Chapter 4 - Kesempatan Kedua
Hidup itu tak semudah yang manusia bayangkan. Pun tak sesulit itu jika manusia mau berusaha. Cukup menjadi manusia bersyukur maka pasti hidup kita akan baik-baik saja. Itu yang selalu Ayah dengungkan padaku sejak kecil. Ayahku, sosok pria yang jujur dan bertanggung jawab dalam keluarga dan pekerjaannya. Beliau adalah panutanku dalam menjalani hidup. Walau kadang aku sendiri tak bisa menjadi sosok yang sebaik beliau. Aku masih perempuan yang tempramental dan keras kepala. Terutama jika ada yang mengganggu dan mengusik hidupku.
“Saya tidak mau tahu, ini semua kesalahan kamu. Saya sudah bilang periksa dulu berkas yang akan kamu angkut dari meja saya!”
Suara tegas Bu Farida kembali menyambangi telingaku. Entah apa lagi salahku kali ini di matanya. Padahal aku hanya bertugas membersihkan tempat sampah yang ada di samping meja kerja masing-masing karyawan. Tapi wanita beringas ini justru menumpahkan kesalahannya padaku.
“Sekali lagi saya tegaskan Bu Farida, saya sama sekali tidak menyentuh kertas apapun di meja kerja Ibu. Tugas saya hanya mengosongkan tempat sampah tiap orang.”
“Selalu saja mengelak. Sejak awal saya itu tidak puas dengan pekerjaan kamu yang tidak pernah becus. Heran, kenapa pegawai seperti kamu masih bisa bertahan di kantor ini.”
Perempuan ini, bibirnya mungkin belum pernah diremas oleh tangan ya. Seenaknya saja melontarkan kata-kata seperti itu. Aku yang tak terima terus menjadi bulan-bulanan Bu Farida jelas tidak akan tinggal diam.
“Saya selalu bekerja dengan benar. Ibu saja yang sepertinya tidak pernah puas dengan apapun yang saya lakukan. Di mata Ibu semua yang saya kerjakan selalu salah. Saya heran, salah apa sih saya sama Ibu sampai Ibu begitu antipati terhadap saya!” balasku tak kalah sengit.
“Lihat, pegawai rendahan seperti kamu saja berani melawan atasan. Kamu itu memang...”
“Apa!” pekikku sembari mendekatkan diri padanya. Bu Farida menciut dan mundur dua langkah dariku.
Semua orang yang ada di ruangan sejak tadi hanya menjadi penonton yang budiman. Tak ada satupun yang berani melerai pertengkaran kami. Entah terlalu takut pada Bu Farida atau terlalu menikmati siaran langsung yang ada.
“Kamu berani ya?”
“Kenapa saya mesti takut?” tantangku.
Bu Farida membelalakkan matanya menatapku terkejut. Tak menyangka aku akan bersikap berani padanya. Matanya jelas memendam kemarahan yang amat padaku. Aku sendiri juga heran pada wanita tua satu ini. Merasa tak pernah berbuat salah padanya. Tapi seolah dia selalu saja berusaha mempersulitku bekerja di sini.
“Sekali lagi kamu berani bersikap kurang ajar pada saya, saya tidak akan segan-segan untuk memecat kamu.”
Aku menyunggingkan senyum mencemo’oh padanya. Dengan berani aku berkacak pinggang hingga ia kembali menahan geram akan sikapku.
“Enggak perlu nunggu Ibu pecat. Sekarang juga saya akan keluar dari kantor ini. Persetan dengan pekerjaan di sini. Saya nggak peduli!” ucapku dengan lantang.
Selesai sudah. Apa yang kuucapkan akan kupertanggung jawabkan. Tidak peduli hidupku ke depan akan seperti apa. Yang penting aku tak akan lagi berhadapan dengan orang yang sudah menindas dan menginjak-injak harga diriku. Pekerjaan tak hanya di kantor ini. Walau tentu saja tak akan mudah bagiku. Tapi aku tak akan sudi bekerja bersama monster sok berkuasa seperti Bu Farida dan manusia lain sejenisnya. Sudah cukup aku menahan kesabaran selama beberapa bulan ini. Tidak akan lagi.
