Chapter 13 - Bingung

Hari ini Danika sudah bisa ke luar dari rumah sakit. Setelah tiga hari gadis itu dirawat, akhirnya keinginannya untuk pulang ke rumah bisa terwujud juga. Wajar sih, memang siapa yang betah berada di rumah sakit berlama-lama. Aku pun tak akan betah berada di tempat seperti itu. Terlebih aku yang sangat takut akan jarum suntik. Karena itu sebisa mungkin aku selalu menjaga diriku sendiri. Tak ingin sampai berakhir di ranjang perawatan dengan jarum infus tertancap di permukaan kulit tangan.

Seperti yang sudah-sudah, Ibra selalu siap sedia mengantarkan Danika. Pria itu bahkan mau merepotkan diri untuk mengemasi perlengkapan Danika. Sementara aku dan gadis itu hanya dibuat bengong menyaksikannya.

“Ada yang lain lagi?” tanya Ibra setelah mengemas tas pakaian Danika. Sahabatku itu hanya menggeleng singkat.

Bahkan tanpa perlu repot dengan biaya administrasi, kami langsung beranjak ke mobil Ibra yang berada di parkiran. Kemarin Danika sempat menyinggung masalah biaya, dan Ibra langsung berdecak tak suka. Pria itu langsung mengomeli Danika dan mengatakan bahwa saat ini yang terpenting baginya hanya kembali sehat. Tidak perlu memikirkan biaya ataupun pekerjaannya. Wah, Bos yang baik hati sekali. Kapan Damar akan berubah menjadi sebaik Ibra yang berhati malaikat.

Tidak akan! Jerit hati terdalamku.

Setelah mengantarkan kami ke rumah Danika, Ibra berpamitan. Namun berjanji akan kembali menjenguk Danika esok pagi. Entah bagaimana perasaan Danika mendapatkan perhatian yang melimpah dari pria itu. Aku saja yang bukan siapa-siapa Ibra meleleh karena sikap Ibra. Apalagi Danika yang sudah jelas menjadi prioritas pria itu.

Selepas kepergian Ibra, aku menyibukkan diri di dapur Danika, memasak makan malam untuk kami. Sahabatku itu ingin dimasakkan semur ayam spesial buatanku. Dan demi menyenangkan hatinya aku menuruti keinginan Danika.

“Ayo makan...” teriakku setelah menyajikan semur ayam di atas meja makan.

Dari arah depan Danika datang dengan wajah semringah. Hah, begitu rindukah dia dengan makanan ini hingga menampilkan wajah bahagia seperti itu. Tanpa ragu Danika menyendokkan nasi dan ayam semur ke piringnya. Dan langsung menikmatinya.

“Kangen banget ya sama makanan beginian?” Danika mengangguk.

“Kamu nggak tahu saja Yu, enggak enaknya makanan rumah sakit.”

Ku-iakan saja pernyataan Danika biar cepat. Kami makan dengan tenang sambil sesekali bercerita hal random. Hingga saat aku menyinggung soal Papanya yang sudah lama tak Danika hubungi.

“Ngapain nanyain mereka Yu?” ucap Danika dengan nada tak suka.

Wajar saja jika Danika enggan membahas perihal Papa dan keluarga barunya. Bahkan hingga saat ini, sejak Danika meninggalkan rumah, tak sekalipun Papanya terlihat ingin tahu tentangnya.

“Mungkin bagi Papa aku sudah mati Yu.”

“Jangan ngomong begitu ah,” ucapku menenangkan.

“Kalau memang Papa masih anggap aku anaknya, paling tidak sekali saja dia pasti bertanya tentang aku, Yu.”

“Mungkin Papamu merasa bersalah. Jadi beliau nggak punya keberanian untuk menghubungimu.”

“Bagus. Itu artinya dia masih manusia. Kalau dia nggak punya rasa bersalah sedikitpun terhadapku berarti dia sudah jadi iblis. Karena hanya iblis yang nggak punya hati!”

