Chapter 15 - Bapak Nembak Saya?
Aku masih memasang wajah masam selama perjalanan yang entah ke mana Damar akan membawaku ini. Sejak tadi juga pria itu diam saja. Tak berniat menjelaskan sedikitpun apa maksudnya membawaku kabur dari pesta. Walau sudah kucoba untuk memancing pria ini bicara, tetap saja Damar masih melanjutkan aksi diamnya. Bahkan saat kukatakan padanya bahwa aku lapar dan ingin makan, Damar belum menanggapi juga. Akhirnya akupun memilih ikut mendiamkan diri seperti yang Damar lakukan.
Tapi sayangnya perutku tak sejalan dengan keinginanku. Karena tiba-tiba saja dia berbunyi dengan nyaringnya. Membuatku malu setengah mati karena seperti korban busung lapar saja. Padahal di pesta tadi aku sempat makan beberapa kue yang setidaknya bisa mengganjal perutku sebelum aku bertemu dengan yang namanya nasi. Tapi sial, lagi-lagi kenyataan memang tak seindah keinginan. Sambil memegangi perut, aku memalingkan wajah ke samping jendela. Menatap jalanan yang gelap di luar sana.
Sampai terdengar tawa tertahan yang sangat kuyakin dari bibir Damar. Memangnya siapa lagi yang akan tertawa saat di dalam mobil hanya ada kami berdua. Aku langsung mengalihkan pandangan dan menatap Damar dengan tajam.
“Enggak usah ketawa!” desisku kesal.
“Kamu lapar?” Damar bertanya dengan bodohnya.
“Daritadi memangnya saya minta apa sama Bapak?” balasku tak kalah kesal.
Damar malah makin tertawa. Tapi kemudian pria itu mengulurkan sebelah tangannya untuk mengacak puncak kepalaku. Langsung saja aku menggeram dan menghindar dari perbuatannya. Yang berakibat pada kepalaku yang terbentur ke kaca jendela.
“Auwh...” ringisku. Dan kembali pria itu tertawa.
“Makanya jangan nakal.”
“Yang nakal siapa?”
“Kamu mau makan atau tidak. Kalau masih membantah saya...”
“Makan Pak, makan!”
“Kamu mau makan apa?”
Saat pertanyaan itu keluar, banyak makanan yang terbayang di kepalaku. Tapi semua itu buyar saat aku melihat ke pinggir jalan di mana beberapa pedagang menjajakan dagangannya.
“Nasi goreng.” Tunjukku pada salah satu warung nasi goreng pinggir jalan yang ramai dikunjungi.
Dahi Damar mengernyit. Pria itu seperti tak setuju. Terlebih saat matanya fokus pada tubuhku. Membuat dia berdecak kesal seraya menggelengkan kepala.
“Enggak. Kita cari yang lain.”
“Kenapa? Saya sudah lapar Pak. Dan maunya nasi goreng,” bantahku.
“Kamu nggak lihat pakaian kamu?”
Aku menunduk untuk melihat penampilanku. “Apa yang salah?” tanyaku kemudian. Damar kembali berdecak.
Aku melayangkan tatapan jengkel padanya. Apa dia pikir orang dengan pakaian mahal dan mobil mewah tak pantas duduk membaur dengan pelanggan lain di warung pinggir jalan. Jika Damar berpikiran sempit seperti itu, jangan harap aku akan menghormatinya. Mau setinggi apapun jabatan dan kuasa seseorang, tak lantas membuatnya tinggi hati untuk bisa berbaur dengan orang lain. Jangan harap aku akan menerima Damar. Hah, aku mulai berkhayal.
“Bukan karena kita tidak pantas makan di tempat seperti itu,” jawab Damar malas.
“Lalu?” tuntutku tak mau kalah.
“Saya nggak suka orang lain natap kamu begini!”
Baik, kupikir saat ini aku bermimpi. Bisa kurasakan telingaku memanas mendengar kalimat Damar barusan. Pria itu menyebutkannya seperti tanpa beban. Seolah ia biasa saja mengemukakan pendapatnya. Seolah aku terbiasa untuk menerimanya. Seolah kami adalah pasangan.
