Chapter 7 - Annoying

Malam ini aku bergegas ke restoran Ibra. Sejak sore tadi, Danika menelponku. Suaranya terlihat cemas dan mungkin ketakutan. Entah apa yang terjadi pada sahabatku itu. Namun sayangnya aku tidak bisa langsung menemui Danika. Siapa lagi yang punya kuasa jika bukan Damar yang terus saja menahanku di kantor. Padahal rapat harusnya selesai pukul tujuh malam. Namun satu jam lebih setelah rapat Damar masih tetap menahanku di kantornya. Memerintahkanku untuk menyusun jadwalnya besok. Padahal tugas itu bisa kukerjakan di rumah. Tapi memang si Bos monster ini tak akan bahagia jika ia tak bisa menyiksaku barang satu menit saja.

“Di mana Danika?” tanyaku langsung begitu aku menginjakkan kaki di Sushi Me.

“Di ruang ganti.”

Begitu mendengar jawaban dari rekan Danika aku langsung bergegas ke ruang ganti. Tak peduli mata-mata pengunjung yang memerhatikanku. Yang saat ini perlu kulakukan adalah segera menemui Danika. Memastikan bahwa sahabatku itu baik-baik saja. Untung tak ada Ibra yang menghalangiku. Kalaupun pria itu ada, aku tak peduli. Demi sahabatku, aku bisa melawannya.

“Danika?” panggilku.

Gadis itu langsung mengangkat kepalanya. Mata Danika memerah. Mungkin gadis itu baru menangis. Segera aku mendekat padanya. Danika langsung mendekap erat tubuhku. Isakan kembali lolos dari bibirnya. Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi padanya?

“Ada apa?” tanyaku mencoba mencari tahu. Namun bukannya menjawab, Danika malah mengeratkan pelukannya. “Hei... ayo cerita...”

Tak jua mendapat jawaban darinya, aku membiarkan Danika menumpahkan perasaannya. Hampir lima belas menit lamanya Danika terus menangis. Saat merasa perasaannya tercurahkan, gadis itu kemudian melepaskan pelukannya. Danika membersihkan wajahnya yang sudah tak karuan lagi.

“Mau cerita sekarang?” tanyaku seraya memberikan tisu yang kuambil dari dalam tasku.

Danika mengambil tisunya namun tetap menggeleng. “Jangan di sini,” ucapnya.

Aku pun mengangguk mengerti. Membiarkan Danika merapikan dirinya. Mengganti seragamnya kemudian mengunci lokernya. Lalu berjalan ke luar ruang ganti. Aku mengikuti di belakangnya. Saat kami melewati ruangan jamuan, beberapa pengunjung dan rekan kerja Danika memerhatikan kami intens. Namun baik aku dan Danika memilih mengabaikan rasa ingin tahu mereka. Hingga saat Ibra yang tahu-tahu saja sudah berdiri di hadapan kami. Danika mundur selangkah. Tangannya mengerat pada tali sling bag-nya. Gesturnya seketika kaku. Bahkan Danika melarikan pandangannya. Tak ingin bertatapan dengan Ibra. Sementara Bos Danika itu justru tak mengalihkan tatapannya sedetikpun dari Danika. Ada apa dengan mereka?

“Kamu mau pulang?” tanya Ibra namun kembali diacuhkan Danika. Gadis itu malah meraih lenganku dan memegangnya erat.

“Jam kerja Danika sudah kelar kan?” akhirnya aku yang mengambil alih pembicaraan. Ibra mengangguk pelan. “Kalau gitu kami permisi.”

Aku menarik Danika untuk segera meninggalkan Sushi Me. Namun saat kami akan melewati Ibra, sesuatu yang diucapkan pria itu pada Danika membuatku terperangah. Begitupun Danika. Namun gadis itu memilih untuk tak menghiraukan ucapan Ibra. Gantian Danika yang justru menarikku agar segera menjauh dari pria itu.

Selama perjalanan ke rumah Danika, tak ada yang bicara. Kami diam sepanjang perjalanan di dalam taksi online yang kupesan. Benak kami mungkin memikirkan hal yang sama. Perihal ungkapan Ibra yang menurutku sangat tak terduga. Atau jangan-jangan apa yang Ibra ucapkan justru menjadi penyebab Danika bersikap defensif seperti ini.

Taksi yang kami tumpangi akhirnya tiba di rumah kontrakan Danika. Setelah membayar biaya taksinya, aku menyusul Danika yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumahnya. sahabatku itu masih tetap diam hingga aku harus menyusulnya ke dapur. Di sana, Danika baru saja meneguk segelas air putih. Kemudian membanting gelas ke meja. Entah apa maksudnya.

“Mau cerita sekarang?” desakku lagi.