Tanpa menunggu mereka sadar dari keterkejutan karena keberanianku, aku langsung meninggalkan ruangan karyawan dan kembali ke ruang loker. Mengganti pakaian dan mengambil barang-barangku yang ada di sana. Ginan sedang tak ada di tempat karena ia sedang ditugaskan untuk menemui klien. Aku patut bersyukur karena tak ada Ginan di sana tadi. Jika tidak mungkin aku akan berpikir ulang untuk membantah Bu Farida. Dan berakhir dengan mengalah sambil mengurut dada karena kelakuannya. Kuakui aku memang bukan gadis dengan sikap manis nan santun. Aku salah satu gadis keras kepala yang ada di bumi ini. Dan tak semua hal bisa masuk ke dalam batas toleransiku.
Sering Ginan menasehatiku untuk lebih bersabar. Tapi seperti biasa, semua petuah Ginan akan kembali masuk kuping kanan dan keluar melalui kuping kiriku. Aku memang bebal dan aku sadar itu. Tapi bukan berarti aku gadis yang tidak bisa diberi pengertian. Hanya saja tak semua hal akan bisa kuterima oleh otakku yang keras kepala ini.
“Aku dengar kamu ribut sama Bu Farida lagi?” Masayu tiba-tiba menghampiriku.
Aku sudah berganti pakaian dan kini sudah mengunci pintu lokerku. Lalu menyerahkannya pada Masayu. Gadis itu hanya memandangiku kunci loker di tangannya dengan bingung.
“Buat apa?”
“Iya, aku bertengkar dengan Bu Farida. Aku juga sudah mengundurkan diri. Jadi kamu bisa serahkan kunci loker ke Pak Yahya. Makasih untuk kerja samanya beberapa bulan ini. Aku pamit ya Yu. Baik-baik di sini. Dan jauh-jauh dari si monster Farida itu!” ucapku cepat dan langsung meninggalkan Masayu yang masih berusaha mencerna kata-kataku.
“Handayu...” teriaknya sambil mengerjarku yang sedikit lagi mencapai pintu keluar ruang loker.
“Ada apa lagi Yu?”
“Kenapa harus berhenti. Kamu kan bisa laporkan ke Pak Armand. Apa kamu nggak sayang dengan pekerjaanmu?” Masayu mencoba memberi solusi. Namun aku justru menggeleng.
“Kayaknya ini lebih baik Yu. Daripada kerja makan hati terus. Lagipula kalau masalah kerja sih nggak usah takut lah. Bukan manusia yang kasih rezeki.”
Akhirnya Masayu mengangguk. Sepertinya ia setuju dengan argumen terakhirku. Menyerah karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan, Masayu memelukku sebagai salam perpisahan. Gadis manis itu kembali bekerja sedang aku melanjutkan langkahku untuk keluar dari tempat ini.
Selama berjalan menuju halte bus aku kembali berpikir rencana yang akan kulakukan. Sampai aku sadar kenapa pula aku harus mengundurkan diri tanpa uang pesangon. Tolol! Aku memukul kepalaku sendiri karena keputusan ceroboh yang baru saja kubuat. Tapi kembali aku menggelengkan kepala. Apapun yang sudah kuambil, aku tak mungkin menyesalinya. Tidak boleh. Daripada aku berpikir hal yang tidak-tidak lebih baik aku menghibur diri sendiri. Dan tempat yang tak lain akan kutuju adalah Sushi Me, restoran Jepang favoritku.
...
