Chapter 2 - Sahabat

Sehari setelah insiden memalukan di kantor Kharisma Advertising, aku masih mendekam di dalam kamarku. Enggan beranjak ke manapun. Bahkan panggilan bertubi-tubi yang aku tahu dari Ginan juga kuabaikan. Mungkin Ginan sudah mendapat laporan dari Damar bahwa sepupunya yang sudah diberi kesempatan malah berbuat kurang ajar. Memaki atasan dan membanting pintu kantor. Bicara tentang pintu kantor, apa pintunya tak rusak karena kuhempaskan saat itu ya? Bukan urusanku. Kalau mengingat sikap Damar Kharisma kala itu juga makin membuat rasa kesalku timbul lagi. Manusia angkuh seperti itu pantas mendapatkan sikap kurang ajar dariku.

Saat aku sedang merenung dengan segala pikiran, pintu rumahku diketuk, ralat digedor dengan cukup keras. Seperti rentenir hendak menagih hutang. Miskin-miskin begini aku sama sekali tak memiliki hutang satu rupiahpun. Jadi siapa makhluk kurang ajar yang dengan seenaknya malah menggedor pintu rumahku. Kesal karena si pelaku tak juga berhenti padahal tidak mendapat respon dari pemilik rumah. Akupun bangkit dan bersiap menyemprot pelaku penggedoran brutal pintu rumahku. Enak saja dia berlaku begitu. Jelek-jelek begini rumah peninggalan orangtuaku pastilah sangat berharga bagiku. Tidak akan kubiarkan orang lain bersikap seenaknya merusak.

“Apa!” teriakku begitu membuka pintu. Menyemprot si kurang ajar yang kini tangannya menggantung di udara.

“Oh, masih hidup?” sindirnya.

Ginan Adijaya, sepupu yang juga teman mantan atasan iblisku. Tapi dipecat di hari pertama kerja, apa Damar masih pantas kusebut sebagai atasan?

“Mau ngapain ke sini?” tanyaku kesal.

“Kenapa teleponku nggak diangkat?”

“Memangnya jemuran?” Dan Ginanjar kurang ajar ini malah melayangkan jitakan di kepalaku.

“Kalau ngomong sama Abang sepupu itu yang sopan, dayung!” ejeknya.

Ginanjar ini memang suka sekali mengejekku dengan sebutan dayung. Ya walau aku juga suka menyebut namanya dengan Ginanjar padahal namanya hanya Ginan. Tapi  di antara semua sepupu, hanya Ginan dan adiknya Gayatri yang lebih dekat denganku. Sementara sepupu yang lain hanya sekedar bertemu muka dan saling sapa. Tak lebih. Di antara kerabat Ayah dan Ibu juga, hanya Om Gilang dan Tante Mila, orangtua Ginan yang masih begitu memerhatikanku sejak kedua orangtuaku meninggal. Jadi sangat wajar jika aku lebih dekat dengan keluarga mereka dibandingkan yang lain.

“Aku bawain pizza nih, udah makan belum?” tanya Ginan seraya meletakkan sekotak pizza di atas meja kopi di depan televisi.

Pria itu kemudian beranjak ke dapur dan kembali dengan dua gelas air putih. Ginan sebenarnya bukan penikmat junk food, tapi demi aku mungkin dia terpaksa membelinya. Bahkan dia hanya membeli pizza, tanpa soda.

“Duduk sini,” ucapnya seraya menepuk sofa di sebelahnya.

Mau tak mau aku ikut duduk di sampingnya. Mencomot satu potong pizza dan mulai menikmati. Ginan sengaja menyalakan televisi dan ikut mencomot pizza sepertiku. Kami makan dalam diam. Dengan mata terfokus pada layar televisi tapi pikiran yang berkelana entah ke mana. Aku yakin itu. Ginan datang ke sini juga pasti ingin mengorek informasi seputar perseteruanku dengan Damar, temannya. Tapi ia membiarkanku lebih dulu sebelum mengintrogasi. Ibaratnya aku seperti hewan ternak yang akan dijagal. Diberi makan kenyang untuk digiring ke pemotongan. Sadis sekali perumpamaanku.

“Minum, Yu.”

Ginan mengambilkan segelas air dan memberikannya padaku. Tanpa banyak kata aku langsung menyambar dan meneguk habis isinya. Setelahnya meletakkan gelas kosong ke meja. Tanpa sengaja aku bersendawa cukup keras yang langsung membuat Ginan mengamuk.

“Handayu!” teriaknya. “Dasar cewek jorok...”

