Chapter 3 - Keluarga

Kondisi menyedihkan bagi manusia itu salah satunya adalah saat di mana ianya sama sekali tidak punya uang. Kondisi yang benar-benar kualami. Dua bulan sudah, tapi panggilan kerja juga tidak ada yang menghampiriku. Mana kantong sudah seret. Tabunganku juga mungkin hanya cukup bertahan untuk hitungan dua bulan ke depan. Iya, aku begitu miskinnya sampai tak punya simpanan masa depan. Mau bagaimana lagi, Ayahku bukan pejabat kaya yang meninggalkan banyak warisan. Warisan yang tersisa satu-satunya dari Ayah hanyalah rumah yang saat ini aku tempati. Rumah yang tak begitu besar yang dibangun dengan keringat dan kerja keras Ayah. Sedang Ibu, beliau bukan putri bangsawan atau anak orang kaya. Ibu hanya anak perempuan dari petani di sumatera utara sana. Kakek dan Nenekku memang asli orang Medan. Bukan Medan kota sih, tapi pinggiran kota yang hidupnya hanya mengandalkan sawah yang mereka kelola. Dan jelas, Ibu tak akan mendapat jatah warisan karena sawah milik Kakek sudah diperjualbelikan oleh saudara-saudara Ibu yang serakah. Sekarang aku tidak tahu di mana rimbanya mereka.

Kerabat Ayah sendiri banyak yang tak kukenali. Karena mereka tersebar hampir ke seantero Indonesia. Bahkan ada yang merantau hingga ke luar negeri. Bertemu setahun sekali pada momen hari raya saja belum tentu. Hanya beberapa kerabat yang tinggal di daerah yang sama yang sering bertemu denganku. Tentunya dalam frekuensi sering yang berbeda. Dan jika bukan karena paksaan Om Gilang, mungkin aku juga tidak akan mau hadir di acara kumpul keluarga. Akan ada mulut-mulut usil yang akan mengomntari hidupku layaknya komentator acara olahraga. Seperti mereka manusia sempurna saja. Di tambah lagi dengan hidupku yang masih belum jelas dan luntang-lantung begini. Makin tajamnya cibiran yang akan didapatkan anak malang sepertiku. Karena itu aku lebih menghindari acara keluarga semacam itu.

Bicara soal keluarga, akhirnya setelah dua bulan tak jua mendapat kepastian kerja, aku menyerah. Tawaran dari Ginan akhirnya kuambil juga. Walau bukan tawaran pekerjaan yang pantas dengan jenjang pendidikanku. Tapi aku bisa apa. Lowongan pekerjaan yang tersedia di kantor konsultan hukum di mana Ginan bekerja hanya sedang membutuhkan pegawai office girl. Aku terpaksa menerimanya. Demi keberlangsungan hidup dan perut yang harus diisi. Andai kantor itu milik Ginan, mungkin dia bisa mencarikan posisi yang lebih baik untukku. Sayangnya Ginan juga masih berstatus pegawai, bukan pemilik. Ginan memang punya rencana untuk mendirikan biro hukum miliknya bersama beberapa rekannya. Namun masih terkendala dana dan izin yang cukup berbelit untuk mengurusnya. Lagi pula sebagai pengacara muda, Ginan belum punya nama di jagad dunia hukum Indonesia. Jadi dia masih butuh batu loncatan dan pengalaman.

“Yu, bawakan minuman ke ruang rapat ya di lantai empat ya? Oh iya, juga camilan yang tadi dibeli Pak Mahmud,” perintah Hendri, rekan kerja Ginan yang paling sering mondar-mandir ke pantry.