Ginan tidak menghakimiku dan untuk itu aku sangat bersyukur. Bahkan dengan baik hatinya sepupuku itu memmberikan sisa gaji yang harus kuterima. Ginan sendiri yang memintanya dari bagian keuangan yang mengatur pembayaran gaji karyawan. Dan aku kembali bersyukur untuk itu. Tapi hingga saat ini aku juga belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Danika sempat menawariku untuk bekerja bersamanya di Sushi Me. Ia bilang akan memohon pada Ibra, yang sebenarnya aku tahu itu adalah satu hal paling sulit dalam hidupnya. Namun demi aku, Danika bilang akan melakukannya. Sayangnya aku tidak ingin menghancurkan harga diri Danika yang tinggi itu dengan memohon pada Ibra, atasannya.
“Mau tambah lagi?” Ginan kembali menawarkan.
Saat ini aku memang menemaninya untuk mencari hadiah ulang tahun untuk Gayatri. Adik Ginan satu-satunya itu akan berulang tahun minggu ini. Pria ini sama sekali tak tahu apa yang harus diberikannya sebagai kado bagi adik perempuannya itu. Jadilah ia mengajakku. Selain agar aku tak terus terpuruk sendirian di rumah, Ginan juga sekalian mengajakku berbelanja. Baik hati sekali kan memang sepupuku ini. Saat ini saja kami sedang berada di kafe es krim sebelum memulai pencarian lagi. Tadi kami hanya sempat berbelanja beberapa pakaian untukku dan Ginan. Sedang kado untuk Gayatri sendiri belum ditemukan.
“Mau kentang goreng sama es krim cokelatnya lagi dong,” pintaku sambil nyengir lebar.
Ginan memutar matanya, namun tetap memanggil pelayan untuk memesan. Dia sendiri juga ternyata memesan pancake untuk menemaniku. Sambil menunggu pesanan selanjutnya tiba, kami larut dalam kesibukan bersama ponsel masing-masing. Ginan pasti sedang mengecek pekerjaannya. Sedang aku sedang berbalas pesan dengan Danika yang pasti sedang beristirahat, mengingat Sushi Me yang biasanya selalu ramai dan tak membiarkan Danika menarik napas sejenak.
“Hai, Nan?”
Aku dan Ginan seketika menoleh saat seseorang menyapa Ginan. Mataku langsung terbelalak dengan mulut separuh terbuka. Begitu terkejut saat menyadari siapa yang baru saja menyapa Ginan. Sedang sepupuku itu balas menyapa dan mempersilakan tamu tak diundang untuk duduk bersama kami.
“Hei, Duduk Dam. Sama siapa ke sini?” tanya Ginan ramah. Super ramah.
Aku jadi curiga hubungan seperti apa yang terjadi antara Ginan dan Damar ini. Ya, tamu tak diundang kami adalah Damar Kharisma. Pria yang hampir menjadi atasanku dan juga pria yang kupermalukan di bioskop tempo lalu.
Tanpa ragu Damar menarik kursi di sebelahku. “Sendiri aja,” jawabnya.
“Mau pesan sesuatu?” tawar Ginan kembali. Lalu memanggil pramusaji saat Damar mengangguk.
Damar menyebutkan pesanannya. Kemudian kedua pria itu kembali berbincang. Sementara aku sengaja menyibukkan diri dengan ponselku. Berusaha menjadi tak terlihat walau jelas percuma saat kami saling bersebelahan.
“Yu...” panggil Ginan yang mau tak mau harus kusahut.
“Apaan?” tanyaku malas.
“Enggak mau nyapa Damar?” ada nada usil dalam suara Ginan.
Sepupu sialan. Bisa-bisanya ia membuatku mati kutu begini. Mau tak mau aku menolehkan kepala ke arah Damar dan menyapa seadanya. Lalu berbalik kembali menekuri ponselku. Hingga ucapan Ginan selanjutnya ingin membuatku meledakkan kepala Ginan.
“Dayu baru aja jadi pengangguran Dam. Kantor lo masih ada lowongan enggak?”