Aku hanya tertawa melihat wajah Ginan yang menunjukkan ekspresi jijik. Iya, Ginan memang paling benci dengan perempuan yang tak bisa menjaga diri dalam hal bersikap. Seperti aku ini pengecualian, karena aku sepupunya. Coba perempuan lain, Ginan mungkin sudah bersumpah serapah dan angkat kaki dari hadapan perempuan itu.

“Ya maaaf Bos. Namanya juga sendawa, mana bisa diprediski dan dihentikan,” ucapku tanpa rasa bersalah sama sekali. Benarkan kalau sendawa itu tak bisa ditahan?

“Terserah. Sekarang to the point aja. Aku ke sini untuk tanya kamu...”

“Masalah sama si nyinyir Damar?” sambungku cepat. Ginan melotot dengan ucapanku yang mengatai Damar, nyinyir.

“Damar nggak nyinyir, Yu. Dia cuma...”

“Ya dia nyinyir. Mana ada laki-laki lidahnya tajam kayak dia. Sebagai atasan lagi. Pantas saja nggak ada yang betah kerja dengan dia.”

“Damar itu cuma tegas Yu. Dia itu cuma mau mengetes kesiapan mental kamu sebagai sekretarisnya sebelum bekerja sama dia.”

“Halah, alasan. Dia itu memang nyinyir. Lidahnya setajam silet. Aku lihat sendiri gimana dia berantem sama mantan sekretarisnya dulu.”

Dan ceritakupun mengalir mulus perihal pertengkaran Damar dan mantan sekretarisnya yang kusaksikan secara langsung. Awalnya Ginan terperangah. Tak menyangka kawannya itu ternyata memiliki sifat jelek seperti itu. Namun kebelakangnya Ginan malah maklum dengan yang Damar lakukan. Ginan bilang wajar jika Damar bersikap seperti itu. Karena dari cerita yang Ginan dengar dari Damar, mantan sekretarisnya tersebut memang tidak becus dalam bekerja. Ketahuan bermain dengan pihak klien. Dan lebih parahnya membocorkan konsep iklan yang akan dijadikan tender dengan pihak lawan. Bagaimana mungkin Damar bisa mentolerir perbuatan seperti itu. Aku yang mendengar penuturan Ginan hanya bisa mengerutkan dahi. Bingung harus bagaimana. Mau percaya juga rasanya sulit karena sikap Damar tempo hari padaku.

“Intinya kamu datang ke sini mau apa?” tanyaku akhirnya.

“Minta maaf sama Damar kalau kamu memang masih mau bekerja dengannya.”

“Enggak bakal!” aku berdiri di sofa hingga menjulang tinggi begitu mendengar permintaan Ginan. Refleks jelekku memang kalau sedang emosi. Maunya ngotot selalu.

“Turun Handayu! Ngapain kamu berdiri menjulang begitu!” tegur Ginan kesal sembari menarik tanganku agar aku kembali duduk di sofa.

“Kalau kamu suruh aku minta maaf sama dia, enggak mau. Aku butuh pekerjaan tapi bukan dengan mengorbankan harga diri!” ucapku menggebu.

“Harga diri apa? Yang ada kamu harus bayar harga pintu kantornya Damar yang kamu banting!”

“Eh? Serius? Aku kan bantingnya nggak kencang. Masa sih pintunya rusak?”

Ginan tertawa seraya mengacak puncak kepalaku. Dengan tegas kusingkirkan tangannya dari atas kepalaku. Kesal saja kalau ada orang yang mengacak-acak rambut dan kepalaku. Walau itu orang yang dekat dan lebih tua dariku.

“Terserah kamu deh. Aku cuma mau bantu kamu, Yu. Mumpung Damar masih buka kesempatan kamu buat jadi sekretarisnya.”

“Enggak deh makasih. Biar aku cari kerja sendiri aja. Yang penting nggak kerja sama atasan kayak si Damar itu.”

“Damar itu aslinya baik kok.”

“Ngotot banget sih belain si Damar itu? Naksir ya?”

“Ini mulut...” sembur Ginan seraya meraup bibirku gemas dengan telapak tangannya.

“Udah deh kalau enggak ada keperluan lagi, pulang sana. Aku masih mau merenung dan tidur di kamar,” usirku tanpa ampun.