“Aku mandi dulu deh. Kamu juga mau bersih-bersih dulu kan?” 

Dan Danika malah melenggang santai ke kamarnya. Meninggalkanku yang dongkol setengah mati di dapur. Danika memang kadang suka keterlaluan. Maksudnya apa coba menunda-nunda untuk bicara. Tadi saja di Sushi Me dia begitu menyedihkan dan tertekan. Sekarang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Benar-benar!

Menuruti Danika, akupun segera beranjak ke kamarnya. Mengambil pakaian ganti di lemarinya. Kebetulan ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Jadi aku dan Danika bisa berbagi pakaian dan sepatu. Setelah mendapatkan pakaian yang kumau, aku kembali ke dapur menuju kamar mandi. Hanya ada satu kamar mandi di rumah kontrakan Danika. Jadi kami harus bergantian untuk membersihkan diri. Saat aku tiba di dapur, Danika sudah segar dengan pakaian rumahannya.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk membersihkan diri. Mungkin hanya dua puluh menit aku sudah keluar dari kamar mandi. Menyisir rambut dan menyusul Danika yang ternyata sudah duduk nyaman di sofa di depan televisi. Sudah terhidang semangkuk mie instan. Mungkin baru matang karena uap panasnya masih mengepul dari dalam mangkuk. Tanpa menunggu dipersilakan, aku sudah duduk di samping Danika dan menyantap mie instan yang disajikannya.

“Mau sampai kapan kita begini?” tanyaku setelah menandaskan semangkok mie.

“Apanya?” tanya Danika yang juga sudah meletakkan mangkok kosongnya ke atas meja.

“Danika... cerita sekarang juga. Kenapa tadi kamu nangis pas telepon aku?”

Danika diam sejenak. Entah apa yang ditunggu sahabatku ini. Padahal biasanya dia akan menyuarakan apapun yang mengganggunya. Namun kenapa untuk masalah yang satu ini Danika begitu berat bercerita. Membuatku makin penasaran saja.

“Danika...” desakku.

“Ibra melamar aku.”

“Hah?” pekikku tak percaya. Ibra? Bosnya Danika. Dia... apa? “Kamu bercanda?”

“Mukaku kelihatan bercanda ya?”  tanya Danika seraya menunjuk wajahnya. Aku menggeleng perlahan.

“Tapi... yang benar aja Nika?”

“Memangnya aku juga bisa nggak terkejut gitu? Kamu enggak tahu aja gimana perasaanku saat Ibra ngomong gitu.”

“Jadi yang bikin kamu nangis sesenggukan karena Ibra ngajak kamu nikah?”

Danika mengangguk. Ya Tuhan... jadi dia menanngis hanya karena ada pria yang mengajaknya menikah? Danika memang aneh. Tapi wajar jika Danika sampai menangis begitu. Selama ini memang hubungan Danika dan Ibra lebih seperti musuh bebuyutan. Setidaknya dari sisi Danika sendiri. Perempuan itu begitu antipati terhadap Ibra. Apapun yang diperintahkan Ibra selalu saja berhasil membuat Danika jengkel. Entah untuk alasan apa. Padahal sudah sewajarnya kan Danika menuruti perintah Ibra sebagai atasannya. Dan lagi setiap kali Ibra berada dalam radius tiga meter di dekatnya, Danika pasti sudah melancarkan aksi menghindar. Paling parah melarikan diri. Entah apa yang membuat Danika begitu anti terhadap Ibra. Padahal di mataku Ibra itu bukan tipe Bos diktator layaknya Damar. Malah pria itu memperlakukan Danika berbeda dari pegawai lainnya. Namun Danika tetap saja mengibarkan bendera permusuhan pada Ibra. Untuk urusan satu itu, aku tak mau ikut campur.

“Terus, kamu mau gimana?” tanyaku lagi.

“Enggak tahu,” jawab Danika dengan raut bingung.

Aku dan Danika akhirnya hanya bisa menghela napas berat. Baik aku dan dia sama sekali tak tahu harus melakukan apa. Aku juga tak mungkin menyarankan Danika untuk menerima ajakan menikah Ibra sementara hati Danika tak menginginkan pria itu. Yang bisa kulakukan saat ini hanya berada di sisi Danika. Mendukungnya.

...


Rapat yang menyiksaku selama dua jam lebih itu akhirnya berakhir sudah. Walau sempat menyiksa, namun di akhir rapat aku bisa tertawa bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika proyek iklan yang Kharisma advertising dapat mengharuskan Damar dan tim inti untuk melakukan syuting di pulau Dewata. Dan Damar sendiri, selaku pemilik Kharisma advertising yang akan menangani iklan kali ini. Jika Damar akan pergi ke Bali, itu artinya aku sebagai sekretaris Damar juga akan turut serta bukan?