Dan jantungku yang kuakui mulai tak sehat sejak Damar bertingkah aneh dan blak-blakan dalam menunjukkan kalimatnya padaku, mulai merusuh. Seperti peserta demo yang tak peduli dengan berbagai cara menunjukkan eksistensinya. Bergejolak tak karuan di dalam sana. Entah apa yang sudah terjadi padaku.
Kugigit bibir bawahku agar tak berteriak. Entah itu untuk menunjukkan perasaan bingungku. Atau untuk memperinngatkan Damar untuk tak bicara sembarangan lagi. Sampai kurasakan mobil berhenti. Membuatku mau tak mau harus menatap Damar, kemudian menatap sekitar kami.
“Kenapa berhenti?” tanyaku setelah melihat Damar telah memarkirkan mobilnya di tempat yang diizinkan.
“Kamu bilang mau makan nasi goreng.”
Aku makin terperangah tak mengerti. Mengapa Damar menurut. Mengapa dia tak mendebatku seperti biasa.
“Kenapa?” kata tanya itu meluncur lagi.
“Kenapa apanya Dayu?” wajah Damar mulai frustrasi. Ada apa dengannya?
“Kenapa Bapak menuruti mau saya? Biasa Pak Damar akan menentang habis-habisan?”
“Kamu mau makan nasi goreng kan?” aku mengangguk. “Ya sudah ayo.”
Damar melepas seatbelt di tubuhnya. Bersiap untuk turun. Sedang aku masih terpaku di tempatku dengan mata berkedap-kedip menatap Damar. Aku makin tak mengerti dengan sikap pria ini. Damar benar-benar mampu membuatku bodoh dan tak bisa berpikir sekarang ini. hingga tiba-tiba saja pintu mobil di sisiku terbuka. Menampakkan Damar yang sudah berdiri di sana.
“Mau makan kan?” suara Damar membuatku mendapatkan kembali kesadaranku.
“Bapak yakin?”
Damar tak menjawab, namun satu yang membuatku makin terperangah adalah pria itu melepas jasnya. Memberikannya padaku dengan mata menyiratkan bahwa aku harus memakainya tanpa protes. Tanpa sadar bahkan senyumku mengembang ketika Damar melakukan semua itu untukku. Dengan patuh kukenakan jas hitam miliknya. Kemudian keluar menyusul Damar. Pria itu lantas menutup pintu mobilnya. Berjalan mendahuluiku. Dengan aku yang mengekori langkahnya sambil tak bisa menahan senyum.
Wangi khas Damar langsung menyeruak dari jas yang kukenakan. Aroma woody note langsung terasa oleh indra penciumanku. Aku bahkan mengangkat lenganku untuk lebih bisa merasakan bau Damar di jas ini. Kuakui aroma yang menjadi ciri khas Damar ini begitu ringan dan menyenangkan. Hingga suara Damar menghentikan keasyikanku.
“Mau sampai kapan kamu ciumi aroma saya di jas itu?” tegurnya yang kini sudah berdiri di hadapanku.
Tertangkap basah oleh Damar rasanya memalukan. Aku langsung berjalan cepat menjauhi pria itu lalu mengambil tempat duduk di salah satu warung nasi goreng yang tersedia. Tak lama Damar menyusul. Duduk di sampingku. Mata pengunjung langsung saja memindai kami. Mungkin merasa heran melihat dua orang berpakaian rapi yang duduk di warung nasi goreng pinggir jalan seperti ini. Sampai salah satu pegawai warung datang dan menanyakan pesanan kami.
“Saya mau nasi goreng pedas ya Mas,” pintaku. Lalu beralih pada Damar. “Bapak?”
“Nasi goreng kambing. Jangan terlalu pedas,” jawab Damar dengan nada malas.
“Ditunggu ya Mbak, Mas.” Pegawai tersebut kemudian berlalu.
Selama menunggu Damar masih tak juga mengajakku bicara. Pria itu bahkan lebih sibuk dengan ponselnya. Membuat perasaanku segera saja berubah jengkel. Apa tak bisa pria ini buka suara sedikit saja. Bahkan hingga pesanan nasi goreng kami diantarkan, Damar tetap saja tak bicara. Pria itu makan dengan tenang. Aku yang terganggu dengan sikap Damar pun tak bisa melakukan apapun. Selain menghabiskan jatah nasi gorengku sembari mendumel dalam hati.
