Chapter 6 - Monster Setengah Iblis
Aku ingin protes. Protes pada berbagai film, drama dan novel-novel yang kubaca. Yang menyuguhkan indah dan manisnya office affair. Selama dua bulan aku berusaha menjadi sekretaris yang baik bagi Damar. Namun hasilnya tetap saja membuatku mengalami darah tinggi berkepanjangan. Damar tak lagi segan menyikasku lahir dan batin. Bukan hanya tugas menemaninya yang seakan tak ada habisnya. Tapi juga permintaan-permintaan tak masuk akalnya yang harus kupenuhi. Sesuatu yang kadang harus kudapatkan di ujung antah berantah. Damar memang sungguh niat jika untuk menyiksaku.
Siang ini saja dia sudah membuatku hampir gila. Dia meminta disediakan menu soto untuk makan siangnya. Dan aku sudah memenuhi keinginannya. Bahkan soto yang dia minta aku belikan di warung langganannya yang membuatku harus berputar-putar di tengah kemacetan jam makan siang. Aku tak mengeluh. Berusaha memaklumi keinginan manja Bosku ini. Namun sesi menjengkelkan yang membuat kepala ingin meledak adalah saat Damar menolak memakan sotonya.
“Ini bukan soto yang biasa saya makan. Rasanya nggak aneh begini.”
Lihat, dia mulai berulah. Aku masih memerhatikan Damar. Karena aku yakin dia masih ingin mengeluarkan rentetan rewelannya. Dua bulan menjabat sebagai sekretaris merangkap babutaris aku sudah hapal mati dengan sikap menjengkelkannya. Entah apa dosa manusia satu ini hingga Tuhan memberikan azab berupa sifat arogan mendarah daging dalam dirinya.
“Saya beli soto sesuai dengan instruksi Bapak loh ini. Di warung soto Pak Adi. Yang warungnya jauhnya sampai berputar 180 derajat dari lokasi kantor kita loh Pak,” aku menjawab dengan penuh penekanan.
Damar langsung memasang wajah sinisnya padaku. Ia sama sekali tak pernah merubah sikapnya menjadi lebih manis padaku. Malah semakin menunjukkan tanduk iblisnya. Dasar monster setengah iblis!
“Kamu jangan berbohong Dayu. Kenapa rasanya nggak sama dengan yang biasa saya makan?”
“Ngapain sih saya bohong sama Bapak? Apa gunanya coba?”
“Mungkin saja. Kamu malas menuruti semua perintah saya, jadi kamu beli sotonya di warung mana saja yang kamu temukan.”
“Bapak kok tega fitnah saya?”
“Saya bicara sesuai fakta. Saya tahu kamu itu benci sekali sama saya.”
Mataku melotot tajam. Sudah tahu aku benci setengah mati padanya. Kenapa dia masih suka memerintahku untuk melakukan hal-hal aneh. Atau lebih singkatnya, mengapa dia masih mempertahankanku sebagai sekretarisnya.
“Bapak benar. Saya benci... sekali sama Pak Damar. Sampai ke urat nadi...”
“Nah benar kan?” sentilnya dengan jentikan jari yang ingin sekali kuremukkan dalam sekali hentak.
Damar Kharisma memang sesuatu!
“Saya benci tapi saya nggak cukup gila untuk masukin racun ke dalam makanan Bapak!”
“Kamu berencana meracuni saya?” pekik Damar dengan gaya dramatis.
Sekarang dia sedang berdrama. Oh Tuhan... apa salah dan dosaku hingga harus bertemu dengan orang seperti Damar ini? Kalau memang aku punya banyak tumpukan dosa, akan kupastikan segera bertobat. Agar aku bisa dijauhkan dari godaan iblis yang terkutuk ini.
“Pak Damar...” pekikku akhirnya tak tahan lagi.
Jika aku Handayu yang masih berusia 14 tahun mungkin aku sudah bergulingan di lantai karena dijaili oleh orang lain. Seperti dulu saat Ginan senang sekali membuatku menangis. Tapi aku sudah bukan anak kecil lagi. Jadi tak mungkin juga aku akan merengek-rengek di lantai hanya karena keisengan Damar.
Dan sialnya Damar malah terbahak setelah menyaksikan aku yang hampir menyerah kalah. Membuatku melongo dengan wajah bodoh menatapnya.