Ginan cuma melongo. Tapi pria itu menuruti keinginanku. Dia kemudian berpamitan setelah memberikan beberapa lembar uang untuk keperluanku. Untuk yang satu itu, aku akan menerima dengan senang hati karena lembaran rupiah di dompetku sudah sekarat. Saldo di rekening juga memprihatinkan. Untungnya aku masih punya saudara seperti Ginan yang tak segan mengulurkan tangannya untuk membantuku. Setelah kepergian Ginan, aku mengunci rapat pintu. Mencium lembaran hidup di tanganku sambil tersenyum. Lalu melanjutkan merenungi nasib di kamar.

...


Hingga sebulan lamanya aku tak juga mendapatkan tawaran kerja. Ada sih pekerjaan serabutan yang kudapatkan dengan bantuan beberapa kenalan. Tapi tak pernah bertahan lebih dari hitungan hari. Entah aku yang tak becus bekerja atau terlalu sial. Selalu saja bertengkar dengan atasan di tempatku bekerja. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sepihak walau tanpa gaji. Daripada makan hati, lebih baik aku yang berhenti kan?

Hari ini entah mengapa aku ingin menemui seseorang. Sudah lama kami tidak bertemu muka. Mungkin karena kesibukannya hingga sulit untuk kami berkumpul. Tapi sekarang dengan status sebagai pengacara alias pengangguran banyak acara, aku akhirnya bisa bertemu dengannya.

Begitu melangkah masuk ke restoran tempatnya bekerja, aku sudah disambut bau ramen dan kawan-kawannya. Maklum saja tempat yang kudatangi memang restoran Jepang. Mataku memandang berkeliling mencari sosoknya. Saat kami bertemu pandang, senyum ceria langsung mengembang di bibirnya. Perlahan kami saling menghampiri, dan langsung berpelukan melepas rindu.

“Kangeeeen...” pekik kami secara tertahan.

Tak peduli dengan beberapa mata pengunjung yang bingung memmerhatikan interaksi kami, aku dan perempuan ini malah mengeratkan pelukan satu sama lain. Hingga suara teguran seseorang menyadarkan kami.

“Ini waktunya bekerja, Danika,”  sela seorang pria yang aku tahu atasan Danika, sekaligus juga pemilik tempat ini.

Aku dan Danika lantas melepas pelukan kami. Seperti sudah biasa mendapat teguran dari atasannya, Danika hanya memasang wajah tanpa dosa. Lalu menggiringku ke salah satu meja yang ada di pojok. Menyerahkan buku menu untukku.

“Pesan apa aja yang kamu mau,” ucapnya bersemangat.

“Ramen aja. Minumannya jangan ocha. Kamu pasti tahu kan aku nggak suka teh hijau.”

“Oke.” Danika mengacungkan jempol kemudian berlalu dari hadapanku.

Mataku terus mengikuti ke mana Danika melangkah hingga hilang di sudut pintu yang kutahu mengarah ke dapur. Danika, sahabatku satu-satunya. Tempatku berbagi banyak hal sejak kami duduk di bangku SMP. Danika yang juga seorang piatu sejak empat tahun lalu memilih untuk hidup sendiri. Karena tak ingin membebani sang Ayah dan keluarga barunya. Lagipula hubungan Danika dan Ibu tirinya juga kurang baik. Jadi Danika memutuskan untuk hidup mandiri. Dan mandirinya Danika benar-benar gadis ini berjuang sendiri. Ia bahkan berhenti melanjutkan pendidikannnya di salah satu universitas karena kendala biaya. Sejak pertengkaran hebatnya dengan Ibu tirinya, Danika memang memilih untuk tak membebankan apapun pada Ayahnya. Ia sudah bertekad tak akan meminta satu rupiahpun pada Ayahnya. Kecuali nanti, saat Danika akan memulai hidup berumah tangga. Barulah gadis itu akan menginjakkan kaki ke rumah sang Ayah untuk sebuah restu.

Aku dan Danika sama-sama bekerja keras untuk hidup kami. Namun kurasa hidupku lebih beruntung dibanding dia. Aku masih punya Ginan dan keluarganya. Sedang Danika hanya seorang diri. Tanpa kerabat yang menyokongnya. Dan Danika juga bukan gadis cengeng yang akan mengemis belas kasihan orang lain. Dia perempuan tangguh. Dan aku bangga padanya. Empat tahun hidup sendiri ia tetap bertahan. Bekerja serabutan yang bisa ia dapatkan. Sampai sekitar dua tahun yang lalu, ketika restoran ini dibuka, Danika cukup beruntung menjadi pelamar yang diterima dan bertahan hingga sekarang.

“Ramen pesananmu dan cokelat cappuccino.”