Kutatap Ginan dengan tajam. Tapi pria itu hanya memasang wajah santai. Kulirik Damar yang justru memasang wajah tanpa ekspresi. Membuatku bertanya-tanya apa yang dipikirkan pria ini.
“Kebetulan kantor saat itu memang masih membutuhkan karyawan. Tapi itu juga kalau sepupumu ini mau.” Damar menekankan kata mau sembari melirik ke arahku.
Aku menatap curiga pada Damar. Kenapa dia kelihatan ramah? Apa dia sudah lupa perseteruan kami. Apa memang Damar orang yang mudah melupakan kesalahan orang lain? Tapi tak mungkin semudah itu dia memaafkanku. Aku yakin dia sedang merencanakan hal yang tidak-tidak untuk membalasku.
“Gimana Yu? Damar sendiri loh yang menawarkan. Dia kasih kamu kesempatan kedua.”
Aku menatap Damar dan Ginan bergantian. Lalu menggeleng tegas. “Enggak mau!”
“Ck, sampai kapan sih Yu. Ada kesempatan di depan mata, apa lagi yang kamu tunggu?”
“Aku bisa cari pekerjaan lain Ginan. Makasih buat tawarannya, tapi aku tetap nggak mau.”
“Yakin kamu nggak mau? Gaji yang ditawarkan kantor saya dua kali lipat dari yang bisa kamu dapatkan di kantor lain dengan jenjang pendidikan dan karir kerja yang berantakan seperti kamu.”
Aku terperangah. Pria ini niat sekali ingin menarikku bekerja di kantorku. Membuatku makin curiga maksud dan tujuan terselubungnya. Mana dia membawa-bawa karir kerjaku yang memang nyaris tak ada bagus-bagusnya.
“Kamu punya maksud tersembunyi ya? Niat banget rekrut aku buat masuk ke kantormu?”
Damar mengendikkan bahu. Pria ini ingin membalas namun bertepatan dengan pesanan kami yang baru diantarkan, ia mengurungkannya. Menyesap sejenak kopinya dan mencicipi kue cokelat yang dipesannya. Aku dan Ginan pun terpaksa mengikuti apa yang pria itu lakukan. Berhenti sejenak untuk menikmati hidangan kami. Hingga semua pesanan di atas meja ludes, barulah Damar bicara.
“Saya nggak punya maksud apa-apa dengan merekrut kamu. Hanya ingin membantu Ginan yang uring-uringan karena sepupu penganggurannya.” Aku melotot pada Ginan saat Damar mengucapkan kalimat itu. “Dan membantu membantu pemerintah mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia,” lanjutnya.
Aku mendengkus pelan. Sombong sekali pria ini. Mentang-mentang dia punya kuasa jadi dia pikir dia bisa bertindak seenaknya. Memang sih apa yang diutarakannya tak ada salahnya. Tapi tetap saja di mataku, pria ini arogan dan sok berkuasa.
Selesai makan aku dan Ginan kembali melanjutkan pencarian kami. Tapi satu hal yang membuatku jengkel karena ternyata Damar ini malah ikut bersama kami. Padahal tadinya aku pikir pria ini akan menghilang setelah menikmati makanannya. Ternyata ia malah terus membuntutiku dan Ginan. Mana Ginan juga terlihat tak terganggu dengan kehadiran Damar. Sepertinya aku sendiri yang terlalu was-was akan kehadiran pria ini. Karena nyatanya sejak tadi Damar juga tak terlihat ingin mengungkit masalah yang terjadi antara kami.
“Jadi mau kasih apa nih buat Gayatri?” aku memotong perbincangan Damar dan Ginan. Heran, kami jalan bertiga tapi dunia serasa milik mereka berdua.
“Memang ada apa dengan Gayatri?” tanya Damar kemudian.
“Minggu ini kan Gayatri ulang tahun. Jadi aku sama Dayu mau cari hadiah buat dia.”
“Kenapa nggak belikan pakaian atau sepatu? Perempuan kan biasa senang dikasih hadiah begitu.” Damar menyarankan yang langsung kusambut dengan celetukan.