“Bapak langsung antar saya pulang kan?” tanyaku ketika kami berdua sudah kembali duduk manis di dalam mobil.
“Pulangnya nanti saja bagaimana?” pinta Damar kemudian. Matanya menatap lekat padaku. Kembali membuatku salah tingkah.
“Saya lelah. Mau istirahat.”
Damar diam dan langsung melajukan mobilnya. Membuatku langsung menyandarkan diri sepenuhnya di jok mobil, kekenyangan. Bahkan mataku mulai menutup perlahan. Padahal biasanya aku tak akan mengizinkan diriku terlelap setelah makan. Tapi kali ini aku seperti enggan untuk menuruti kebiasaan. Dan tanpa sadar aku sudah terlelap ke alam mimpi.
...
M
ataku perlahan terbuka. Kugerakkan kedua tanganku sebagai peregangan seperti kebiasaan saat aku bangun pagi. Masih dalam posisi berbaring tapi. Rasanya tidurku begitu berkualitas. Sangat nyenyak dan membuat tubuhku segar seketika. Jarang sekali aku mendapatkan tidur yang seperti ini. Lalu pemandangan pertama yang tertangkap oleh mataku adala tirai putih bersih yang sangat besar. Pastinya tirai itu menaungi jendela yang sangat besar juga. Tapi tunggu... kurasa jendela kamarku tak sebesar itu. Jendela besar seperti itu biasanya ada di...
Tubuhku langsung terkesiap bangun dari posisi berbaring. Dan kudapati sekeliling yang membuatku bergidik ngeri. Sebuah ruangan luas dengan perabotan yang tak kalah mewah. Seperti kamar sebuah hotel. Kuperhatikan pakaian yang menempel di tubuhku. Bernapas lega saat melihat gaun dan jas Damar yang masih terpasang sempurna di sana. Hanya saja sedikit kusut mungkin karena pergerakanku saat tidur. Tapi... aku di mana?
Kuputar memori kemarin malam. Terakhir kuingat aku tertidur di mobil Damar. Menyebut satu nama itu langsung memunculkan pemahaman dalam otakku. Damar, sudah pasti pria itu yang membawaku ke tempat ini. Walau dia tidak melakukan apapun padaku, tapi tetap saja. Bagaimana bisa dia membawaku ke kamar yang kupikir sebuah hotel ini. Alih-alih dia membawaku ke rumahnya, mengapa dia harus membawaku ke sini. Bagaimana caranya aku membayar tagihan kamar ini. Aku tidak mau menghamburkan uangku untuk sesuatu yang tak berguna seperti ini.
“Gimana ini...” kujatuhkan kembali tubuhku dengan posisi menungging di kasur. Menggerung kesal karena ulah Damar. Hingga suara pintu terbuka mengalihkanku.
“Oh, sudah bangun rupanya.”
Wajah kutolehkan ke arah Damar yang sudah berdiri di ambang pintu. Ternyata pria itu masih di sini. Apa dia juga tidur bersamaku di kamar ini. Kutatap Damar setajam yang kubisa. Tapi pria itu hanya memasang wajah tenang. Mataku kemudian memindai penampilan Damar. Pria ini sudah rapi. Dengan kaos lengan panjang berwarna abu dipadu dengan celana jeans. Wait, ini kamar hotel kan? Darimana Damar mendapatkan pakaian gantinya. Kepalaku berpikir keras untuk mencari jawaban. Sampai kesadaran menghantamku bahwa posisiku masih menungging di atas kasur kan? Cepat-cepat kuperbaiki posisi tubuhku hingga duduk tegak di ranjang. Sumpah, tingkahku sangat memalukan!
“Kok, Pak Damar ada di sini?” tanyaku untuk mengalihkan rasa malu.
“Memang kenapa kalau saya ada di sini?” Damar balas bertanya.
“Ini kamar hotel kan?” aku ingin memastikan dugaanku.
Damar mencibir tapi pria itu kemudian menjawab, “ini apartemen saya. Jadi sekarang cepat keluar dan sarapan.”
