Rencana 2 :: Hari Bebas
"Gue kangen banget sama mereka semua. Lo bisa bantu cariin mereka buat gue? Gue pengin banget ketemu mereka semua sebelum gue meninggal." Air mata Meutia kembali berderai. Pandangannya kini tertuju pada Nori, sahabatnya sejak SMA.
Suara perempuan berbaju blouse bentuk kerah V warna hijau pastel yang dipadu celana kulot putih itu tembus hingga ke meja kanan-kiri. Membuatnya menarik perhatian beberapa pasang mata di restoran dengan menu Jepang ini. Nori dan tiga orang lainnya yang ikut bersama Meutia pun sadar akan hal itu. Saat ini mereka tengah berada di sebuah pusat perbelanjaan besar di Jakarta.
"Ya ampun, Mut! Elu mau sampai kapan ngoceh kayak begitu terus? Emang kagak capek lu, ye?" tanggap Nori dengan logat Betawi tulennya. Sejak zaman mereka sekolah, Nori bahkan punya julukan Nona Betawi. Terlebih lagi dia jago silat. Maklum, babe-nya punya padepokan silat yang cukup besar.
Meutia menarik selembar tisu yang memang tersedia di meja. Dia mengelap hidungnya yang terasa kurang nyaman karena masih basah oleh sisa ingus. Setelah merasa lega, dia menatap Nori dengan penuh harap sekaligus sedih. "Nor, emang kamu nggak sedih?"
Perempuan yang sebaya dengan Meutia itu menunjuk matanya yang agak belo. "Nih, lihat! Ni mate masih bengep," ujarnya.
"Banyak adegan yang bikin haru, ya?" Meutia minta persetujuan atas opininya pada Nori dan Alma, adik kelas mereka sekaligus tetangga Nori beda blok. Salah satu dialog menyentuh dalam film Bebas yang baru mereka tonton adalah yang tadi dirinya kutip.
"Jeng, kamu tuh terlalu menghayati, tahu? Aku sedih, tapi nggak sampai mewek juga kali," tanggap perempuan yang duduk di hadapan Meutia dan Nori.
Nori menepuk lengan kiri Meutia seraya berkata, "Udeh, ih! Elu jangan malu-maluin kite. Dikira elu yang sekarat entar." Dia menyapu sekitar ruang restoran yang terasa hangat karena pancaran lampu-lampu berwarna kuning. Furnitur bercat beige dan cokelat muda membuat suasana makin hangat dan cozy.
"Tapi bener deh, aku pengin kita bisa reuni. Umur kan nggak ada yang tahu." Meutia mengutarakan keinginannya setelah menaruh tisu kotor di atas meja. Dia kemudian menyedot jus sirsaknya. "Kan nyesek tahu-tahu sahabat kita divonis umurnya tinggal dua bulan lagi kayak si Kris itu."
Belum sempat menanggapi ucapan sahabatnya, pesanan makanan mereka datang; 2 porsi sukiyaki, 2 porsi tempura, 5 mangkuk chicken curry ramen, dan 2 porsi sashimi sushi.
"Eh, habis makan, kita jadi ke kafe sebelah?"
Jadi dong. Kata cucuku, itu kafe punya menu kopi yang legit. Makanya, aku ajak kalian buat ke sini sekalian nemenin aku kabur," terang Meutia dengan penuh kemantapan.
"Jeng, kamu tuh beneran nekat," celetuk seorang teman Meutia sembari membantu pelayan mendistribusikan hidangan sesuai dengan pesanan masing-masing.
Meutia mengibaskan tangan kanan, lalu berkata, "Biarin aja."
Mereka terus mengobrol ringan hingga semua hidangan dan tertata rapi. Meutia pun menyalakan ponsel yang baru dibelinya kurang dari 3 jam lalu di mal ini. Gawai yang tentunya lebih canggih daripada yang ada di rumah. Keunggulan yang ada di bagian kamera adalah incarannya.
"Eh, stop!" Tangan kiri Meutia yang bebas terulur ke depan. Tepatnya di dua temannya yang sudah akan menyantap menu tersebut. "Jangan dimakan dulu! Mau aku foto. Kita juga selfie dululah!"
Mereka tidak ada yang keberatan. Pasalnya, mereka sudah sangat paham dengan jiwa narsis Meutia. Kelima orang itu pun mengambil berbagai macam pose dengan heboh karena sampai pindah-pindah tempat duduk.
Di tengah-tengah keseruan itu, beberapa pasang mata memperhatikannya. Mungkin, para pengunjung lain berpikir jika mereka tidak ingat umur karena bertingkah layaknya anak muda.
Meutia yang biasa dengan tatapan seperti itu cuek. Dia tidak mau memusingkan apa kata orang. Toh yang dilakukannya tidak merugikan siapa-siapa. Terlebih lagi, dia ingin memanfaatkan kebersamaan ini dan membingkainya dalam foto. Selama dirinya mampu melakukan berbagai hal, kenapa tidak?
Meutia jadi kembali teringat film tadi. Betul perkataan Vina bahwa mereka adalah tokoh utama, setidaknya untuk diri sendiri. Meutia jadi berpikir untuk menikmati hidup, memperlakukan dirinya sebagai tokoh utama terlepas apa pandangan orang tentangnya.
"Jeng, jangan lupa tag, ya! Nanti aku repost." Seorang perempuan yang lebih muda lima tahun darinya mengingatkan.
"Iya, Jeng, jangan lupa buat tag kita-kita semua. Kirimin juga foto-fotonya." Seorang perempuan berpakaian long dress warna putih gading dengan kardigan merah marun lengan panjang menambahkan.