Aku heran dengan pria itu. Dalam sehari dia bisa bolak-balik hingga sepuluh kali ke pantry. Ada saja yang dicarinya. Apa Hendri tidak punya pekerjaan seperti karyawan lainnya. Jangan bilang dia sengaja datang ke sana hanya demi melihat Masayu. Petugas OG yang juga memiliki nama panggilan yang hampir sama denganku. Bedanya Masayu ini anaknya baik sekali. Cantik dan Ayu seperti namanya. Beda sekali denganku yang kadang masih suka menolak tugas dari para pengacara muda itu kalau sudah kelelahan bekerja. Bahkan di hari ketujuh aku bekerja, aku hampir beradu mulut dengan Bu Farida, senior Ginan di kantor ini. Itu karena Bu Farida bersikap seenaknya padaku.

Aku yang sudah kelelahan dengan jam kerja yang sudah usai malah diminta membuatkan minuman untuknya. Mana pakai acara disuruh beli makanan ke luar kantor lagi. Bagaimana aku tidak menolak. Badanku sudah letih seharian bekerja dan aku ingin segera pulang ke rumah untuk mengistirahatkan diri. Tapi atasan bernama Farida yang sok berkuasa itu malah memarahiku. Mengataiku sebagai pergawai rendahan tidak becus. Tentu saja aku marah dan malah melawannya habis-habisan. Hampir saja terjadi adu gulat di ruangan pantry jika yang lain tak segera melerai. Tak ingin aku mendapat masalah Ginan segera menarikku ke luar kantor. Lalu mengantarkanku pulang. Selama di jalan, Ginan tak berhenti berceramah perihal sikap yang harus kutunjukkan selama di kantor. Daripada harus berdebat dengannya, aku cuma mengiakan saja. Selesai perkara.

“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ginan tiba-tiba. Seperti hantu saja dia yang sekejap mata sudah muncul di sampingku.

“Jam lima kayak biasa.” Tanpa melihat Ginan, aku terus mengaduk teh yang harus kuhidangkan pada tamu atasan kami.

“Tungguin sebentar. Kita pulang sama-sama.”

Dahiku mengernyit. “Kenapa?”

“Papa minta kamu ke rumah. Sudah lama juga kan kamu nggak berkunjung.”

Aku hanya menjawab dengan anggukan kemudian kembali meneruskan pekerjaanku. Ginan sendiri berpamitan untuk kembali ke ruangannya. Walau satu kantor, tak banyak yang tahu bahwa aku ini sepupunya Ginan. Tak jarang kudengar beberapa rekan Ginan bergosip iri dengan kedekatan kami. Darimana aku tahu, tentu saja dari tolilet. Tempat yang sejak dahulu kala terkenal sebagai sarangnya gosip kantor. Mereka tidak tahu saja bahwa aku dan Ginan bersaudara. Dan kami tak mungkin bisa menjalin hubungan karena darah yang mengalir di tubuh kami berasal dari satu klan. Untungnya walau mereka selalu iri, para wanita itu cukup elegan dan berkelas untuk tak bersikap bar-bar dengan menyerang atau mengintimidasiku.

Tepat sorenya seperti yang diinginkan Ginan, aku menunggunya. Hampir setengah jam lamanya aku harus mati bosan karena Ginan yang tak kunjung muncul di lobi kantor. Namun tak lama pria itu muncul dan berjalan bersama beberapa rekannya. Saat ia menghampiriku, rekan kerja Ginan yang mungkin tak mengetahui hubungan kami, memandang heran pada kami.

“Nan, kamu sama Dayu itu...”

Belum lagi pria yang kuketahui bernama Riko melontarkan tanyanya, Ginan sudah menarikku. Mengumbar seulas senyum lalu berpamitan pada mereka. Aku yang tak bisa berbuat apa-apa hanya mengikuti saja ke mana Ginan membawaku. Namun satu yang membuatku penasaran, kenapa Ginan tak pernah mengatakan pada rekan-rekannya bahwa aku sepupunya. Bahwa kami ini bersaudara jadi tak akan ada yang salah paham. Apa Ginan malu mengakuiku yang seorang office girl ini sebagai saudaranya? Tiba-tiba saja aku hatiku rasanya sesak. Apa begitu malunya Ginan mengakui kami bersaudara? Apa aku tak pantas diperkenalkan sebagai kerabat pada rekan kerjanya? Begitu tiba di depan mobil Ginan aku melepaskan diri. Membuat Ginan menoleh bingung padaku.

