Chapter 8 - Dan Dia Kembali

Damar benar-benar tega padaku. Seperti katanya yang tak akan mengikutsertakanku pada syuting di Bali kali ini. Dia dan rombongan dari Kharisma benar-benar pergi tanpaku. Dan seperti yang sudah kukatakan pada Damar pula, bahwa selama dia ada di Bali, maka selama itu pula aku tak akan hadir di kantor. Biarkan saja dia mengamuk. Aku tak peduli. Semakin dia mengamuk mungkin semakin cepat pula ia akan memecatku. Dan yang kini kulakukan saat meliburkan diri sendiri hanyalah bersemedi di dalam rumah. Walau pun rasanya membosankan. Karena yang kukerjakan di rumah hanya makan, tidur, mandi dan bersih-bersih rumah. Sudah seperti sapi perah saja aku. Mungkin saat aku menimbang berat badan aku akan terkejut karena jarum timbangan yang berat ke kanan.

Selama meliburkan diri juga aku tak menjawab segala akses dari Damar. Pernah kucoba mengintip pesan yang dikirimkannya padaku, dan aku cukup terkejut karena dari pesan pun dia bisa terlihat begitu menakutkan. Damar memang tak menggunakan kalimat kasar pada pesannya. Tapi tetap saja capslock yang berjejer dan puluhan emoticon berbentuk iblis mengamuk cukup membuat nyaliku ciut untuk membuka pesannya. Maka dari itu, demi menjaga kesehatan jantungku aku memblokir nomor Damar sementara waktu.

Namun seharian mendekam di dalam rumah ternyata membosankan juga. Karena itulah di hari kedua libur sendiri aku memutuskan untuk ke luar. Pergi ke manapun yang bisa membuat penatku hilang. Inginnya ke luar kota menikmati hawa dingin di puncak. Namun pergi seorang diri ke sana rasanya terlalu beresiko. Jadi yang bisa kulakukan hanya berkeliling menikmati hembusan pendingin ruangan mal. Makan siang sendirian. Dan menyusuri toko-toko yang berjejer rapi. Sudah seperti tokoh di drama saja memang diriku. 

Perhatianku teralih saat mendengar suara merdu seseorang di lantai bawah. Mataku menyipit ke panggung yang ada di lantai bawah sana. Seorang pria tengah menyanyikan lagu yang tak asing kudengar. Bahkan suara pria yang menyanyikannya pun serasa tak asing di telingaku. Tanpa pikir panjang, aku segera turun ke bawah untuk melihat siapa penyanyi tersebut. Saat mendekat ke sisi panggung, mataku melebar.

Itu dia. Seseorang di masa lalu yang membuatku merasakan namanya jatuh cinta. Seseorang yang membuat jantungku berdegup kencang hanya dengan memandang wajahnya. Seseorang yang membuatku merasakan getaran cinta masa remaja. Seseorang yang membuatku bisa tersenyum tolol sepanjang hari hanya karena berpapasan dengannya. Seseorang yang... ah! Tolong, kenapa aku jadi bersikap melankolis layaknya artis drama begini?

Mataku masih terpaku ke atas panggung. Hingga suara seorang pria yang kutangkap sebagai pemandu acara meminta seseorang untuk naik ke atas panggung. Bunyi kasak-kusuk terdengar di sekitarku. Hingga aku juga ikut menoleh ke kanan-kiri demi melihat siapa orang yang diminta naik ke atas panggung. Sampai mataku menangkap gerakan dari si pemandu acara ke arahku.

“Saya?” tanyaku menunjuk diri sendiri. Si pemandu mengangguk seraya menggerakkan tangannya makin intens. Memintaku untuk naik.

