Rencana 1 :: Panik
Seorang gadis berusia 21 tahun berlari cepat menaiki tangga. Dia menuju sebuah kamar berpintu putih dengan tergesa. Sambil mengetuk pintu menggunakan telapak tangan dengan cepat, dia berseru, "Pa, Papa! Papaa, Oma nggak mau keluar--" Dia langsung menghentikan gerak tangan dan bibirnya terkatup.
"Duh!" keluh seorang laki-laki yang membukakan pintu. Dadanya menjadi target salah sasaran tangan Nasya yang terus mengetuk. Alis hitamnya yang lebat bagai ulat nyaris menyatu karena dahi mengerut. "Ada apa, sih?"
"Minggir!" Nasya tidak memedulikan sang kakak. Dia mendorong dada Dava dengan lengan kanan dan menerobos masuk kamar papa mereka.
Tanpa menutup pintu, Dava mengekor. Dengan santai, dia menatap gelagat Nasya berjalan gegas ke arah sang papa yang sedang berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka.
Nasya melihat ada beberapa potong pakaian di kasur king size berlinen abu tua milik Faisal. Sebagian besar adalah baju formal. Selain itu, ada juga koper President berukuran 18 inchi yang terbuka. Di dalamnya sudah terisi beberapa potong pakaian. Meskipun penasaran papanya akan pergi ke mana kali ini, dia tidak bertanya.
Alih-alih memecahkan rasa penasaran itu, Nasya yang wajahnya sudah panik sejak beberapa waktu lalu berdiri di samping Faisal. "Pa! Dari semalam pas kita ngobrol itu, Oma nggak keluar-keluar dari kamar."
Cekalan di lengan atas membuat Faisal berhenti mengeluarkan pakaian dan menatapnya. Mata cembungnya melebar. Dengan gerakan kilat, dia balik badan untuk menaruh sebuah kemeja di atas kasur. Matanya sempat melirik jam tangan formal dengan bahan stainless steel yang ada di pergelangan tangan kiri sebelum kembali menatap Nasya. "Oma ngambek lagi?"
"Iyalah, Pa! Tuh, gara-gara Papa ngomongnya nggak selow! Oma jadi ngambek lagi, kan?" Meskipun sependapat dengan Faisal semalam yang melarang Meutia untuk tidak ikut ke Pulau Seribu, tetapi dia kurang suka dengan cara Faisal menyampaikannya.
Faisal memimpin jalan keluar dari kamar. Kedua anaknya mengikuti.
Saat menuruni tangga kayu bercat putih, Nasya kembali mengoceh, "Papa, sih! Tahu sendiri Oma tuh Ratu Drama, masih aja ngomelnya kayak ngomelin Mas Dava."
Si pemilik nama yang berjalan satu anak tangga lebih lambat dari Nasya pun memberi toyoran di kepala. "Heh! Yang suka banyak tingkah tuh siapa? Nggak sadar diri jadi anak."
Gadis yang memakai baju basket lengan pendek warna putih dengan list ungu di bagian leher itu mengaduh. Dia pun menghentikan gerakan kakinya. Tangan kirinya mengerat pada railing kayu alami sementara kedua mata menatap sang kakak dengan penuh peringatan untuk sesaat. Tidak lupa dia mendesis.
Dava tidak acuh. Dia terus melangkah hingga akhirnya Nasya yang berada di belakang.
Saat mereka sampai di depan kamar terbesar kedua di rumah ini, Faisal mengetuk dengan pelan. "Ma, Mama udah sarapan belum? Ini udah jam delapan lebih."
Mereka menunggu jawaban sampai lima hitungan. Namun, tidak kunjung ada sahutan dari dalam sana.
Kembali laki-laki itu mencoba komunikasi. "Maa, aku mau segera berangkat ke Samarinda buat seminar. Pulangnya lima hari lagi. Mama nggak mau nganterin?"
"Ih, Papa!" gerutu Nasya seraya menepuk punggung Faisal. Bukannya membujuk, sang papa malah minta perhatian.
Faisal menoleh ke belakang dan membenarkan posisi kacamata bulat silvernya. "Ini kan bagian dari rencana, Sya," tanggapnya.
Nasya memonyongkan bibir, lalu berdiri di samping papanya. Dia mengambil alih usaha merayu Faisal dengan mengetuk pintu menggunakan punggung tangan. "Omaa, spadaa, yuhuu? Omaa, makan, yuk! Aku belum sarapan karena nungguin Oma nih. Kalau maag aku kambuh gegara kelamaan nungguin Oma gimana?" ocehnya. "Oma, Oma, Omaaa?"
Melihat aksi dua manusia di depannya, Dava menghela napas pasrah seraya menggeleng pelan. Mereka itu tidak ada bedanya. Memang susah, sih, kalau sudah keturunan. Untung masih ada dirinya yang menuruni kewarasan mendiang sang mama.