“Kenapa?”  tanyanya.

“Aku pulang aja Nan. Mungkin lain kali aja aku mampir ke rumah,” ucapku sembari melangkah menjauhi Ginan.

Namun Ginan lebih sigap. Ia langsung menarik pergelanganku untuk menghentikan langkahku. Tanpa kata, Ginan langsung membukakan pintu dan memaksaku untuk duduk di jok mobilnya. Mungkin karena terlalu lelah, aku memilih diam dan tak ingin berdebat dengannya. Kemudian Ginan masuk dan menjalankan mobilnya meninggalkan kantor. Selama perjalanan tak ada satupun dari kami yang buka suara. Macet yang mengintai membuat kami hampir berada dua jam di perjalanan hanya demi mencapai rumah. Hingga akhirnya kami tiba di rumah orangtua Ginan. Mobil sudah berhenti di carport, tapi kami masih berdiam di dalam mobil.

“Hei, kenapa sih Yu?” tanya Ginan akhirnya buka suara.

“Kamu malu ya ngakuin aku sebagai sepupu kamu di depan teman-teman kantor?” tanyaku langsung.

Ginan mengernyitkan dahinya. “Kenapa kamu mikir gitu?”

“Karena nyatanya kamu nggak pernah mau jelasin ke orang-orang kalau aku ini kerabat kamu. Kamu malu kalau aku cuma seorang office girl?”

Ginan tertawa kemudian menarikku ke pelukannya. “Sejak kapan sepupuku yang galak ini jadi sensitif begini? Kamu lagi masa period?”

Aku menggeleng di dalam pelukan Ginan. Lalu mengangguk. Lalu menggeleng lagi. Eh, entahlah aku juga lupa apa aku sudah mengalami datang bulan untuk periode ini. Namun entah kenapa berada dalam dekapan Ginan saat ini membuat sisi cengengku keluar. Mungkin karena sudah terlalu lama merasakan hidup sendiri. Jadi ada saat tertentu di mana aku begitu rapuh.

“Bukan aku malu mengakui kamu sebagai sepupuku, Handayu. Aku bahkan enggak pernah malu dengan posisi kamu yang cuma seorang office girl di kantor. Tapi aku cuma mengantisipasi cibiran orang. Orang lain mungkin akan bergunjing yang enggak-enggak tentang kamu. Walau cuma seorang office girl, akan selalu ada mulut-mulut usil yang mengganggu kenyamanan kamu bekerja. Memang kamu mau nanti dicibir rekan yang lain kalau mereka tahu kamu itu masuk karena bantuan koneksi, begitu?”

Aku kembali menggeleng. Apa yang dikatakan Ginan ada benarnya juga. Ginan mengurai pelukan kami. Lalu memegang pundakku dan menatapku intens. Untung kami bukan dalam hubungan romansa sepasang kekasih. Jika tidak aku mungkin bisa baper, kata anak-anak sekarang.

“Apapun kamu, bagiku, bagi keluarga kita, kamu tetap Handayu. Bagian dari keluarga Adijaya. Status pekerjaan nggak akan mengubah posisi kamu di mata keluarga kita. Terutama kami. Mengerti, Handayu Wenika Adijaya?” ucap Ginan tegas seraya menyebutkan nama lengkapku.

Aku mengangguk kemudian memeluk Ginan kembali. Merasa damai dalam pelukan Kakak sepupu yang sudah seperti pelindungku ini. Walau aku sudah kehilangan kedua orangtuaku, tapi aku selalu bersyukur masih memiliki keluarga Om Gilang di hidupku. Terutama Ginan, sepupuku.

...