Danika meletakkan pesananku di meja. Harus kuakui Sushi Me adalah salah satu restoran dengan sajian masakan Jepang terlezat versiku. Selain itu harga yang ditawarkan di restoran ini juga jauh di bawah restoran sejenis lainnya. Karena ini tidak heran jika tempat ini selalu ramai dikunjungi.

“Makan dulu, terus tunggu aku ya. Shift-ku hampir selesai,” pinta Danika yang langsung kuacungi jempol.

Sahabatku itu kembali berbaur dengan rekan kerjanya yang lain. Sementara aku menikmati hidangan yang tersaji. Rasa ramen di tempat ini benar-benar bikin ketagihan. Walau aku jarang mencoba menu lainnya. Tapi melihat membludaknya pengunjung, citarasa di sini pasti tak diragukan lagi. Tepat setelah aku menandaskan semangkuk ramen, Danika datang menghampiri. Wajahnya tertekuk kesal. Tak seperti tadi saat ia memintaku menunggu.

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Biasa, Bos resek!” ujarnya seraya mendengkus.

Alisku naik sebelah. Aku memang pernah mendengar bahwa Danika tak terlalu menyukai Ibra, atasannya. Tapi lebih jelasnya apa yang membuat Danika begitu tak suka pada pemilik restoran ini aku sama sekali tak tahu. Apa memang tiap atasan itu ditakdirkan untuk menjadi menyebalkan? Karena sepertinya apa yang Danika alami tak jauh berbeda denganku.

“Memang kenapa sih?”

“Jam kerjaku kan udah kelar. Masa dia suruh aku menghadap ke ruangannya? Mau apa coba? Pak Ibra memang suka banget nyiksa pegawainya.”

“Semua pegawai?”

Danika tampak berpikir. “Enggak semua sih. Tapi tuh orang suka banget nyiksa aku. Suruh ini itu, padahal jam kerja udah kelar.”

Aku tersenyum mendengar penuturan Danika. Mungkinkah apa yang kupikirkan benar? Mungkin otakku terlalu terkontaminasi dengan isi roman picisan. Tapi bisa saja kan, atasan Danika menyukainya? Dari apa yang kutonton dan baca seseorang yang menaruh perhatian pada kita, pasti ada saja caranya untuk mendekati kita. Entah itu membuat bahagia atau jengkel. Dan mungkin trik yang digunakan atasan Danika dengan membuat gadis itu jengkel.

“Danika...”

Suara yang baru saja memanggilnya membuat Danika memutar mata. Sebelum berbalik dia mengucapkan kata tunggu padaku tanpa suara. Yang kembali kujawab dengan anggukan. Danika berbalik menghadap atasannya.

“Kenapa tidak temui saya di ruangan?”

“Jam kerja saya sudah selesai Pak Ibra. Dan saat ini saya ingin cepat-cepat pergi dengan sahabat saya,” bantah Danika.

“Teman kamu bisa menunggu. Iya kan, Handayu?” Ibra menatapku, meminta persetujuan.

“Oh, bisa sih, kalau dikasih camilan selama menunggu. Seporsi sushi mungkin?” ucapku tak tahu diri. Kesempatan tak datang dua kali, itu prinsipku. Jadi selagi aku bisa makan enak, gratis dan kenyang, aku akan memanfaatkannya.

Ibra memanggil salah seorang pramusajinya. Meminta dibawakan seporsi sushi untukku. Membuatku dan Danika membelalakkan mata. Tak menyangka pria ini akan mengabulkan permintaan tak tahu diriku.

“Tunggu saja sushinya. Sekarang saya pinjam teman kamu dulu.”

Tanpa aba-aba pria itu langsung menarik tangan Danika. Tak peduli gadis itu terkejut atau memberontak. Membawanya hingga hilang dari padanganku. Aku sendiri cuma terperangah menyaksikan adegan drama lainnya dalam hidupku. Sepertinya dugaanku benar, Ibra menyukai Danika. Tak lama sushi yang dipesankan untukku tiba. Mataku berbinar. Tak peduli apa yang terjadi pada Danika di sana, lebih baik aku menyantap rezeki yang terhidang di depan mata. Untuk Danika, aku bisa minta maaf padanya nanti karena mengorbankan dirinya demi makan enak. Ittadakimasu!

...

Note: ide masih lancar jaya, gak tahu kenapa. Yang pasti selamat membaca buat teman-teman yang masih mau membaca karyaku 😋

ps: makasih koreksi typo-nya 🙏

Masih diantah berantah, 26/18/09

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top