Chapter 5 - Bos Monster
Setelah menimbang, menela’ah dan mencernanya, akhirnya aku mengambil keputusan. Yang semoga saja kurasa tepat. Karena bagaimanapun aku tak bisa selamanya terus bergantung dengan kebaikan Ginan dan Om Gilang. Tak bisa begitu selamanya. Aku harus bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Tak lagi menggantungkan hidup dan menyusahkan orang lain. Karena itu aku memilih mengambil resiko untuk bekerja di bawah kekuasaan Damar Kharisma. Apapun yang terjadi nanti, aku harus bisa menghadapinya. Seperti pepatah lama entah siapa yang mengatakan, whatever will be, will be. Eh, bukannya itu lirik lagu ya?
Pagi ini aku rapi. Bangun tepat waktu dan menjalani ritual pagi tanpa tergesa-gesa. Menunggu Ginan datang menjemputku. Sepupuku itu berjanji untuk mengantarkanku ke kantor Damar di hari pertama aku bekerja. Sekaligus ingin memberi semangat karena aku akhirnya mau mengambil tawaran yang diberikan Damar. Mungkin aku terlihat seperti anak kecil yang akan masuk sekolah pertama kali dengan ditemani Ayahnya. Ginan yang berperan sebagai sosok Ayah bagiku. Menggelikan. Bagaimana bisa pria itu yang menggantikan sosok Ayah bagiku sementara kami hanya berbeda usia beberapa tahun. Tapi memang dalam beberapa hal, Ginan seolah mengambil peran itu dari Om Gilang yang harusnya lebih pantas untuk tugas seorang Ayah.
“Sudah siap bekerja Handayung?” ledek Ginan begitu aku masuk ke mobil.
“Ginanjar! Gue sate lo ya!” desisku kesal.
Ginan hanya tertawa menikmati kemarahanku pagi ini. Entahlah ada apa dengan pria ini. Sepertinya jika tak menggangguku sehari saja pria ini bisa kena radang sawan.
Tak ingin memperpanjang hal tak penting, Ginan kemudian melajukan kendaraannya. Pagi yang cukup tenang walau pasti perjalanan kami tak akan pernah bebas dari yang namanya macet. Tapi aku cukup berlega hati karena jalanan yang kami lalui cukup lancar. Selama di mobil juga Ginan memutar siaran radio yang menyiarkan lagu-lagu yang cukup membuat perasaan pagi ini jadi lebih baik. Sesekali aku da Ginan juga berkaraoke di dalam mobil. Saling berlomba menunjukkan suara siapa paling merdu. Walau aku harus mengaku kalah karena kemampuan menyanyiku yang tak mumpuni. Ginan dan Gayatri selalu mengatakan kalau aku buta nada. Tiap kali berkaraoke bersama mereka, mereka pasti dengan tega menugaskanku menjadi operator saja dibandingkan harus menyanyi. Apalagi Gayatri bilang suaraku bisa membuat Fir’aun yang sudah menjadi mumi bangkit kembali karena mendengar aku bernyanyi. Sebegitu hancurkah suaraku?
“Kerja yang baik. Kasih kesan terbaik di hari pertama kamu dan jangan bikin kacau. Ngerti?” celoteh Ginan sebelum aku turun.
“Iya, Eyang. Sudah selesai wejangannya?” sindirku. Ginan hanya tertawa. Pria itu bermaksud mengambil sejumlah uang dari dompetnya. Namun langsung kucegah. “Enggak usah Nan. Aku masih punya uang untuk bertahan hidup.”
“Siapa yang mau kasih kamu uang saku?” aku Ginan yang langsung membuat wajahku memerah malu. “Aku cuma mau ambil ktp-ku dan minta tolong kamu kasih ke Damar,” ejeknya.
Ginan sialan!
Kurebut paksa ktp yang disodorkan Ginan padaku. Dan untuk melampiaskan rasa malu, aku membanting pintu mobil Ginan saat sudah keluar dari dalam benda itu. Rasanya ingin sekali mencakar-cakar wajah Ginan. Kadang aku lupa kalau Ginan itu bisa menjelma menjadi pria menyebalkan yang suka membuat orang lain kesal.
“Selamat bekerja sepupu...” Ginan berseru dari dalam mobilnya sebelum melaju meninggalkanku yang masih terpaku di depan gedung kantor Kharisma Advertising.