Dan berita bahagia itulah yang membuat wajahku berseri sepanjang sore ini. Tak mengapa Damar menyiksaku sepagian ini. Yang penting aku akan ikut dengannya dalam perjalanan kerja kali ini. Senyumku tak pernah pudar. Bahkan semakin mengembang kala aku membayangkan apa yang akan kulakukan selama di Bali nanti. Yang pasti aku akan bersenang-senang sejenak untuk melepaskan stres yang kualami karena Damar. Dan aku berhak mendapatkannya.

“Heh, senyum terus kayak orang gila,” tegur Daniel, salah seorang art director Kharisma.

Sejauh aku bekerja di Kharisma advertising, tak terlalu banyak bersosialisasi dengan karyawan lainnya. Selain tak memiliki waktu karena semua waktuku seakan dimonopoli Damar. Kharisma bukan kantor seperti pada umumnya yang punya banyak waktu luang. Walaupun Damar tak pernah memaksa para karyawannya untuk bekerja dua kali lipat. Oh, kecuali aku tentunya. Namun para karyawan di Kharisma advertising memang jarang membuang-buang waktu. Mereka akan menghabiskan waktu jika target proyek sudah tercapai.

“Biarin sih lagi senang ini,” jawabku.

Kulangkahkan kakiku menjauhi Daniel sembari membawa nampan berisi kue donut keju dan susu cokelat. Dua camilan itu adalah favoritku di kala senggang. Biasanya jika Damar sedang tidak berulah dan memilih mengerjakan proyek tanpa diganggu, aku akan kabur ke kafetaria bawah untuk memanjakan diri dengan makanan.

“Yu, jutek amat sih?” tanya Daniel yang membawa nampannya kemudian duduk di hadapanku.

“Bukannya jutek. Ya kali kita ngobrol sambil berdiri gitu.” Daniel tampak tersenyum salah tingkah.

“Gimana rasanya kerja sama Pak Damar?” tanya Daniel tiba-tiba.

“Mau jawaban jujur apa bohong?”

Pria itu tertawa. “Jujur deh.”

“Neraka!” tawa Daniel makin menyembur keluar.

Bukan rahasia jika hubunganku dan Damar tak pernah terlihat baik. Walau aku harus menuruti semua perintah Damar sebagai atasan. Namun tak jarang aku juga menunjukkan sikap membangkangku padanya. Dan hal itu disaksikan oleh seisi kantor. Jadi tak heran jika Daniel dan teman-temannya sudah sangat tahu kalau aku dan Damar itu juga musuh bebuyutan.

“Kapan sih kamu bisa berdamai dengan Pak Damar? Seisi kantor itu sampai pusing kalau kalian sudah adu mulut. Dan akhirnya pakai banting pintu.”

Aku meringis mendengar ungkapan terakhir Daniel. Iya sih, aku suka sekali membanting pintu ruang kerja Damar. Mau bagaimana lagi, hanya kayu tak berdosa itu yang bisa kugunakan sebagai sarana pelampiasan rasa kesalku terhadap Damar.

“Emang Pak Damar begitu banget ya sama sekretarisnya yang dulu-dulu?”

Daniel tampak mengingat. “Enggak juga sih. Tapi ya Pak Damar memang orang yang perfeksionis. Dia mau semua itu teratur. Tapi enggak juga dia ribut tiap hari sama sekretarisnya seperti sama kamu gini.”

Sambil menyuapkan potongan kue keju, aku berusaha mencerna ucapan Daniel. Hingga dering ponselku mengejutkan kami berdua. Nama si monster setengah iblis terpampang nyata di layarnya. Aku dan Daniel berpandanga sejenak. Hingga akhirnya aku menjawab panggilan sebelum tanduk iblis Damar keluar.

“Ya Pak?”

“Ke ruangan saya segera. Lima menit!”

Dan sambungan langsung ditutup. Benar-benar si Damar ini. Tanpa berpamitan pada Daniel aku langsung berlari kembali ke kantor. Jika terlambat sedetik saja, Damar akan mencari-cari alasan untuk menyerangku. Dia memang seiblis itu. Dan aku tidak heran jika bulan depan saldo yang masuk di rekeningku akan berkurang karena dipotong seenak jidat olehnya.

“Ada apa?” tanyaku dengan napas hampir putus saat sudah tiba di ruangan Damar. Tak peduli aku mendobrak masuk seenaknya. Dia sendiri yang mengatakan aku tak boleh terlambat.

“Tepat waktu.” Damar Kharisma memandangi arloji mahal di pergelangan tangannya.