Seperti orang bodoh yang terkena mantra, tanpa menolak aku melakukan perintah. Naik ke atas panggung. Berdiri bersebelahan dengan si pemandu acara dan pria dari masa lalu. Oh, lupakan. Dia bukan pria masa lalu karena nyatanya kami tak memiliki kisah bersama di masa lalu. Dia hanya pria yang menjadi satu dari kenangan tolol masa remajaku. Mengapa kukatakan tolol? Karena nyatanya aku jatuh cinta pada pria berkedok pangeran tampan yang gemar mempermainkan hati perempuan. Buang masa lalu ke tempat sampah, itu motoku. Namun nyatanya saat aku bersisian dengannya, jantungku berdegup. Dasar jantung soak, hanya pose begini saja dia sudah menunjukkan sikap kampungannya? Perlukah aku menggantinya dengan buatan Cina?

“Siap nama Mbak?” tanya si pemandu acara padaku seraya menyodorkan mikrofon ke depan bibirku.

“Dayu, Handayu.”

Saat aku menyebutkan namaku, bisa kulihat mata pria masa lalu itu melebar. Seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Jangan bilang bahwa pria ini mengingatku. Tapi mana mungkin. Selama masa putih abu-abu aku hanya mampu menjadi pengagum dari jauh yang hanya bisa memandang bodoh pada pangeran berkuda besi. Bukan perempuan berani yang terang-terangan menyatakan perasaannya pada lelaki yang disukai. Ya, itulah Handayu masa putih abu-abu. Aku tak seberani saat ini. Dulu aku adalah anak manis yang bahkan tak banyak bertindak. Berbeda dengan Danika yang justru sekarang jadi perempuan yang terlalu takut bertindak.

“Baiklah Mbak Dayu. Di sini saya akan mengajak mbak bermain ya. Hadiahnya lumayan loh, bingkisan paket dari brand kosmetik penyelenggara acara. Bagaimana?”

Aku berpikir sejenak. Sejujurnya aku bukan seperti perempuan kebanyakan yang begitu mementingkan penampilan. Namun tidak munafik juga bahwa aku juga perlu berdandan untuk menunjang penampilanku. Terutama dengan jabatanku yang sekarang. Aku adalah sekretaris. Otomatis aku adalah wajah pertama dari Kharisma advertising terutama untuk Damar selaku pimpinan tertinggi. Karena itu bagaimanapun aku butuh kosmetik walau belum tentu akan kugunakan.

“Oke.”

“Oke!” si pembawa acara berteriak heboh. Kemudian pria itu mencari beberapa orang lagi untuk menjadi peserta.

Selama menunggu, aku hanya berdiam diri bersama pria masa laluku. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Ingin menyapa namun aku ragu. Sudah seperti lirik lagu lawas saja memang. Dan akhirnya yang bisa kami lakukan hanya diam dan menunggu.

“Kamu... pernah sekolah di SMA Taman Pertiwi?” akhirnya dia bersuara. Refleks aku menoleh padanya dan mengangguk. Lalu kami berdiam lagi.

“Angkatan berapa?” tanyanya lagi yang kujawab dengan pelan. Semoga dia tak mendengar. Namun ternyata pendengarannya cukup tajam karena kemudian dia berucap girang. “Kita satu angkatan.”

Aku hanya tersenyum simpul. Tentu saja kita satu angkatan. Karena dia adalah salah satu bagian kecil dari hidup Handayu Wenika di masa putih abu-abu. Walau biasanya aku gampang melupakan orang lain. Tapi tidak untuk pria satu ini. Karena pria ini salah satu yang pernah membuatku menangis tolol karena cinta tak berbalas saat itu. Jika cinta dalam diam bisa disebut tak berbalas. Karena yang jelas aku tak pernah berani mengutarakan perasaanku padanya.

“Andra.” Ia mengulurkan tangannya padaku.