“Tunggu...”
Pagi yang benar-benar sial. Karena begitu terburu-buru aku tak menyadari bahwa aku masih mengenakan gaun. Dan dengan bodohnya aku malah beratraksi untuk mengejar Damar yang akan pergi. Alhasil aku sukses terjerembab ke lantai dengan posisi yang tak kalah memalukan dengan pose menungging di atas kasur. Dan lututku...
“Aduh...” ringisku seraya memegangi lutut yang ngilu.
“Kamu ini pagi-pagi sudah bikin atraksi saja,” gerutu Damar yang tanpa kutahu sudah nerjongkok di sisiku.
“Salah Bapak ini,” tuduhku tak mau disalahkan.
“Loh, kamu yang jatuh dan ceroboh, kenapa jadi saya yang salah.”
“Kalau Bapak nggak main pergi aja saya nggak bakal begini.”
Damar akan membalas lagi, namun pria itu urungkan. Dia hanya menatap lelah padaku. Kemudian membantuku berdiri.
“Bersihkan diri kamu, di lemari ada pakaian ganti yang mungkin cukup untuk kamu,” perintahnya.
Pakaian perempuan? Di lemari kamar Damar? Oh, bukan berita mengejutkan mengingat siapa Damar. Dia pasti sering membawa teman wanitanya menginap di apartemen ini. Yang jelas bukan untuk bermain poker sepanjang malam kan. Hah, Damar pikir aku akan memakai pakaian bekas perempuannya? Jangan harap!
“Aduh!” pekikku lagi saat satu sentilan mendarat di dahiku.
“Enggak usah mikir aneh-aneh. Itu bukan perempuan lain. Itu milik adik saya yang pernah tinggal di sini.”
Aku menatap Damar sambil menyunggingkan cengiran. “Kok Bapak tahu?” tanyaku, antara malu dan geli.
“Saya cukup tahu isi kepala kamu yang aneh-aneh ini. Sudah cepat sana!”
Setelahnya Damar meninggalkan kamar. Tak ingin ia masuk saat aku masih berada di kamar mandi, segera kukunci pintunya. Lalu melangkah ke kamar mandi yang terdapat di dalam kamar ini. Di lihat dari luas dan isinya, sudah jelas apartemen ini pasti hunian mahal. Aku jadi penasaran bagaimana isi di dalam kamar mandinya. Walau tak mewah, namun cukup luas. Dengan bath tub dan shower yang terpisah panel kaca. Wah, kapan aku bisa punya hunian semewah ini. Bahkan jika bekerja seumur hidupku pun belum tentu aku bisa memiliki satu yang seperti ini. Kusudahi khayalanku dan bergegas membersihkan diri. Sebelum Damar membawa palu untuk membuka paksa pintu kamar yang kukunci.
Aku memilih meminjam sebuah kaos berukuran besar dan celana kulot yang untungnya pas dengan ukuranku. Rambut hanya kusisir dan kugelung seadanya. Karena aku tak membawa penjepit atau karet rambut. Kemudian menyusul Damar yang mungkin sudah menunggu di meja makan.
Saat keluar dari kamar, kembali aku dibuat takjub dengan interior yang ada di apartemen Damar. Apartemen yang didominasi warna putih ini benar-benar tertata rapi. Mungkin karena dihuni oleh seorang perempuan. Karena Damar selama ini tinggal bersama kedua orangtuanya.
“Handayu!” suara teriakan Damar bergema.
Aku bergegas ke asal suara. Ruang makan yang bersatu dengan dapur juga terlihat menawan. Semua serba mewah. Hunian milik Damar ini benar-benar membuat iri saja.
“Duduk,” perintah Damar.
Aku mengambil posisi duduk di hadapan Damar. Di atas meja sudah tersedia hidangan sarapan yang sederhana. Omelet juga roti bakar. Meski sederhana namun entah mengapa terlihat menggiurkan.
“Pak Damar yang masak ini?”
“Menurut kamu?”
Nada sinis itu muncul lagi. Nada yang cukup lama tak terdengar dari bibir Damar. Bukan aku merindukannya. Namun bisa kan Damar tak memancing keributan di meja makan ini. Membuat nafsu makanku menghilang seketika.