Danika beranjak dari duduknya. Meletakkan piring kotor bekas makannya di wastafel. Saat gadis itu ingin mencucinya, aku menghentikan Danika. Mengatakan biar aku saja yang mencuci semua peralatan. Danika masih harus banyak beristirahat. Untungnya gadis keras kepala ini langsung menurut. Dan berpamitan padaku untuk beristirahat di kamar.

Selesai mencuci semua peralatan makan, aku beranjak ke ruang depan. Duduk di sofa lalu menyalakan televisi. Mencoba mencari siaran tv yang cukup menarik. Namun sayangnya tak ada yang menarik. Semua siaran televisi di Indonesia saat ini sekarang tak lagi menyiarkan tayangan bermutu dan mendidik. Hanya berisi siaran yang membuat sakit kepala saja. Tak ada manfaatnya. Karena itu kuputuskan untuk mematikan televisi dan membuka ponselku. Mencari sesuatu yang menarik di media sosial.

Saat membuka media sosialku, sebuah tampilan foto dari Andra membuatku penasaran. Lama tak terdengar kabarnya, pria itu justru memajang sebuah petikan berisi ungkapan hati di instagramnya. Entah mendapat wangsit darimana, aku malah menulis kata tanya ‘kenapa?’ di kolom komentarnya. Saat menyadari kebodohanku aku berusaha untuk menghapusnya. Namun sial, justru panggilan masuk muncul di handphone-ku. Dan nama Andra tertera jelas di layar. Gugup langsung melandaku. Bukan maksudku untuk ikut campur urusan orang lain. Tapi entah mengapa jari nakalku malah menuliskan kata itu. Dengan ragu akhirnya kujawab juga panggilan dari Andra.

“Ha... halo?” bahkan suaraku saja bergetar. Dasar Handayu bodoh!

Apa kabar, Yu?

Aku menaikkan sebelah alisku. Ada apa dengan pertanyaan apa kabar ini? Memangnya saat seseorang tak bertemu dengan orang lain untuk beberapa waktu maka kabarnya tak akan baik-baik saja?

“Baik. Kamu sendiri, apa kabar Ndra?” aku balik bertanya dengan bodohnya.

Kurutuki lidahku yang begitu lancar bicara sembari memukul pelan bibirku. Untung Andra tak ada di hadapanku. Jika tidak, entah mau kuletakkan di mana wajahku ini.

Tidak terlalu baik,” jawab Andra.

Ada nada lelah dalam suaranya yang entah bagaimana bisa kurasakan. Apa ini berkaitan dengan postingannya di instagram tadi. Apa hubungan Andra dengan wanita yang ada di beberapa foto di sosial medianya tak berjalan lancar? Apakah aku akan terus menduga-duga dan mencampuri urusan orang lain. Sebaiknya aku segera berhenti untuk ikut campur.

Dayu...” panggil Andra lagi yang seketika menyentakku dari lamunan sendiri.

“Ya? Ada apa?”

Aku pikir kamu sudah menutup teleponnya.

“Kalau telepon sudah kututup pulsa kamu nggak akan jalan terus,” jawabku asal.

Yu, besok ada waktu?

“Hah?”

Besok kan libur, kamu punya waktu. Sepertinya aku butuh teman ini.

“Teman buat patah hati?”

Sial! Kupukul langsung bibirku yang bicara seenaknya. Pasti Andra sangat terkejut dengan ucapan spontanku yang tanpa pikir panjang. Apa pria itu akan berpikir aku ini perempuan bermulut usil yang suka mengurusi masalah orang lain? Aduh, aku bingung sendiri apa yang harus kulakukan. Apa memutus sambungan sepihak atau...

Mungkin,” jawab Andra yang membuatku melongo di tempat.

“Beneran kamu patah hati?”

Handayu, berhenti!