Aku terkejut. Sungguh. Rasanya seperti mimpi saat pria bernama Andra Moreno ini mengulurkan tangannya padaku. Andai dulu di masa silam dia juga mengulurkan tangannya seperti ini padaku, aku pasti dengan senang hati membalas uluran tangannya. Namun kali ini, rasa cinta itu sudah tak berpendar lagi. Aku masih mengagumi Andra, hanya saja sebatas fisiknya yang tak pernah berubah. Dia tetap tampan. Dengan aura yang membuat para gadis tak bisa memalingkan wajah dari keindahan fisiknya. Namun ya, aku bukan lagi gadis naif yang akan berpatokan pada wajah dan keindahan fisik semata dalam menilai seorang pria saat ini. Aku lebih mengedepankan logika dan visi misi dalam mencari pendamping masa depan.

Neh, seperti Andra mau saja membangun masa depan denganku.

“Handayu.” Aku mengulurkan tanganku menjabat tangan Andra.

Entah apa yang terjadi tapi rasanya kami seperti dua orang tokoh dalam film yang slaing memandang dengan tangan saling berjabatan. Seolah ada musik pengiring di sekeliling kami. Jika ini mimpi tolong segera bangunkan aku agar jangan terlena terlalu lama. Dan sepertinya Tuhan mengabulkan keinginanku karena tiba-tiba saja peserta lainnya telah naik ke atas panggung.

...


Tuhan selalu punya kejutan yang tak pernah manusia bayangkan. Seperti kejutan yang menghampiriku saat ini. Kembali aku dipertemukan dengan Andra. Setelah acara di mal dua hari yang lalu. Damar Kharisma, jangan ditanya. Lupakan saja Bos menyebalkan itu. Dia masih berada di Bali untuk dua hari ke depan. Jadi aku masih memiliki waktu bebas. Sebelum di eksekusi olehnya.

Aku dan Andra tak sengaja berjumpa kembali di Sushi Me saat jam makan siang. Entah takdir apa ini, tapi pertemuan kali ini seakan mendekatkan kami. Terlebih Andra yang ternyata mengingat Danika. Kuakui saat masa SMA, Danika itu satu dari sekian anak populer di sekolah. Gadis itu cantik, pintar dan pastinya punya prestasi bagus di bidang olahraga. Danika adalah salah satu atlet basket putri andalan sekolah. Jadi wajar saja jika Andra mengingat Danika dengan baik. Berbeda sekali denganku yang bukan siapa-siapa dan biasanya hanya menjadi bayangan Danika. Iya, tak semua cerita drama itu nyata adanya. Di mana tokoh pendamping yang berteman dekat dengan si tokoh populer akan ikut populer juga. Karena aku dan Danika tak begitu. Kami bersahabat. Tapi tetap memiliki dunia masing-masing di masa remaja kami.

“Mau menu spesial hari ini?” tawar Danika padaku dan Andra. Kami berdua mengangguk. “Oke,  tunggu sebentar ya.”

Danika dengan sigap segera menuju dapur untuk memproses pesanan kami. Sejak tadi aku tak henti memandangi Danika. Sejak kejadian tempo lalu di mana Danika menangis karena ajakan Ibra, sahabatku itu mulai kembali ceria. Entah apa hasil dari pembicaraan mereka. Namun yang pasti aku senang melihat Danika yang sudah tak gundah lagi.

“Kamu dan Danika itu dekat banget ya?” suara Andra membuyarkan pikiranku.

“Hah? Apa?”

Andra tersenyum kecil. “Kamu dan Danika, sepertinya dekat sekali.”

“Oh iya. Aku dan Danika kan udah sahabatan sejak SMP. Jadi kita udah kayak soulsister banget. Ditambah lagi aku sama Danika sama-sama anak tunggal. Jadi kami tahu banget rasanya sendiri. Karena itu kita bisa melengkapi satu sama lain,” jelasku panjang lebar. Andra kembali menampilkan senyumnya membuatku salah tingkah. 

Wow, penjelasan yang panjang sekali Dayu. Bahkan Andra tak butuh itu. Dia hanya bertanya singkat, tapi aku memberikan jawaban sepanjang esai ujian. Luar biasa!