“Kenapa kamu nggak makan?” tanya Damar saat tak mendapatiku memilih menu.
“Saya nggak lapar.”
“Dayu...”
“Nafsu makan saya hilang karena Bapak. Bisa nggak sih, jangan pakai nada sinis kalau ngomong sama saya?”
Damar berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Pria itu meletakkan alat makannya ke piring, beralih menatapku.
“Kapan saya sinis ke kamu?” tanyanya seolah tak sadar.
“Umur masih kepala tiga, tapi sudah pikun?” sindirku.
“Berhenti bicara bertele-tele. Katakan kapan saya bicara sinis sama kamu?”
“Berapa menit yang lalu. Bapak jawab pertanyaan saya dengan nada sinis. Saya nggak suka!”
Aku beranjak dari kursiku dengan kasar. Meninggalkan Damar sendiri di meja makan yang menatap bingung padaku. Kujatuhkan tubuhku ke sofa. Bersikap kekanakan dengan menarik kedua lutut ke atas sofa. Menyembunyikan wajah di antara kedua lututku. Aku sendiri heran dengan sikapku. Mengapa aku bisa merajuk seperti ini. Lagi pula ini rumah Damar. Mengapa aku bisa seenaknya bersikap begini. Seolah bukan suatu hal tabu bagiku bersikap begini. Apa periode datang bulanku akan segera tiba?
Kurasakan sisi sebelahku melesak. Pertanda Damar juga sudah duduk di sana. Namun aku masih enggan untuk mengangkat kepalaku. Posisi saat ini masih kuinginkan. Hingga sebuah sentuhan lembut menyapu puncak kepalaku. Membuatku mau tak mau terpaksa mengangkat kepala.
“Maaf.”
Satu kata dari Damar sukses membuatku terperangah. Tangan pria itu masih bertengger manis mengelus kepalaku. Sedang mata kami masih saling menatap.
“Kamu tahu, kadang saya susah mengendalikan emosi saya di depan kamu. Bahkan sulit mengendalikan diri. Kamu seperti magnet kuat yang selalu menarik saya sampai saya sendiri nggak mampu menghindar. Kamu tahu bagaimana saya berusaha keras selama ini untuk mengendalikan diri saat berhadapan dengan kamu?”
Seseorang, ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang Damar lakukan saat ini?
“Maksud Pak Damar, apa?” tanyaku, suaraku terdengar lirih dari biasanya.
“Handayu... saya...”
“Bapak nembak saya?”
Damar diam. Oke, sepertinya aku salah. Terlalu berkepala besar. Terlebih Damar kini hanya memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Aku butuh udara. Atau lebih tepatnya, aku butuh menghilang sekedip mata dari hadapan Damar saat ini juga.
...
Note : oke. Cut! Menggantung di tempat yang tepat. Hahahahaha. Maafkan aku yang terlalu tega membuat dayung-marimar dan kalian terombang-ambing dalam rasa yang tak jelas ini. Tapi semua pasti terselesaikan kok. Tenang aja.
Btw aku sambilan revisi naskah ini untuk proses cetak insya Allah kalau ada rezeki. Dan you know what, gaes, baru chapter sembilan lembar halaman yang kudapat sudah mencapai angka 270an. Mati gak tuh. Padahal aku niatnya ini cerita cuma sampe chapter 20an aja. Memang sih, halaman nambah segitu karena ada beberapa bagian yang aku tambal sana sini. Tambah lagi part tersembunyi yang memang sudah aku rancang dari jauh-jauh hari. Eh mampus gak tuh kalau sampe nyentuh halaman 500an hahahha. Semoga kupunya editor yang jago mengompres kebengkakan itu jadi lebih wajar aja halamannya. Jangan gembung, yg ada jilidan lepas ntar. Tapi biasanya editor daku, mah kece, pinter menyiasati halaman yang bengkak, heheh.
Ps : selalu, makasih koreksi typo-nya.
Pss : yang nanya konfliknya mana? Ini cerita emang ringan cui, enggak berat. Jadi konflik berat, shuh.... shuh... enggak bakal ada di sini. Oke!
Masih di rumah, 22/18/11
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top