Andra tertawa di ujung sana. “Sepertinya. Jadi, kamu mau bantu aku menghibur diri?

“Makan gratis kan?” tanyaku bercanda yang dijawab lagi dengan tawa Andra. Ah syukurlah pria itu tak tersinggung.

Oke. Besok aku jemput ya. Malam Handayu.

Setelah mengucapkan selamat malam, Andra menutup teleponnya. Aku pun tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Jadi kuputuskan untuk melangkah ke kamar Danika. Tidur sepertinya pilihan yang baik bagiku saat ini.

...


Seperti janji Andra, pukul sepuluh tepat ia sudah tiba di depan rumah Danika. Setelah sebelumnya aku mengirimkan pesan berisi alamat Danika. Selama menungguku, Andra dan Danika memilih untuk berbincang santai. Mengenang masa putih abu-abu kami. Walau aku tak jelas mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi aku bisa melihat antusiasme keduanya saat mengenang masa lalu. Danika bahkan beberapa kali tertawa saat Andra menceritakan kisah konyol yang terjadi di masa sekolah kami tersebut.

“Sudah selesai?” tanya Andra saat melihatku menghampiri mereka.

“Sudah. Enggak apa-apa kan Ka aku tinggal?” aku beralih pada Danika.

“Tenang. Toh aku kan cuma bakal di rumah seharian.” Danika berusaha menenangkan.

“Soal makan gimana?” tanyaku lagi.

Danika tampak berpikir. “Gampang lah itu.”

“Atau aku telepon Ibra aja ya?”

“Eh jangan!” tolak Danika panik. “Enggak usah Yu. Aman lah. Kalau aku gak sanggup masak, aku bisa pesan delivery. Kalian pergi saja deh.”

Akhirnya aku menurut setelah Danika mendorongku ke depan pintu. Aku dan Andra berpamitan padanya. Langsung menuju ke salah satu pusat perbelanjaan. Andra mengajakku untuk menikmati sajian roti di salah satu toko terkenal yang ada di sana. Setelah memilih menu, kami segera mencari tempat duduk yang berada di sudut ruangan.

“Kenapa tiba-tiba minta dihibur?” tanyaku pada Andra kemudian.

“Ehm?” Andra hanya menjawab sambil lalu.

“Kamu punya masalah?”

Andra tampak terkejut, namun akhirnya ia hanya tersenyum simpul. “Habiskan dulu makanan kita ya.”

Aku mengalah dan menghabiskan tiga potong roti yang kupesan. Selama makan, kami tak terlibat pembicaraan berarti selain mencicipi roti pilihan masing-masing. Sesekali Andra membersihkan remahan roti yang menempel di sudut bibirku. Andai saja aku masih punya perasaan berlebih pada pria ini, jelas aku akan merasa tersanjung. Sayangnya satu-satunya orang yang bisa membuatku bingung akan perasaanku saat ini hanya Damar. 

Selesai menikmati camilan, Andra mengajakku ke arena bermain. Tentu saja aku langsung bersemangat. Sudah lama sekali rasanya aku tak pernah menikmati waktu bermain seperti ini. Menyingkirkan sejenak segala permasalahan dalam hidup. Dan bersenang-senang seperti saat kecil dulu. Segala permainan kami coba. Hingga tak terasa kelelahan menghampiri dan perut yang sudah berbunyi minta di isi. Untuk makan siang kali ini, aku meminta Andra memilih menu makanan cepat saji. Pilihan kami jatuh pada restoran fastfood ayam goreng yang begitu digandrungi semua kalangan.

“Habis ini kita mau ke mana?” tanyaku pada Andra setelah memakan kulit ayam terakhirku.

“Pantai, bagaimana?”

Aku mengernyit bingung. “Pantai? Siang-siang begini? Apa nggak panas banget?”

“Sepanas apapun pantai akan tetap sejuk karena anginnya.”