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berusaha menormalkan sikap canggungku yang muncul tiba-tiba karena aku yang terlalu banyak bicara. Aku heran dengan diriku sendiri. Entah sejak kapan aku jadi pribadi yang cerewet seperti ini. Padahal dulu aku adalah pribadi yang tak banyak bicara. Mengapa sekarang mulutku laksana keran bocor yang tak bisa berhenti?

“Kalau boleh tahu, kamu kerja di mana Yu?” akhirnya Andra melemparkan pertanyaan untuk mengakhiri sesi canggung satu sama lain.

“Kharisma Advertising.”

“Wow. Kamu orang iklan?” tanya Andra lagi yang kujawab dengan gelengan. “Lalu?”

“Sekretaris yang punya.”

“Ehm. Enak dong kerjanya.”

Aku melotot pada Andra. “Enak darimana? Jadi sekretaris Damar Kharisma itu sama aja kayak di neraka!”

Andra tertawa kecil. Entah apa yang pria ini tertawakan. Namun saat tangannya mengacak puncak kepalaku, aku langsung menyingkirkannya. Enak saja main pegang-pegang. Memangnya aku ini apa?

“Janga pegang-pegang,” keluhku. Namun Andra sama sekali tak tampak tersinggung.

“Kamu lucu ya ternyata.”

“Aku bukan badut kalau kamu tahu!” dengkusku seraya melipat kedua tangan di depan dada. Lagi-lagi Andra tertawa. Apa yang lucu sih?

Kami kembali melanjutkan perbincangan hingga Danika datang membawakan pesanan kami. Setelah mengucapkan terima kasih, kami mulai menyantap nasi kari dan sajian sushi yang dihidangkan Danika. Selama makan, tak ada satupun dari kami yang bersuara. Hingga semua hidangan sudah masuk ke dalam pencernaan masing-masing.

“Biar aku yang traktir,” ucap Andra kala aku meminta bill pada rekan kerja Danika yang lain.

Aku sempat terperangah. Tak menyangka jika seorang Andra Moreno bisa semurah hati ini. Namun di sisi lain aku merasa sangat bersyukur karena bisa makan siang gratis. Hah, jiwa gratisan memang tak pernah bisa dipisahkan dari manusia.

“Kapan-kapan kita bisa keluar bareng kan, Yu?” tanya Andra sebelum berpamitan. Pria itu memang harus kembali ke kantornya.

Andra sendiri bekerja sebagai seorang arsitek di kantor biro arsitektur yang dimiliki keluarganya. Walau memiliki wewenang tapi pria ini tak ingin bersikap seenaknya. Bagaimanapun Andra tetaplah seorang pegawai walau perusahaan itu milik keluarganya. Dan dia ingin bersikap profesional layaknya pegawai lainnya.

“Oke. Lain kali aku yang traktir deh. Tapi jangan mahal-mahal ya?” candaku. Walau sebenarnya itu adalah kebenaran hakiki.

Bagaimana mungkin aku bisa mentraktir Andra jika rekeningku saja dalam mode waspada. Siapa yang tahu saat Damar kembali dari Bali dia mengamuk dan sadar untuk tak mempertahankan sekretaris bebas sepertiku yang bisanya hanya membantah perintah Damar. Kalau sudah begitu, aku kan harus memiliki finansial yang cukup selama masa berburu pekerjaan kembali.

Mungkin satu jam lebih aku berada di Sushi Me sejak acara makan siangku dan Andra selesai. Rasanya malas saja untuk melangkahkan kaki dari restoran ini. Selain bisa ngadem, aku juga bisa memanfaatkan wifi gratis yang tersedia di sini. Biar saja dicap pelanggan tak bermodal. Bukankah tadi aku juga makan siang di sini. Walau bukan aku yang membayar, tetap saja statusku pelanggan kan. 

“Butuh sesuatu yang lain?”  Danika tiba-tiba menghampiriku.

“Ehm.. shift kamu masih lama ya?”

