi belum sempat cerita panjang lebar, tapi lo udah kasih saran duluan." Nasya coba membela diri.

"Ya, ya." Tere mengangguk dan memejamkan mata saat menyahut. Dia kemudian kembali menatap penuh tanya pada Nasya. "Jadi, Oma tadi dari mana aja?"

"Oma jalan-jalan sama temannya ke mal, bioskop, beli hape baru, dan makan-makan," terang Nasya.

Meskipun Meutia tidak menceritakannya, tetapi Nasya tahu. Sebelum membuat feed Instagram tadi, dirinya melihat posting-an Meutia. Di sana ada beberapa foto keseruan sang oma dengan keempat temannya. Dari membaca caption berisi tiga paragraf cukup panjang, sangat jelas apa yang Meutia kerjakan selama kabur tadi.

Bahu Tere melorot. Pandangannya pun melemah. "Yaah, saran gue percuma dong."

"Yep!" Nasya mengangguk mantap. Seolah menegaskan kembali bahwa ucapan sahabatnya itu benar.

Mereka masih terus video call hingga penunjuk waktu berada di pukul 23.55 WIB. Nyaris tengah malam dan mereka masih seru membicarakan tingkah Meutia hari ini. Hanya sesekali mereka mengobrolkan hal lain yang pada akhirnya kembali pada topik tersebut.

Sebelum menutup panggilan, Tere mencetuskan sebuah ide. Nasya menilai usulannya tidak buruk. Maka dari itu, Nasya akan coba bicara dengan Meutia.

***&***

Sejak mendengar ide brilian Tere, Nasya tampak riang. Dia optimis bisa membuat mood omanya bagus kembali. Senyum bertengger manis di bibir pink pucatnya. Tinggal beberapa langkah dirinya sampai di depan kamar Meutia saat perempuan sepuh tersebut muncul dari dalam kamar.

"Omaaa!" sapa Meutia dengan ceria dan tersenyum. Dia mengangkat tangan kanan ke udara. Namun, bibirnya menjadi lurus saat menyadari air muka Meutia nampak keruh.

Perempuan tersebut berjalan menghampiri Nasya. Ponsel barunya berada di genggaman dengan layar yang masih menyala.

"Kamu ngejek Oma?" Indra penglihatan di balik kacamata itu terlihat berkaca-kaca.

Nasya bingung untuk sesaat sebelum akhirnya meringis dalam hati. Dia mengeluarkan umpatan di dalam hati atas kebodohannya sendiri. Dengan menatap lemah Meutia, dirinya berujar, "Ih, apaan Oma?"

"Iya, kamu ngejek Oma di Instagram, kan?"

"Ooh, itu ...." Nasya menggantungkan ucapan. Dia menggulirkan bola mata ke sembarang arah untuk menghindari tatapan intimidasi omanya. Bisa bahaya jika dirinya tidak bisa mengelak tuduhan itu.

Mata Meutia menyipit curiga.

"Ah, itu!" seru Nasya sembari menjentikkan jari dan mengulas senyum untuk menutupi gugup. Dia membuat matanya seolah bersinar terang setelah ada ide cemerlang yang terlintas. "Aku dapat tugas promkes dari dosen, Oma. Kami disuruh bikin banner tentang lansia. Karena aku langsung ingatnya sama Oma, jadinya ya ... gitu deh."

Meutia tidak serta merta percaya. Dia membuka mulut, siap mengeluarkan tanggapan. Namun, suaranya tertahan di tenggorokan karena keduluan ucapan susulan sang cucu.

"Ih!" Nasya menggandeng lengan atas Meutia dengan cepat dan membawanya kembali ke kamar. Seraya mendekati ranjang, Nasya berkata, "Oma kan bukan anak kecil. Oma itu lincah dan gaul. Banyak, lho, teman-temanku yang muji Oma karena masih energik."

Mendengar kata-kata yang mendongkrak mood, Meutia tidak jadi mengomel. Dia justru menarik kedua bibir ke atas. Dia seperti terombang-ambing dengan lembut di atas awan setelah mendengar penuturan  gadis itu.

Mereka menduduki seprei cokelat dengan motif batik yang terukir di keempat sisi pinggirnya. Nasya menaikkan satu kaki ke atas kasur. Dia juga menghadapkan badan ke Meutia.

"Oma, masih mau jalan-jalan nggak?" tanya Nasya dengan semangat.

Cahaya seterang kerlip bintang langsung muncul di mata Meutia. Dia sudah pasti langsung memekik girang jika saja ego tidak segera bertindak. Wajahnya yang sempat bersinar pun berubah redup. Dengan berakting pura-pura tidak tertarik, dia balik bertanya, "Ke mana? Kalau ke mal, Oma ogah. Udah bosan."

***&***

May, 4 2021; 01.31 PM

Thank you so much,
Fiieureka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top