Hari ini aku bebas merdeka. Hampir tiga bulan bekerja sebagai office girl di kantor Ginan, akhirnya aku bisa mendapatkan jatah liburku. Dan waktu libur kali ini kugunakan untuk bersenang-senang. Aku sudah menghubungi Danika untuk menemaniku. Dan sahabat baikku itu menyetujui permintaanku. Danika sendiri tak mendapatkan jatah liburnya. Entah mengapa atasannya seolah selalu mempersulit jika Danika ingin mengajukan waktu liburnya. Akhirnya karena tak juga mendapatkan izin Danika berontak saja. Ia tak masuk kerja tanpa izin.

“Enggak takut dipecat, Ka?” tanyaku saat kami sedang menikmati es krim di salah satu gerai es krim di mal yang tengah kami kunjungi.

Bukan maksud untuk bergaya layaknya orang kelebihan uang. Tapi aku dan Danika memang ingin menikmati waktu berdua. Dan tujuan kami datang ke mal ini hanya untuk menonton. Dan mungkin mencicipi makanan yang terjangkau di kantong kami. Bagaimanapun aku dan Danika hanya memiliki penghasilan yang pas-pasan. Mana mungkin kami menghamburkan uang di tengah kehidupan yang sulit ini.

“Enggak peduli. Aku tuh capek ngadepin Pak Ibra. Terserah dia mau pecat aku atau enggak. Kalaupun dipecat ya aku tinggal cari kerja di tempat lain. Apapun, yang penting halal.”

Aku tersenyum mendengar jawaban Danika. Sejak dulu Danika tak pernah berubah. Dia tetap perempuan dengan pemikiran dan keteguhan yang menurutku luar biasa. Bila aku saja kadang suka merasa rapuh dan lelah dengan kehidupan padahal aku masih memiliki Ginan dan keluarga sebagai penyokong. Tapi Danika tak pernah menunjukkan kelemahannya sedikitpun. Entah bagaimana gadis ini bisa menghadapi semuanya. Tapi aku berjanji akan selalu ada untuknya. Seperti janji kami sejak dulu, bahwa kami akan saling mendukung satu sama lain.

“Tapi pernah mikir nggak sih Ka, kalau Pak Ibra tuh suka sama kamu?”

Danika tersedak es krimnya. Gadis itu cepat-cepat mengambil tisu untuk membersihkan bibirnya yang kena noda es krim. Matanya menyorot horor padaku.

“Jangan ngaco deh Yu. Sejak kapan atasan arca Majapahit itu bisa suka sama aku? Darimana sejarahnya? Kamu enggak tahu aja gimana semena-menanya Ibra memperlakukanku.”

“Sejak zaman Majapahit kali,” celetukku asal. “Kalau menurutku sih Ka, ya Pak Ibra itu naruh perhatian ke kamu.”

“Jangan ngarang!” Danika melemparkan tisu bekasnnya ke wajahku membuatku mendelik kesal.

Selesai menikmati es krim, kami menuju teater. Karena film yang kami pilih akan segera tayang. Danika dan aku mengantri dulu untuk membeli popcorn dan minuman untuk menemani kami selama menonton. Setelah mendapatkan pesanan kami langsung masuk ke ruangan teater karena telah dibuka. Hampir lima belas menit kemudian film di mulai setelah melewati beberapa iklan yang membuatku mati bosan. Aku nonton film di bioskop untuk menghindari iklan, kenapa malah disuguhkan iklan coba?

Pengunjung yang datang saat ini tak begitu banyak. Aku bahkan bisa menghitung jumlah penonton kami saat ini. saking isengnya aku malah lebih menikmati apa yang dilakukan oleh beberapa pengunjung kami ketimbang menikmati film di layar lebar di depan sana. Dan saat itulah tanpa sengaja mataku menangkap pemandangan yang sejujurnya cukup sering ditemukan di gedung bioskop. Sepasang kekasih yang tengah berciuman di tengah remang cahaya teater. Waw, fanstastik!