“Kamu lucu banget sih? Saya terhibur hari ini...”
Sialan kuadarat! Dia mempermainkanku?
“Maksud Pak Damar apa?” aku sudah tak bisa lagi menahan nada emosi dalam suaraku.
“Kamu... kamu bikin saya terhibur. Padahal sepagian ini suasana hati saya jelek sekali.”
Aku berdecih lirih. Bukan cuma suasana hatinya saja yang jelek. Sifat dan kelakuannya juga sangat jelek. Apa manusia ini tak pernah sadar itu? Dia butuh cermin sebesar apa untuk bisa melihat dirinya sendiri?
Damar masih terus menahan tawa sambil sesekali menyuapkan soto ke dalam mulutnya. Puas sekali mungkin pria ini menjadikanku bahan lelucon. Jika tak ingat aku sudah menandatangani surat perjanjian dengan iblis ini mungkin aku sudah melemparkan soto beserta cabai ke wajahnya. Tololnya aku bisa diperdaya olehnya karena surat perjanjian itu. Surat perjanjian yang membuat setahun hidupku terkurung di neraka bernama iblis bernama Damar Kharisma.
Saat itu aku yang sudah lelah dengan segala tuntutan Damar dengan bodohnya membubuhkan tanda tanganku di kertas yang disodorkan Damar padaku. Tanpa kutahu apa isi lembaran kertas itu. Karena kupikir hanya itu saja hal yang harus kulakukan jadi aku menurut. Setelahnya Damar mengizinkanku pulang.
Esoknya neraka menghampiriku beserta isinya. Damar menunjukkan copy-an kertas yang dibubuhi tanda tanganku. Memintaku membacanya dengan seksama. Aku yang tak menaruh rasa curiga mengikuti perintah Damar. Hingga sampai dipoin tertentu. Di mana disebutkan aku terikat kontrak kerja dengan Damar selama setahun penuh. Dan jika aku melanggar, maka aku dikenakan ancaman pinalti yang nominalnya tidak main-main.
Saat itu aku murka. Kuhajar Damar dengan segala kemampuanku. Pria itu awalnya hanya tertawa mengejek. Hingga akhirnya terdesak dan berbalik membuatku takluk dengan kunciannya. Aku menyerangkan segala sumpah serapah pada Damar yang dibalasnya dengan wajah luar biasa menjengkelkan. Tatapan meremehkannya membuatku ingin merobek wajah tampan Damar. Demi Tuhan, aku tak pernah semurka ini pada orang lain. Entah apa yang diinginkan Damar dengan mempermainkan hidupku.
“Saya akan tuntut Bapak untuk kasus eksploitasi dan penipuan!” teriakku kala itu.
Aku bersiap menghubungi Ginan dan meminta bantuannya. Namun sialnya, Damar seperti sudah memprediksi dengan malah menjadikan Ginan pengacara pribadinya. Entah konspirasi apa yang sedang mereka berdua mainkan. Terlebih Ginan yang terlalu santai melihat sepupu kesayangannya ini ditindas. Yang bisa kulakukan sejak saat itu hanya pasrah dan mengikuti permainan Damar. Jika dia membuatku jengkel maka aku akan membalas. Toh, aku tak bisa mengundurkan diri. Jadi biarkan saja dia yang mengambil keputusan untuk memecatku kan?
“Kamu boleh ke luar Handayu. Oh iya, ingatkan saya untuk meeting pukul tiga sore nanti ya?” ucap Damar santai setelah menghabiskan semangkok sotonya. Aku hanya bisa mendengkus menerima perintah dari monster ini. “Oh iya, jangan membanting pintu lagi ya. Saya bosan kalau harus mengecek pintu setiap kali kamu banting,” perintahnya lagi sebelum aku keluar dari ruangannya.
Aku tak membalas. Karena rasanya percuma membalas Damar. Hanya akan memperpanjang masalahku saja. Lebih baik aku cepat-cepat keluar dari ruangan yang serasa panas ini sebelum aku makin terbakar karena berlama-lama satu ruangan bersama Damar.
...
Minggu adalah surga bagiku. Karena di hari itu aku tak perlu bertatap muka dengan jelmaan setengah iblis setengah monster yang berwujud Damar. Sudah cukup enam hari kuhabiskan berhadapan dengannya. Hari ini aku ingin bebas. Meringkuk di kasurku sepanjang hari. Hanya akan bangun jika perutku lapar. Benar-benar menjadikan seharian ini sebagai milikku.
