Chapter 12 - Memang Saya Peduli?

Aku masih berdiri di hadapan Damar. Hampir sepuluh menit pria itu hanya diam. Tangannya diletakkan menyilang di depan dada. Masih terus memandangiku dari tempatnya duduk. Entah apa lagi yang pria itu tunggu. Meskipun berbagai tanya berkelebat dalam kepalaku. Namun aku tahu tak ada yang bisa kulakukan. Memangnya aku siapa Damar. Selain sebagai babutarisya. Merangkap pengasuh mungkin? Entahlah.

Wanita yang tadi bersama Damar yang dipanggilnya dengan panggilan yang sama denganku memang membuatku penasaran. Mengapa kami justru memiliki nama yang sama. Apa mungkin karena kesamaan itu yang membuat Damar selalu menggangguku. Apa wanita itu adalah orang berarti dalam hidup Damar. Karena Damar tak pernah bertemu dengan wanita itu makanya Damar menjadikanku sebagai pengaihan. Pemikiran itu seketika membuatku bergidik ngeri. Aku tak ingin menjadi pengalihan atau pelampiasan siapapun. Awas saja jika Damar melakukannya padaku. Lagipula, memangnya aku siapa?

“Handayu...” akhirnya Damar bersuara, membuatk terperanjat.

“Y... ya Pak?” kenapa aku jadi gugup begini?

Damar menghela napas. Setelah kuperhatikan pria ini sering sekali menghela napasnya. Apa beban hidupnya begitu berat?

“Yang kamu lihat tadi...”

“Saya nggak lihat apa-apa kok Pak,”  potongku cepat.

Ck, kamu pikir kita sedang main drama?” cibir Damar.

Memang, kami tak sedang bermain drama. Tapi apapun yang terjadi di ruangan ini tadi tak ada hubungannya denganku. Aku ingin bersikap profesional. Jadi anggap saja tadi aku tak melihat apapun.

“Handayu, kamu perlu dengar penjelasan saya.”

Aku mengernyit mendengar penuturan Damar. Memang apa peduliku harus mendengar penjelasannya? Aku dan dia kan bukan siapa-siapa selain sebagai Bos dan sekretaris. Mengapa Damar merasa perlu menjelaskan. Lagipula ini seperti adegan suami yang terpergok selingkuh oleh istrinya. Oh, apa aku ingin berperan sebagai istri Damar? Never!

“Saya rasa Pak Damar nggak perlu menjelaskan apapun sama saya. Memang, apa peduli saya?”

Ucapanku sepertinya menohok Damar. Wajah pria itu menegang kaku. Apa yang salah coba dari ucapanku?

“Jelas kamu harus peduli!”

“Buat apa?”

“Karena saya yang mau.”

“Pak Damar aneh. Kalau nggak ada yang ingin disampaikan lagi lebih baik saya ke luar. Ini sudah hampir jam makan siang, Bapak ingin menu apa untuk makan siang hari ini?”

Aku bersiap untuk melangkah pergi sebelum pergelangan tanganku dicekal. Dan tubuhku dibalik secara paksa hingga menubruk dada bidang Damar. Jarak kami yang begitu dekat memacu detak jantungku. Seketika dia langsung berdentum tak karuan. Ditambah lagi aroma tubuh Damar yang membuat akal sehatku bisa buyar. Sekejap saja aku langsung mendorong Damar menjauh hingga tubuh kami kembali terpisah.

“Handayu?” nada suara Damar terdengar tak percaya karena aku begitu berani mendorongnya.

Jangankan mendorongnya, memukul kepala Damar dengan vas bunga di sofa saat ini juga aku berani!

“Bapak mau makan apa?” tanyaku berusaha menguarkan atmosfir canggung di ruangan ini.

“Makan kamu!”  jawab Damar ketus yang justru memancing tawaku.

“Saya belum mau mati Pak. Jadi Bapak nggak bisa makan saya.”