Baiklah, tak ada gunanya aku mendumel akan kelakuan Ginan. Karena pertempuran yang sebenarnya adalah ketika kakiku menjejak di gedung kantor ini. Sebelum kulangkahkan kaki, aku berdoa dalam hati. Berharap semua berjalan lancar. Hingga aku bisa melalui hari ini dengan baik. Dan hari-hari selanjutnya. Semoga.
“Ayo berjuang, Dayu!” bisikku sembari mengepalkan kedua tangan. Optimis menyambut masa depan.
Namun sepertinya aku terlalu percaya diri, karena baru saja aku melangkahkan kaki ke kantor Kharisma Advertising, teriakan dan amukan seseorang yang cukup kukenal langsung menyambutku. Di depan sana, berjarak sepuluh meter dari tempatku berdiri, Damar Kharisma sedang menunjukkan wajah murkanya. Beberapa orang yang ada di dalam ruangan ini menundukkan wajah. Tak berani menatap Bos yang sedang memasang wajah garang.
“Berapa kali saya tekankan, pastikan semua konsepnya sudah fix. Kalau sudah begini bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkannya pada klien? Kalian mau tanggung jawab untuk segala kemoloran ini!”
Damar Kharisma melemparkan sebuah proposal ke lantai. Aku yang baru kali ini melihat pria sok kuasa itu mengamuk langsung shock. Tak menyangka Damar Kharisma memiliki sisi sebrutal ini. Kakiku gemetar, tak berani melangkah. Aku tetap terpaku di tempat dengan mata nanar menatap suasana di depan sana. Inikah sosok orang yang akan jadi atasanku? Seketika itu juga aku langsung menyesali keputusanku. Mengapa aku tak bisa belajar mengenal karakter Damar Kharisma lebih dulu sebelum memutuskan untuk bekerja dengannya.
Menyadari sepertinya belum ada yang menganggap keberadaanku, sepertinya melarikan diri dari tempat ini adalah tindakan yang tepat. Pelan sembari menahan napas, aku berusaha memutar haluan. Hingga suara tajam yang membuat kuduk meremang menghentikan niatku.
“Handayu Wenika, mau ke mana kamu?”
Dengan dada berdebar aku membalikkan tubuhku ke posisi semula. Damar sudah menatapku tajam dan mengintimidasi. Jika sudah begini aku tak yakin bisa keluar dari kantor ini dalam kondisi baik-baik saja.
“Kemari!” perintah Damar.
Dengan langkah berat aku berjalan menghampiri Damar. Namun sebelumnya aku menundukkan tubuh untuk memungut proposal yang ia lemparkan tadi. Setelah berdiri berhadapan dengannya aku langsung menyerahkan proposal itu pada Damar.
“Jangan main lempar Pak. Kalau tadi ada semut yang lewat di lantai kan kasihan?”
“Hah?” Damar berseru bingung.
“Bapak kalau ngamuk seram ya. Saya jadi berpikir ulang mau kerja sama Bapak. Belum apa-apa nanti saya bisa kena serangan jantung,” ocehku tak karuan. Aku ingin merutuk bibirku yang mengoceh tanpa rem. Bagaimana bisa aku mengatakan hal tak berguna seperti itu di situasi mencekam seperti ini.
Bisa kulihat Damar dan beberapa orang yang tadi diamuk massa olehnya menatapku bingung. Jangankan mereka, aku sendiri juga bingung apa dengan apa yang kulakukan. Satu-satunya cara adalah dengan mengalihkan kemarahan Damar sementara waktu ini. Sepertinya pagi ini harus di mulai dengan sesuatu yang lebih santai daripada dengan omelan dan amukan Damar. Karena itu, entah mendapat keberanian darimana, aku malah mengalihkan kemarahan Damar dengan hal konyol.
“Saya kan karyawan baru, Pak. Alangkah lebih baiknya kalau Bapak sebagai atasan menyambut kedatangan saya. Bagaimana semua?”
Dan seperti dikomando, mereka yang ada di ruangan itu serempak mengangguk. Membuat Damar sepertinya bingung apa yang harus dilakukannya.
“Menjamu karyawan baru itu bisa meningkatkan elektabilitas Bapak loh!”
Pendapat yang entah darimana sumbernya, bisa kulontarkan sembarangan. Tak tahulah, yang penting pagi pertama di hari kerjaku aku tak ingin melihat Damar mengamuk dan membuatku menyurutkan langkah untuk bekerja dengannya. Jadi hal sekecil apapun yang bisa kugunakan sebagai pegangan itu harus bisa kumanfaatkan.