Namun sayangnya Tuhan berkehendak lain. Mataku dipaksa membuka karena deringan ponsel yang tak berhenti. Jengkel karena kenyamananku diganggu, aku mematikan nada dering benda persegi itu. Apa gangguan berhenti. Ternyata tidak saudara-saudara. Di depan pintu sana, seseorang sedang menggedor pintu rumahku dengan bersemangat. Tak tahan dan takut diamuk tetangga, aku terpaksa bangkit dari tidurku. Bersiap menyemprotkan makian pada siapapun manusia yang berdiri di depan sana.
Yang pasti bukan Ginan. Karena sepupuku itu sejak dua hari yang lalu sedang bertugas di luar kota. Jadi pasti bukan dia. Danika? sahabatku itu terlalu baik untuk bersikap brutal di siang bolong begini. Jadi hanya ada satu nama yang terpikir di kepalaku.
“Apa?” bentakku begitu pintu kubuka paksa.
Senyuman iblis yang menghiasi enam hari dalam seminggu terpampang nyata di depanku. Demi Tuhan, apa lagi yang diinginkan monster setengah iblis ini di hari liburku yang bahagia?
“Cara menyambut tamu yang sungguh sopan,” sindirnya.
Damar masuk ke rumahku setelah menyingkirkan tubuhku dari depan pintu. Pria itu melayani dirinya dengan sangat baik di rumah orang lain. Duduk di sofa tanpa dipersilakan. Sedang pemilik rumah masih berdiri bodoh menyaksikan tamu tak diundang tersebut mengambil alih kendali rumahnya.
“Mau apa Bapak?” bentakku setelah sadar dari keterpakuan.
“Baru kali ini saya ketemu perempuan serampangan seperti kamu. Matahari sudah di atas kepala begini masih bergelung dengan selimut. Bahkan bekas liur kamu masih nempel di pipi.”
Sialan! Aku segera membalikkan tubuhku, membelakanginya. Mengusap-usap wajahku yang kutahu memang pasti berantakan sekali. Tapi aku tak menemukan jejak rayuan pulau kelapa di pipiku. Dan tunggu... siapa dia bisa mengaturku? Di hari liburku. Dan terlebih di rumahku!
“Apa hak Bapak ngatur-ngatur saya?” desisku tak terima ketika berbalik menghadap Damar. Pria itu hanya mengendikkan bahu, tak acuh.
Tuhan... berikan aku stok kesabaran tanpa batas seperti udara untuk bernapas!
“Lalu... mau apa Pak Damar ke rumah saya?” aku mencoba mengendalikan nada jengkel dalam suaraku. Semakin aku emosi, iblis ini akan semakin tertawa di atas kemarahanku. Aku tahu itu.
“Bersihkan diri kamu dan temani saya mencari hadiah,” titah Damar seenaknya.
Aku berkacak pinggang, memandang Damar dengan tatapan seganas mungkin yang kubisa. Dia pikir dia siapa? Seenaknya memerintahku bukan di jam kantor.
“Permisi Pak Damar Kharisma yang terhormat? Anda tahu ini hari apa?”
“Saya enggak perlu jawab. Kalau kamu mengaku berpendidikan, kamu tidak perlu menanyakan hal itu. Kecuali kamu mengalami disorientasi disorder.”
Menohok sekali jawabannya. Jadi dia ingin mengatakan kalau aku terlalu bodoh untuk menanyakan pertanyaan tersebut kepadanya? Huh, andai membunuh itu tidak berdosa dan tak dikenakan sanksi hukum, mungkin pisau dapurku sudah bersarang manis di perut Damar.
“Ini minggu dan ini hari libur saya. Dan Bapak enggak punya hak buat merintah saya!” pekikku tak tahan lagi.
“Ginan yang minta saya untuk mengawasi sepupu tersayangnya.”
“A... Ginan?” tanyaku bingung.
Segera aku berlari ke kamarku untuk mengambil ponsel. Langsung menghubungi Ginan yang dijawab pada dering ketiga.
“Ha...”
“Apa-apaan minta si iblis Damar buat ngawasin aku?” todongku pada Ginan.