Danika melihat pergelangan tangannya, lantas mengangguk. “Sampai jam lima sore nanti, Yu.”

“Aku bosan di rumah juga. Ke mana ya enaknya?”

“Ke kantor? Kan enak, nggak ada Bos kamu juga.”

Saran Danika yang langsung kutolak mentah-mentah. “Ogah!”

“Ya udah kalau gitu tungguin aja sampai aku kelar.”

Bibirku mencebik. Ya kali aku harus duduk seperti orang bodoh selama tiga jam di tempat ini menunggu jam kerja Danika selesai. Bisa mati bosan aku. Di tambah lagi pasti para rekan kerja Danika yang lain mungkin akan mencibir kelakuanku. Mentang-mentang Danika adalah pegawai spesial di sini, bukan berarti aku bisa seenaknya kan. Walau Ibra juga sama sekali tak keberatan dengan keberadaanku.

“Aku pulang aja deh,” putusku akhirnya.

“Nanti malam aku nginap di rumah kamu ya,” pinta Danika.

Aku mengangguk. Jika Danika sudah meminta menginap mungkin ada yang ingin Danika sampaikan padaku. Mungkin perkembangan hubungannya dengan Ibra. Karena sampai sekarang aku belum tahu status hubungan mereka, sejak terakhir kali Danika dan aku bicara. Setelah berpamitan aku keluar dari Sushi Me. Karena aku harus berhemat jadi transportasi yang kugunakan untuk pulang ke rumah ada transportasi murah meriah sejuta umat, bis kota.

Dengan langkah ringan aku melangkah menuju rumahku setelah berhenti di halte yang jaraknya tak jauh dari rumah. Sambil memikirkan menu makan malam apa yang nanti akan kumasak. Berhubung Danika juga akan menginap, jadi sepertinya aku harus memasak sesuatu yang spesial. Mie goreng, mungkin?

Saat tengah membuka gerbang rumah, entah mengapa perasaanku tak tenang. Atau memang sejak melangkahkan kaki menjauh dari halte, memang perasaanku tak enak. Seperti ada aura negatif yang mengikutiku. Kugelengkan kepalaku untuk menyingkirkan pikiranku yang tidak-tidak. Memang aura negatif apa yang bisa mendekatiku. Bukankah aura jahat dalam hidupku sedang berpetualang di pulau Dewata sana. Jadi aku tak boleh berpikir yang aneh-aneh.

Namun sebelum aku membuka gerbang rumahku dan melangkah ke dalam, seseorang sudah menahan pergelangan tanganku. Menarikku hingga otomatis aku berbalik menghadap padanya. Seketika mulutku terbuka lebar kala melihat siapa orang sudah melakukan tindakan kurang ajar tersebut padaku.

“Apa kabar Handayu?” sapanya dengan seringai menyeramkan bak iblis memburu mangsa.

Demi Tuhan... kenapa Damar Kharisma bisa muncul di depan rumahku!

...

Note : Hola... maafkan daku yang terlalu lama update. Masih ada yang kangen Dayu-Damar? Atau kangennya cuma sama si Bos monster setengah iblis doang? Hehe. Sori kalau udpate suka molor ya. Jadi selamat membaca 🤗 oh ya, itu kayaknya aku mau unpub love contract deh, maafkan kelabilanku lagee, gak masalah kan? Nah gantinya mungkin aku bakal nulis work lain 😁 atau Danika-Ibra mungkin? 😚

Ps : mulmed visualisasi Bos monster setengah iblis. Siapa dia? Sabaar, nanti pasti aku kasih tau. Kalau gak penasaran, ya udah cukup aku yang tahu 😋

Pss : makasih koreksi typo-nya 🙏

Selamat hari sumpah pemuda. Semoga kita bisa menjadi pemuda yang memajukan dan menjaga keutuhan bangsa dan negara 👊💪🇮🇩

Medan, 28/18/10


















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top