Tanpa diminta aku langsung mendudukkan diri di kursi di hadapann Damar. Menunggu apa yang akan dikatakan Bos monsterku ini.

“Mengenai perjalanan ke Bali lusa...”

“Semua tiket dan akomodasi sudah diatur Bu Yulia. Rincian laporannya akan segera dikirim ke Bapak.”

“Bagus.”

Aku tersenyum puas karena tak membiarkan dia meremehkanku. Damar memainkan jemarinya di atas meja. Jika sudah begitu, ada hal yang akan ia sampaikan padaku selanjutnya. Aku cukup hapal dengan segala gerak-geriknya sekarang.

“Mengenai perjalanan ke Bali juga, pesankan satu tiket lagi di untuk penerbangan kelas bisnis...”

“Makasih Pak...”

Belum lagi Damar menyelesaikan ucapannya aku sudah berdiri dan menjabat tangannya yang ada di atas meja. Aku terharu dengan kebaikannya. Walau seringnya ia membuatku serasa di neraka, ternyata dia punya nurani juga untuk memperlakukan aku dengan baik.

“Untuk apa?” tanya Damar sambil melepaskan genggaman tangannya. Dahinya berkerut pertanda ia tak mengerti untuk apa ucapan terima kasihku tadi.

“Karena Pak Damar sudah berbaik hati menempatkan saya ke penerbangan kelas bisnis.”

Kerutan di dahi Damar makin dalam. “Siapa yang mau menempatkan kamu di kelas bisnis?”

“Tadi... Pak Damar suruh saya untuk pesankan tiket di kelas bisnis. Itu...”

Oh my God! Senyum iblisnya kembali muncul. Aku menggigit bibir bawahku sambil menundukkan kepala. Sialan sekali otakku bisa berpikiran postitif terhadap makhluk kurang ajar ini. Lagipula mana mungkin seorang Damar Kharisma mau berbaik hati mengeluarkan uang untuk kenyamananku.

“Aku kamu pikir saya mau memesankan tiket itu untuk kamu?” nada sinis itu kembali lagi. Kali ini aku diam tak menjawab. “Jangan bermimpi ketinggian Handayu. Lagipulan perjalanan kali ini saya tidak akan mengikutsertakan kamu.”

Kepalaku mendongak seketika. Menatap Damar dengan wajah bingung. “Maksud Bapak?”

“Iya. Kamu tidak akan ikut ke Bali. Hanya saya dan tim inti saja.”

Seketika darahku langsung mendidih. Tega sekali Damar berbuat seperti ini padaku. Apa dia tidak tahu bahwa aku begitu menginginkan turut serta ke sana? Dan sekarang katanya aku tidak akan pergi?

“Maksud Bapak apa?” tuntutku.

“Kamu nggak tuli Handayu. Kamu tidak akan ikut ke Bali. Selama saya pergi, kamu akan di kantor untuk membantu yang lain.”

“Kok Bapak tega?” entah kenapa suaraku terdengar bergetar.

“Ini sudah keputusan saya.”

“Saya mau ke Bali, Pak?” rengekku yang sekarang terdengar seperti anak kecil. Memalukan!

“Kamu merajuk?” nada geli terdengar dari suaranya. Mungkin pria jahat ini begitu puas melihatku hampir menangis seperti ini.

“Pokoknya saya mau ke Bali!”

“Tidak!”

“Kalau gitu saya mau liburan selama Bapak di Bali. Saya nggak akan masuk kantor!”

“Saya potong gaji kamu,” ancam Damar.

“Bodo ah!” teriakku terlanjur kesal sampai ke ubun-ubun.

Tanpa pamit aku langsung menghambur ke luar ruangan Damar. Tak peduli pria jahat itu berteriak-teriak memanggilku. Hatiku sudah terlanjur kesal. Masih untung kali ini aku tak membanting pintunya. Terserah jika Damar mau memotong gajiku. Atau sekalian dia akan memecatku nanti. Justru lebih baik. Agar aku terlepas dari kekangan monster menyebalkan itu.

...


Note : halo... kelamaan update ya. maafkeun karena memang belum sempat update lagi. Ada sedikit urusan di antah berantah. Makasih buat yang masih setia menunggu Bos setengah iblis dan sekretaris kurang ajar satu ini, hehe. Yang tanya itu Danika kenapa bisa dilamar Ibra, sabar yess. Kalau ada kesempatan bakal dijawab di work-nya Danika dan Ibra yang masih proses mikir, hahaha. Oh ya satu lagi, masih ada yang mau PO Dara Manisku dan Ditantang Jatuh Cinta gak? Kalau ada nanti aku usahain buka po lagi ya. selamat membaca

Ps : makasih koreksi typo-nya

Medan, 21/18/10











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top