Entah setan mana yang merasuki kepalaku, aku malah berbuat iseng. Dengan sedotan sodaku, aku menyemprotkan soda dari mulutku ke pasangan itu dengan diam-diam. Mereka cukup terkejut dan seketika menghentikan aksi ciumannya. Saling berbisik perihal air yang tiba-tiba menyembur pada mereka. Sementara aku terkikik geli di kursiku. Tak puas kembali aku melakukannya saat kurasa mereka akan berbuat mesum untuk kedua kalinya. Aku kembali terkikik di bangku hingga membuat Danika bingung.

“Kenapa sih Yu?”

Nothing,” jawabku sembari menahan tawa.

Berhenti sejenak dari ulah nakalku, aku kembali memfokuskan tatapan pada layar di depan sana. Tak tahu lagi jalan cerita karena aku melewatkan bagian film cukup banyak. Entah kenapa rasanya menonton tak lagi menyenangkan buatku. Menjaili orang lain mungkin jadi sesuatu yang cukup menyenangkan di usiaku yang tak pantas lagi untuk berbuat usil. Tapi entah kenapa aku ingin melakukannya. Hingga akhirnya aku memilih untuk menjadi setan pengganggu ketenangan para pengunjung teater.

Jika tadi aku menggunakan sedotan dan air sodaku, kali ini aku menggunakan potongan popcorn untuk aksi nakalku. Aku melemparkan popcorn-popcorn itu ke belakang kursiku. Beberapa penonton yang duduk di bangku belakang mulai protes dan mengumpat kesal. Tapi aku tak peduli, malah merasa senang di kursiku. Danika yang mengetahui ulahku hanya bisa menggelengkan kepala. Tak puas, kembali aku ingin mengulangi aksiku. Namun saat akan mengambil popcorn yang kuletakkkan di sisi kanan tubuhku, seseorang menahan tanganku.

“Jangan mengganggu ketenangan pengunjung,” desisnya padaku.

Aku yang merasa jengkel berusaha melihat dan menarik tanganku dari genggamannya. Seketika napasku tertahan. Walau dengan cahaya remang, tapi aku cukup bisa melihat dengan jelas siapa orang yang menghentikan aksiku. Dia, Damar Kharisma. Pria yang hampir menjadi atasanku. Sejak kapan dia duduk di sampingku. Bukannya tadi kursi yang ada di sisi kananku kosong?

“Lepasin...” desisku.

“Tidak!” jawabnya tegas.

Aku tak menyerah masih berusaha menarik lepas tanganku dari cengkeraman Damar. Namun pria itu juga tak mengendurkan cengkeramannya. Gemas, aku menggunakan tangan kiriku untuk menarik kantong popcorn milik Danika dan menuangkannnya ke kepala Damar.

“Shit!” pekik Damar akhirnya melepaskan cengkeramannya. Pria itu sibuk membersihkan tubuhnya dari remahan popcorn yang kutumpahkan.

Kesempatan itu kugunakan untuk melarikan diri. Tanpa aba-aba aku menarik Danika yang terkejut dan melarikan diri. Walau bingung, Danika tetap berlari bersamaku. Dengan napas terengah akhirnya kami berhasil menjauh dari gedung bioskop. Kami berhenti di depan sebuah toko pakaian demi menenangkan jantung yang berdetak cepat.

“Kamu gila!” pekik Danika kalau ia bisa menarik napasnya.

Bukannya marah, aku malah tertawa karena umpatan Danika padaku. Bagaimanapun apa yang dikatakan Danika ada benarnya. Apa yang baru saja kulakukan memang gila. Tapi entah kenapa aku tak menyesal dan malah makin tertawa lebar. Biarkan aku berbuat dosa hari ini ya Tuhan!

...

Note: kucoba untuk tetap semangat menulis dan give my best, guys! Jadi maafkeun kalau ngaco ya 🙄 eh iya, jangan dicontoh itu ya kelakuan si Dayu 😒

ps: makasih koreksi typo-nya 🙏

Negeri awan, 27/18/09

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top