“Maksud kamu apa?” tanya Damar tak mengerti.
“Pesta penyambutan...” aku merentangkan kedua tanganku ke atas. Bertindak konyol seperti anak kecil yang ingin pesta ulang tahun meriah.
Damar menaikkan sebelah alisnya. Dengan tatapan matanya yang sinis itu pasti bisa membekukan siapa saja. Termasuk aku yang pastinya terlihat konyol di depannya. Dan di depan semua orang. Tapi bukan Dayu namanya jika tak menyemplung sekalian ke kolam malu. Aku malah menepukkan kedua tanganku di atas kepala membuat mereka semua makin bingung.
“Pesta... pesta...” seruku tanpa tahu malu. “Ayo Pak...”
Kutarik Damar seenaknya. Seraya mengajak yang lain juga untuk mengikuti langkah kami. wlau bingung dan terkejut namun mereka semua mengikuti ke mana aku menarik Damar melangkah. Sedang yang kutarik nampak pasrah tak bisa berbuat apapun. Untuk itu aku bersyukur, Damar tak menindasku. Kalaupun dia ingin marah, nanti saja. Kalau sekarang dia mengamuk padaku, mau di mana kuletakkan wajahku di hadapan semua orang.
...
Bekerja bersama Damar Kharisma itu... BENCANA. Jika kupikir aku sudah berhasil melewati masa suram sebagai karyawan baru karena semingu kerja tanpa diamuk Damar, maka aku bermimpi. Karena nyatanya, Damar menjelma menjadi monster tepat setelah seminggu aku bekerja dengannya. Menjabat sebagai sekretarisnya. Yang tadinya kupikir tak akan pernah kujabat karena seminggu itu, Damar masih didampingi Lira, sekretarisnya. Namun semua mimpiku untuk bekerja dengan tenang ambyar saat Karin mengatakan bahwa aku akan menggantikan posisi Lira. Entah apa yang terjadi pada gadis cantik itu. Tapi sejak dinyatakan bahwa aku akan menggantikan posisi Lira sebagai sekretaris Damar, aku tak melihat gadis itu berkeliaran di kantor lagi.
“Kenapa saya, Pak?” tanyaku pada Damar kala itu.
“Karena itu memang posisi sejak awal yang ditawarkan pada kamu.”
Selesai. Damar tak bicara apa lagi. Aku hanyya diberikan daftar tugas apa yang harus kulakukan sebagai sekretaris Damar. Juga jadwal pria itu yang begitu padat untuk sebulan ke depan. Bayangkan dalam seminggu saja, pria itu harus menemui klien seminggu penuh tanpa jeda. Ada berbagai pertemuan luar yang harus ia hadiri. Belum lagi rapat dengan beberapa tim produksi untuk urusan iklan di media elektronik. Aku tak bisa membayangkan berapa nominal rupiah yang bisa dihasilkan Damar Kharisma dalam satu minggu dengan berbagai deal iklan yang ia terima dari perusahaan-perusahaan yang memakai jasanya.
Tapi bukan itu yang menjadi masalah bagiku saat ini, melainkan sikap menyeramkan Damar sebagai Bos. Pria itu menunjukkan taring yang sesungguhnya. Tak ada Damar yang bisa kubodohi dengan ocehanku seperti pertama kali aku bekerja di kantor ini. Yang ada hanyalah Damar si Bos monster.
“Datang ke ruangan saya sekarang juga!”
Klak! Dan sambungan ditutup sepihak. Aku hanya menatap nanar ruangan Damar dari balik meja kerjaku yang berada di depan ruangan milik si Bos besar. Entah apa lagi yang akan menantiku di dalam sana. Dengan langkah gontai aku masuk ke ruangan Damar dengan sebelumnya mengetuk pintu. Selain sadis dalam memberikan tugas, Damar ini juga gila kedisplinan. Mungkin dia pengidap OCD. Atau juga bipolar disorder karena perubahan suasan hatinya yang begitu cepat.
Pernah sekali waktu dia begitu marah karena aku salah membelikan makan siang. Namun setengah jam kemudian dia sudah duduk manis menikmati sajian yang kusuguhkan. Jika tak ingat dia yang menggajiku, sudah kucocolkan sambal ke matanya.