“Duh yang ahli berhadapan dengan perempuan.”
Damar dan Ginan seketika menoleh ke arahku. Sedang aku ingin sekali memukuli bibirku yang terlalu mulus berucap. Wajahku pasti tak karuan lagi ekspresinya karena tatapan dari dua pria di depanku ini. Daripada diterkam tatapan mencekam Damar dan Ginan, aku memilih masuk ke toko sepatu yang kebetulan ada di depan kami. Kedua pria itu juga seakan melupakan apa yang baru saja terjadi dan memilih untuk mengikuti langkahku. Kami berpencar untuk melihat-lihat apa yang kami sukai. Hingga tiba-tiba sebuah suara sudah mampir di telingaku.
“Kamu benar nggak mau menerima tawaran kerja saya?”
Kepalaku langsung menoleh ke orang yang tahu-tahu saja sudah berada di sampingku. Astaga, bagaimana bisa aku tidak menyadari bahwa Damar sudah ada di sampingku. Pria itu memasang gestur santai seolah ia juga sama sepertiku yang hanya melihat-lihat deretan sepatu.
“Tidak, terima kasih,” balasku cepat lalu meninggalkannya.
Namun sepertinya orang seperti Damar ini tak kenal kata menyerah. Ia malah membuntutiku yang membuatku memasang alarm kewaspadaan kembali.
“Saya hanya ingin membantu Ginan, kamu tahu. Dia kelihatan sayang sekali sama kamu. Dan ingin kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Jika melihat perhatian Ginan yang begitu besar terhadap kamu, saya mungkin mengira Ginan jatuh cinta pada kamu. Tapi karena Ginan mengatakan bahwa kamu sepupunya yang sudah sebatang kara, maka saya mempertimbangkan untuk menerima kamu.” Damar membeberkan panjang lebar.
Aku kembali berpikir. Senang rasanya mengetahui betapa sayangnya Ginan padaku. Tapi ada satu sisi dari apa yang diutarakan Damar di mana aku merasa dia menerimaku hanya sebatas rasa pertemanan dan kasihan. Aku tak butuh dikasihani. Aku ingin orang lain menerimaku karena kemampuanku. Baru saja aku ingin menjawab, Damar kembali bicara.
“Saya tahu apa yang kamu pikirkan. Saya nggak mungkin memungkiri ada rasa kasihan yang terselip dalam tawaran saya. Tapi lebih dari itu saya ingin melihat kebenaran kata-kata Ginan. Bahwa kamu adalah orang yang pantas bekerja bersama saya. Karena itu yang menjadi pertimbangan saya memberi penawaran kepada kamu. Tapi semua kembali lagi pada keputusan kamu.”
Damar sepertinya selesai dengan kata-katanya. Karena pria itu akhirnya menjauh dariku. Menghampiri Ginan yang tampak kebingungan memilih sepatu yang cocok untuk Gayatri. Lama aku kembali berpikir. Lalu tatapanku kembali jatuh pada Ginan. Jika saudaraku itu begitu sayangnya padaku. Kenapa aku tidak mencoba. Sedikit saja membantu menghilangkan kekhawatiran Ginan terhadap kehidupanku dengan menerima tawaran dari Damar.
...
Note: maaf kalau ngaret ya. Baru bisa post sekarang. Dan itu.. kenapa Damar ngebet banget ya ngajak Dayu buat kerja sama dia? Heum.. ada udang dibalik bakwan ini 😂
Dan juga, yuk sama-sama berdoa untuk saudara-saudara kita di Palu dan Donggala dan wilayah yang kemarin tertimpa bencana. Semoga mereka di sana diberi ketabahan. Dan penanganan baik itu evakuasi dan bantuan bisa segera tersalurkan dengan merata 😭😭😭🙏🙏🙏
ps :makasih koreksi typo-nya 🙏
Surgaku, 30/18/09
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top