“Oh, Damar sudah datang? Aku cuma khawatir sama kamu, Yu. Jadi aku minta Damar untuk ajak kamu ke luar. Daripada kamu bengong di rumah seharian di hari libur.”
Oh Ginan. Aku sungguh terpukau dengan kebaikan hatimu. Tapi bukan dengan mengirimkan sesosok monster setengah iblis seperti Damar ke rumahku. Tak cukupkah aku melihat wajah Damar selama hari kerja. Mengapa mingguku harus berubah kelabu karena Damar?
“Ginan dengar, aku nggak butuh diawasi Damar. Suruh dia pulang!”
“Dayu...”
“Enggak mau tahu, suruh Damar pulang!” pekikku sebelum mengakhir panggilan sepihak. Kulemparkan ponsel ke kasur lalu ikut melemparkan diri ke kasur. Menggeram kesal karena tak bisa membalas Damar. Hingga ketukan di pintu menghentikan kegiatanku. Aku lupa masih ada tamu tak diundang di luar sana.
“Mau apa?”
Damar tak menjawab. Ia hanya memberi tatapan menilai ke seisi kamarku. “Bagus. Untuk ukuran seorang yang serampangan seperti kamu. Saya pikir kamar kamu akan lebih heboh daripada kapal pecah.”
Hah? Dia pikir aku sesembrono itu apa? Walau bukan maniak kerapian layaknya pengidap OCD, aku juga tahu bagaimana membuat tempat tinggalku nyaman untuk ditempati.
“Bukan urusan anda!”
Blam! Kubanting pintu kamar hingga terdengar jeritan kesakitan dari Damar. Mati aku, apa yang sudah kulakukan? Segera kubuka kembali pintu kamar dan menyaksikan Damar yang sedang berjongkok sembari memegangi hidungnya. Kepalanya ditundukkan hingga aku kesulitan melihat apa yang terjadi.
“Pak Damar enggak apa-apa? Apa yang sakit?” aku ikut berjongkok untuk melihat luka yang dideritanya.
Damar menolehkan kepalanya. Tatapan tajamnya membuatku membeku. Apa dia benar-benar sakit? Aku mengkerut di bawah tatapan intimidasi Damar.
“A... itu... hidungnya ya?” tanpa kuduga Damar langsung menarik hidungku membuatku memekik kesakitan.
“Lain kali jangan sembarangan. Kalau tadi benar hidung saya yang kena pintu bagaimana?” ucap Damar gemas.
“Aduh... Aduh... sakit Pak. Hidung saya...” pekikku berusaha melepaskan cubitan Damar di hidungku.
Damar kemudian berdiri. Dan aku juga mengikutinya. Kini kami berdiri berhadapan. Damar masih memasang tatapan tajamnya. Dan aku juga masih dengan wajah jengkel dan tangan yang mengusap-usap hidungku yang pasti memerah. Cubitan Damar sakit juga ternyata. Dan lagi, berani benar pria ini membohongiku.
“Saya bosan main-main dengan kamu. Sekarang lebih baik kamu bersihkan diri dan ikut saya,” suara Damar berubah menjengkelkan.
“Siapa yang mau main-main sama Bapak?” balasku juga sama jengkelnya.
“Jadi kamu mau serius sama saya?”
“Hah?”
“Ayo ke KUA.”
Mataku melotot. “Sinting!”
Kuambil langkah memutar kembali ke kamar. Dan membanting kembali pintu kamarku. Tak peduli jika engselnya copot sekalian. Berhadapan dengan Damar benar-benar membuatku gila. Tak ada gunanya. Jadi daripada aku makin gila, lebih baik aku jauh-jauh dari hadapan pria itu. Membersihkan diri seperti yang dia perintahkan. Dan akhirnya aku kembali kalah akan titah atasanku itu. Tapi tak apa seperti kata orang bijak, yang waras ngalah. Akan ada waktunya aku bisa bebas dari monster setengah iblis itu.
...
Note : maaf menunggu lama. Vertigo sudah gak kumat. Tapi pusing-pusingnya masih nempel ini. Jadi pastinya nulis update-an juga bakal molor melulu. Jangan bosan ya baca tulisanku. Sankyu...
Ps : makasih koreksi typo-nya
Pss : mulmednya cocok dengan hubungan damar-dayu ya, lucu gemesin, sampai pengen geplakin 🤭
Medan, 13/18/10
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top