“Ada apa Pak Damar?” tanyaku begitu aku masuk ke ruangannya.
“Kamu sudah siapkan jamuan untuk pertemuan nanti malam?”
Aku mengernyit bingung. Pertemuan? Pertemuan apa? Selagi aku masih mencerna apa yang dikatakan Damar, sebuah tepukan di dahi kudapatkan. Damar dengan sebuah pena di tangannya baru saja menimpuk dahiku. Pria itu memasang wajah galak ketika aku melupakan apa yang menjadi tugasku.
“Kamu itu gimana sih? Sebagai sekretaris saya kamu harus sigap mengerjakan tugas kamu.”
“Tapi saya nggak lihat ada jadwal jamuan malam ini?”
Mata Damar melotot padaku. Itu pertanda bahaya. Segera aku berlari ke meja kerjaku untuk mengambil agenda yang mencatat segala kegiatan Damar untuk sebulan ke depan. Iya, agenda. Pria pelit ini enggan memberikanku peralatan canggih untuk bekerja seperti sekretaris lainnya. Damar mengatakan lebih efisien jika aku mencatat segala jadwalnya di agenda. Selain membantuku melatih motorik, aku juga bisa sekalian mengembangkan tulisan tangan. Dasar Bos sinting!
Setelah menemukan agenda kerja, aku kembali masuk ke ruangan Damar. Duduk di sofa yang ada di ruangannya kemudian sibuk membuka catatan. Mencoba mencari tugas yang disebutkan Damar tadi. Namun hingga bolak-balik pun agenda itu terbuka, aku tak menemukan apa yang disebutkan Damar dalam catatanku.
“Enggak ada kok Pak?”
“Jangan bilang kamu lupa mencatat?” Damar berucap tajam.
Aku membalas tatapannya dengan kesal. Atasan monster satu ini senang sekali melimpahkan kesalahan padaku. Memang kapan dia memerintahkanku untuk menyiapkan jamuan untuk rapat.
“Saya enggak tahu sama sekali dengan perintah Bapak yang satu itu. Saya juga nggak ingat kapan Pak Damar pernah suruh saya untuk menyiapkan jamuan,” balasku tak kalah jengkel. Seenaknya saja dia jadi Bos!
“heh, saya itu atasan kamu. Sejak kapan bawahan berani bentak-bentak Bosnya?”
“Sejak Bosnya menjelma menjadi monster menyebalkan seperti Bapak!”
Damar terperanjat dengan pekikanku yang tak kalah ganas darinya. Pria itu mengerjap beberapa kali sebelum akhinya menarik napas panjang.
“Saya tidak ingin berdebat dengan kamu. Sekarang lebih baik kamu siapkan semua sebelum saya...”
“Apa? Sebelum Bapak pecat saya?”
Hah! Lihat itu Damar Kharisma. Jangan dikira aku takut dengan ancamannya. Tapi jangan harap aku dipecat tanpa perlawanan dan pesangon. Paling tidak aku sudah bekerja di kantor ini hampir satu bulan. Jadi sudah sewajarnya aku mendapatkan hak-ku sebagai pegawai.
“Siapa yang mau pecat kamu?”
Aku bingung. “Tadi Bapak ngancam saya.”
“Saya pusing bicara sama kamu. Cepat siapkan semuanya. Harus sempurna!”
“Enggak ada yang sempurna di dunia. Sempurna itu hanya milik Tuhan.”
“Kamu bawel ya?”
“Bapak nyinyir!”
“Keluar!” teriaknya membuatku hampir saja kena serangan jantung.
Tak ingin beradu debat lagi dengannya, aku beranjak dari ruangannya. Dengan kembali membanting pintu ruangannya. Karena kesal. Namun Damar sepertinya tak terima. Dia segera keluar dan berniat membantaiku. Sebelum Damar berhasil menghabisiku, aku sudah lebih dulu angkat kaki. Berlari secepatnya sebelum Damar berhasil menangkapku.
...
Note : maaf updatenya lama... kayaknya vertigoku bakal kumat lagi. Beberapa hari kemarin gak bisa nulis karena sibuk ini itu. Dan setelah urusan ini itu kelar, eh malah si penyakit lama mau menyapa. Jadinya ya gitu. Molor semua. Masih ada yang menantikan Bos monster dan sekretaris bawel ini?
Ps: makasih koreksi typo-nya
Medan, 08/18/10
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top