Aku berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Andra ada benarnya. Lagipula memang kenapa kalau ke pantai. Sudah lama juga aku tak bermain ke tempat seperti itu. Maka setelah menyelesaikan makan siang, kami segera meluncur ke daerah pantai. Untungnya akhir pekan hingga jalanan tak begitu menyemut. Setelah tiba di tujuan, Andra langsung memarkirkan mobilnya. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki.
Rasanya sangat menyenangkan berjalan di sepanjang dermaga sebelum mencapai bibir pantai. Benar yang dikatakan Andra, teriknya matahari dikalahkan oleh semilir angin. Jadi aku tak merasa gerah sama sekali. Dan untungnya juga aku memakai pakaian yang terbuat dari bahan yang ringan. Hingga membuat tubuhku tak terlalu panas karena serangan keringat.

“Boleh tahu kamu punya masalah apa sampai butuh dihibur, Ndra?”

Andra memalingkan wajahnya. Menatap hamparan pasir putih dan air laut di kejauhan mata memandang. Entah apa yang dipikirkan pria ini. Mengajakku bepergian untuk menghibur dirinya, tapi sama sekali tak mengizinkan aku tahu kegundahannya.

“Apa ini berkaitan dengan perempuan yang ada dipostingan sosial media kamu?” tanyaku memberanikan diri.

“Ya,” akhirnya Andra bersuara.

“Cerita saja kalau kamu memang butuh teman mendengarkan. Aku nggak punya bakat ember bocor kok,” ucapku dengan nada bercanda. Andra ikut tertawa mendengar ucapanku yang tak lucu sama sekali.

“Namanya Asyila. Kami sudah pacaran hampir tiga tahun. Tapi saat aku mulai serius sama dia, ada saja alasan Asyila untuk nggak menyegerakan ikatan kami ke jenjang yang lebih sakral.”

Dahiku mengerut dalam. Baru kali ini aku mendengar ada perempuan yang tidak ingin diikat dengan ikatan yang lebih suci dari sekedar bermain-main dalam status pacaran. Padahal perempuan lain di luar sana pasti tidak akan menolak saat ada pria seperti Andra yang serius dalam berhubungan. Lebih sering kudengar para wanita yang mengeluh karena tak kunjung diseriusi lelaki dalam ikatan pernikahan. Walau mungkin ada jenis wanita seperti Asyila yang menolak. Dan pasti semua berkaitan dengan karir dan kebebasan hidup.

“Masalahnya?”

“Kurasa kamu bisa nebak, Yu.”

“Karir?” tanyaku.

Andra mengangguk. “Salah satunya. Asyila baru saja diangkat menjadi salah satu petinggi di perusahaannya bekerja.”

“Dan kamu minta dia untuk jadi Ibu rumah tangga seutuhnya saat kalian menikah?” lanjutku berspekulasi. Namun Andra menggeleng.

“Tidak. Aku bahkan mengizinkan dia untuk terus berkarir. Asal dia bisa menjalankan skala prioritasnya sebagai istri dan Ibu nanti.”

Aku bingung. “Lalu?”

“Kebebasannya.”

Sudah kuduga!

“Dia masih belum mau terikat dan berkomitmen. Dia masih senang dengan kebebasan mutlak yang dia miliki?”

Andra kembali mengangguk. “Ya. Dan karena itulah kami berselisih paham. Dan ujungnya Asyila memutuskan hubungan kami.” Andra menghela napas dalam. “Semudah itu Yu. Semudah itu baginya untuk berhenti dari tiga tahun hubungan yang kami jalani.”

Jujur saja saat Andra bercerita seperti ini aku sama sekali tak tahu nasehat apa yang harus kuberikan padanya. Kisah cintaku tak serumit dan sedalam Andra dan Asyila. Pengalaman cinta yang kualami tak sampai berakhir seserius mereka. Sampai memimpikan jenjang pernikahan. Bahkan melewati satu tahun pertama dengan damai saja aku tak bisa. Ya memang kisah cintaku semiris itu.