Laki-laki berkaus hitam polos pas badan itu sudah akan meminta papa dan adiknya untuk mundur saat muncul suara musik bervolume tinggi dari dalam sana. Fix, ini pertanda bahwa Meutia tidak mau mendengarkan mereka.
*&*
"Assalamualaikum, Omaaa?" Nasya langsung memberi salam begitu masuk rumah meskipun gelagatnya bak orang mengajak bertengkar.
Tanpa cuci tangan dan kaki dulu, dia melesat ke kamar Meutia. Saat melemparkan tas di sofa ruang keluarga yang sejalan dengan arah ke tempat tujuan, dia melihat Mbok Siti sedang menyapu.
"Mbak, Oma nggak ada di rumah," lapor perempuan berdaster batik lengan panjang. Rambutnya yang sudah mulai memutih tertutup oleh kerudung bergo cokelat polos.
"Hah?" Nasya urung menuju kamar Meutia. "Ke mana?"
ART itu mengendikkan kedua bahu. "Jam dua saya ke sini sudah kosong, Mbak."
"Mas Dava mana?" Dia bertanya karena sudah melihat mobil milik laki-laki tersebut ada di garasi saat dirinya memasukkan motor.
"Ada. Kayaknya tidur, Mbak. Sekitar setengah jam lalu pulangnya," sahut Mbok Siti.
Nasya mengacungkan jempol ke arah perempuan tersebut. Dia suka dengan Mbok Siti karena selalu memberi laporan lengkap tanpa perlu diminta atau ditanya lebih lanjut. Setelahnya, dia bergegas ke kamar sang oma. Dia masuk dan mendapati ponsel perempuan berusia tujuh puluh tahun itu tergeletak di meja rias.
Tanpa pikir panjang, Nasya keluar kamar dan menaiki tangga. Dia begitu saja masuk ke kamar bercat putih dengan furnitur serba hitam milik Dava. Dia sedikit meloncat ke kasur di mana kakaknya yang kini sudah menjadi dosen fakultas Teknik tertidur pulas. Kemeja lengan panjang dan celana semijin hitam masih melekat di badan.
"Mas, Mas Dava!" Nasya mengguncang lengan laki-laki itu dengan kuat. Pasalnya, Dava itu tipe orang yang tidurnya kebo. Terlebih lagi jika sedang kelelahan.
Tidak sabar dengan Dava yang hanya bergerak ganti posisi menjadi telentang. Nasya mengurai rambutnya yang dikuncir kuda. Tangan kanannya mengambil sedikit helaian rambut dengan memegangnya agak ke ujung. Dia menyapu ujung rambut hitamnya ke lubang hidung sang kakak sambil mulut yang terus bergerak menyuruh Dava untuk bangun.
Seperti biasa, usaha seperti itu manjur. Tidak butuh waktu lama, Dava melek seraya mengomel karena ulah sang adik. Dia itu paling benci digelitiki.
Nasya tergelak dengan puas untuk sesaat, lalu memasang wajah serius serta cemas.
Di balik rambut panjangnya yang acak-acakan hingga menutupi mata, Dava menatap Nasya. Dia sekarang sudah ada di posisi duduk. "Kenapa?" tanyanya lirih.
Bukannya segera menjawab, Nasya justru jadi fokus pada rambut orang di hadapannya itu. "Ih, ini poni dipotong kek! Udah panjang begini," keluhnya seraya menyugar dan sedikit menarik bagian rambut yang dimaksud.
Dava menepis tangan itu, lalu merapikan rambutnya secara manual.
"Mas, Oma nggak ada di rumah. Dia pamit ke Mas nggak?"
Dava menggeleng.
"Pamit ke Papa nggak?"
"Bentar!" Dava menggeser tubuh untuk meraih ponsel yang ada di nakas. Dia membuka WhatsApp untuk mengecek pesan masuk. Faisal sudah membalasnya. "Nggak pamit juga ke Papa."
Tadi saat pulang dan tahu Meutia pergi, dia sempat menelepon sang oma. Namun, nomor yang dituju sedang tidak aktif. Dia pun beralih menelepon Faisal saja karena Nasya pasti akan cemas, tetapi tidak mendapat respons juga. Alhasil dirinya bertanya lewat pesan. Karena mengantuk dan belum mendapat balasan juga, dia akhirnya tertidur.
Nasya melihat isi pesan yang ditunjukkan Dava. "Terus Oma ini ke mana? Nggak biasanya Oma pergi tanpa bawa ponsel, kaaan?" tanyanya cemas.
Mata Dava melebar. "Yakin kamu?"
Nasya mengangguk. "Mas, jangan-jangan ... Oma mulai demensia!" pekiknya dengan netra yang sudah hampir meneteskan cairan bening. "Oma kan udah sepuh, Mas."
***&***
Yeaaay! Akhirnya part 1 udah bisa kalian baca. Gimana untuk bagian pembuka cerita ini?
Hmm, kira-kira Oma Meutia benaran demensia atau nggak, ya?
2nd Ramadan; April, 14 2021; 12.16 P.M
Thanks for your apreciation,
Fii
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top