"Siip, nanti aku kirim kalau udah sampai rumah," sahut Meutia enteng, lalu menggeser hasil jepretannya. Beberapa saat melihat, dia berkomentar, "Wiih, ini hape memang the best deh kameranya. Niih, jeng-jeng, cakep fotonya!"
Mereka berebutan untuk melihat karena tidak sabar. Decakan kagum serta pujian atas Meutia yang pandai mengambil angle kamera terdengar.
"Emang kagak salah dulu elu jadi tukang dokumentasi setiap ade kegiatan di kampus," celetuk Nori. Wajah bulatnya memancarkan aura puas.
Meutia tersenyum. Ucapan tersebut menyeret ingatan untuk menyelam ke kehidupannya di sekitar 50 tahun yang lalu. Kalau tidak salah tahun 1969 adalah pertama kalinya dia memiliki sebuah kamera Canon Canonet QL19. Benda yang sangat pertisius itu dia dapatkan dari sang kakek yang merupakan seorang veteran. Kakeknya yang pernah bekerja di sebuah perusahaan jurnalis memberi kamera tersebut sebagai hadiah karena dirinya berhasil masuk ke perguruan tinggi. Benda berlensa warna hitam dipadu silver itu sangat berharga baginya. Banyak kenangan yang tersimpan di sana. Selain itu, dia dapat menangkap objek secara cepat menggunakan kamera tersebut. Sayang, benda itu sudah rusak sekarang.
Setelah puas melihat hasil jepretan, mereka mulai menikmati makanannya. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB saat mereka keluar dari restoran itu. Sebelum pulang, Meutia menarik para temannya untuk jadi ke kafe yang dimaksud tadi.
*&*
"Loh, Papa kok pulang?" Nasya yang berada di ruang keluarga bersama Dava tentu terkejut. Pasalnya, Faisal bilang akan ke Samarinda.
Dia melirik jam Sakana bandul model klasik bin elegan yang tergantung di dinding bercat putih ruangan ini. Jarum pendeknya nyaris berada di angka sembilan. Tidak butuh waktu lama untuk bisa mendengar bunyi lonceng dari jam tersebut. Hal itu kerap membuat Nasya seperti masuk pada cerita romantisme zaman dulu. Jam milik mendiang opanya yang masih sangat terawat dan berfungsi baik.
Faisal menyengir. Dia lupa jika tadi pagi hanya berakting untuk membujuk Meutia agar mau keluar kamar. Seraya mendekati kedua anaknya yang duduk lesehan di karpet rasfur ukuran 200 x 180 senti, dia menyahut, "Sebenarnya, Papa ke Samarindanya besok."
Nasya langsung menyoraki laki-laki berkemeja cokelat muda itu. Jas hitam yang melapisinya tengah Faisal lepas.
"Songong." Dava memukul bibir berbentuk busur gadis tersebut menggunakan map yang tidak ada isinya.
Nasya mencebik, lalu beranjak dari duduk dan menuju dapur.
Faisal menyapu pandangan ke penjuru ruangan. Dia merasakan tidak ada tanda-tanda keberadaan sang mama. Di meja kaca di mana Nasya dan Dava berkutat dengan laptop pun tidak ada ponsel atau kacamata Meutia. "Omamu belum pulang?" tanyanya untuk mempertegas dugaan.
"Belum, Pa. Nasya tadi habis magrib udah panik lagi. Aku WA Oma Nori juga nggak dijawab-jawab dari sore," jawab Dava tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop yang menampilkan sebuah jurnal.
Faisal mengempaskan punggung ke sandaran sofa. "Ya ampun, kabur ke mana lagi, sih, omamu itu?"
Beberapa saat kemudian, Nasya muncul dengan membawa segelas besar teh manis hangat untuk Faisal. Seraya meletakkan minuman itu ke sisi meja yang legang, dia menyahut, "Papa izinin Oma ikut acara ibu-ibu PKK aja deh. Daripada terus ngambek dan kabur-kaburan begini."
"Nggak usah khawatir! Nanti Oma juga pulang," tanggap Faisal nampak tidak acuh, padahal hatinya juga waswas.
Nasya yang baru akan duduk kembali di sisi kanan Dava jadi urung karena mendengar kalimat tersebut. Lututnya yang sudah setengah menekuk pun lurus kembali. Mata cokelat gelapnya menatap tajam serta kecewa pada sang papa yang akan mengambil gelas itu. "Pa!"
Suaranya yang sedikit naik membuat Faisal berhenti bergerak. Dia mendongak dan menatap mimik wajah putrinya.
"Terakhir Papa bilang begitu pas Mama pergi, Mama pulang, tapi nyawanya pergi." Seperti ada sumbatan di tenggorokan Nasya saat mengatakannya. Tanpa menunggu respons Faisal, dia berlari ke kamarnya dengan mata yang memanas.
Faisal terpaku mendengarpenuturan tersebut. Dia baru sadar atas kata-kata yang keluar dari bibirnya. Sementaraitu, Dava menilik wajah sesal sang papa sebelum akhirnya menyusul Nasya kekamar.
***&***
Alohaa? Gimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu, yaaa.
Nah, yang lagi puasa, mon maap nih karena ada penampakan menu-menu menggiurkan. Yang lagi puasa, jangan ngiler, ya! Hihiii
Terima kasih yang sudah berkenan baca. Semoga betah sampai tamat nanti. :-))
Ramadan 5th; 10.17 PM; April, 17 2021
Big Hug,
Fiieureka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top