“Pernah kepikiran kalau Asyila...” Andra memfokuskan perhatian padaku. Menunggu aku menyelesaikan ucapanku. “Ada pria lain?”

Andra tampak terkejut dengan hipotesaku. Namun kemudian pria itu menggeleng yakin.

“Sepertinya nggak ada Yu. Asyila itu workaholic. Dia bahkan lebih sering menghabiskan waktu dengan pekerjannya daripada dengan teman-temannya.”

“Dan nggak menutup kemungkinan kalau Asyila menemui pria lain di kantornya kan?”

Kali ini Andra seolah tak punya argumentasi untuk membantahku. Wajah pria itu berubah sendu. Mungkin menyadari apa yang kusampaikan mungkin benar adanya. Siapa yang tahu apa yang dilakukan Asyila saat mereka tak bersama. Orang yang mengaku paling setia saja kadang bisa menemukan celah untuk berlaku curang. Apalagi Asyila yang dari penuturan Andra masih memiliki keegoisan yang cukup tinggi. Tak ada yang bisa menjamin seperti apa isi hati gadis itu. Wajah Andra tampak kalah. Matanya memancarkan kepedihan akan kenyataan yang mungkin tak bisa ia duga.

“Mungkin dia bukan jodohmu, Ndra. Aku tahu nggak ada gunanya aku bilang sabar ke kamu karena nyatanya aku nggak merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi satu yang pasti, Tuhan selalu punya rencana terbaik untuk hidup kita.”

Lama Andra hanya menatapku yang kubalas dengan pandangan se-optimis mungkin. Mencoba meyakinkannya walau kisah cintanya tak berjalan mulus, dunia tak akan berakhir hari ini. Karena masih ada esok yang kita sendiri tak tahu akan berjalan seperti apa.

“Maksaih Yu. Rasanya lega ada teman bercerita.”

Aku mengangguk. “Makasih juga untuk makan gratis dan jalan-jalannya,” balasku dengan cengiran tak tahu diri. Andra hanya menanggapi dengan tawa.

Sisa hari kami habiskan dengan berjalan tak tentu arah. Selepas menyegarkan diri ke pantai, Andra membawaku ke perpustakaan negara. Entah apa tujuannya. Hingga hari menjelang sore, baru ia mengantarkanku pulang ke rumah Danika. Dengan sebelumnya membelikan bekal untuk makan malamku dan Danika.

“Terima kasih untuk hiburan sehariannya,” ucap Andra sebelum beranjak pergi setelah menurunkanku di depan rumah Danika.

“Ingat, jodoh di tangan Tuhan. Lepas satu masih ada seribu menunggu,” nasehatku sok bijak yang diangguki saja oleh Andra.

Aku melambaikan tangan melepas kepergian Andra. Cukup belajar satu hal dari apa yang dialami Andra. Bahwa aku tak perlu terlalu tergesa dengan yang namanya jodoh. Karena semua sudah diatur oleh Yang Kuasa. Jadi jika selama ini aku cukup was-was dengan perihal jodoh yang tak kunjung datang, kini aku bisa lebih lega. Namun sepertinya kelegaanku tak bertahan lama. Karena begitu menginjakkan kaki di teras rumah Danika, handphoneku berdering. Menampilkan satu nama yang juga menjadi sumber kebingunganku. Damar Kharisma. Tapi saat ini aku tak ingin berurusan dengannya. Ini hari liburku. Jadi segera kumatikan ponselku dan bersiap menyantap makanan yang kubawa bersama Danika. Urusan Damar Kharisma, pria itu bisa menunggu hingga senin menyapa.

...


Note : dayung kembali melaju... kali ini gak jumpa sama si monster damar. Dia disimpen buat menyebalkan hidup dayu besok aja ya. hehehe. Selamat membaca.

Ps : makasih koreksi typo

Rumah, 16/18/11





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top