“Terserah kamu.”

Damar kembali duduk di kursi kebesarannya. Namun kali ini wajahnya jelas terlihat masam. Tapi aku sama sekali tak ingin terganggu. Damar mau marah atau merajuk padaku, bukan urusanku. Urusanku dengannya hanya sebatas kerja sama. Jadi aku memilih untuk keluar dari ruangan Damar.

Tapi baru saja aku akan memesan menu makan siang di salah satu restoran favorit Damar, pria itu sudah muncul di hadapanku. Memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kita makan ke luar saja. Karena ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu.”

Walau berat hati tapi aku akhirnya menurut. Masih bingung dengan apa yang ingin dibicarakan Damar denganku. Jika memang dia masih ingin mengungkit perihal ciumannya tadi, ya terserah pada Damar saja. Aku hanya mengikuti Damar di belakangnya. Sudah terlalu sering berjalan bersama Damar membuatku tak lagi dipandangi oleh para pegawai lainnya. Karena mereka juga tahu seperti apa hubunganku dan Damar.

Damar melajukan kendaraannya membelah siang terik saat ini. Untungnya kami tak perlu terjebak dalam kemacetam karena Damar memilih rumah makan khas Indonesia yang tak begitu jauh dari kantor. Sudah beberapa kali aku menemaninya makan di tempat ini. Jadi aku tahu jenis makanan enak di sini yang harus kupesan.

Setelah mendapatkan tempat duduk dan memesan makanan, kami hanya diam. Belum ada yang ingin bersuara. Baik aku atau Damar masih asyik dengan isi pikiran kami masing-masing. Bosan dengan kebisuan yang tak berujung ini, aku memilih memainkan ponselku. Berbalas pesan dengan Danika yang kuyakin juga sedang menikmati santap siangnya. Sesekali menggoda Danika dan Ibra yang dibalas sahabatku itu dengan pesan tak kalah emosi dengan menampilkan semua huruf besar berjejer di ruang obrolan. Membuatku tak bisa menahan tawa hingga menarik perhatian Damar.

“Bisa letakkan handphone kamu jika sedang bersama saya?” suara Damar terdengar tegas.

“Makanan kita kan belum datang Pak?” bantahku.

“Kita harus bicara.” Kali ini Damar menatapku tajam.

Ditatap se-intens itu oleh Damar nyaliku menciut. Singa garang yang biasanya bersemayam dalam tubuhku seketika bersembunyi. Tak berani menampakkan taringnya. Baru kali ini Damar memang menunjukkan sisi seriusnya. Membuatku ketar-ketir sendiri.

“Memang apa yang mau Bapak bicarakan?”

Kembali tatapan Damar menghujamku. Membuatku panas dingin seketika.  

“Apa yang kamu lihat di kantor tadi...”

“Saya nggak...”

“Diam Handayu! Biarkan saya bicara!”

Oke, jika sudah begini, Damar benar-benar tak ingin dibantah. Benar-benar menujukkan sisi tegasnya sebagai seorang atasan. Dan yang bisa kulakukan hanya mengangguk dengan takut-takut. Damar menarik napas panjang, sepertinya lega mendapat anggukan dariku.

“Saya minta maaf untuk apapun yang kamu lihat tadi di kantor.”

Alisku terangkat sebelah. Untuk apa?

“Kenapa Pak Damar harus minta maaf?”

“Karena... saya bodoh bisa sampai melakukan hal amoral seperti itu di kantor.”

Kini aku semakin bingung. Memang tak seharusnya Damar bertindak seperti itu di kantor. Tapi sekali lagi, bukan kapasitasku untuk mencampuri urusan Damar karena aku hanya sekretarisnya. Tak punya wewenang apapun untuk melarang apapun yang ingin dilakukan Damar. Itu kantor miliknya. Lalu, mengapa Damar harus meminta maaf padaku atas perbuatannya?

“Saya masih nggak ngerti?” ucapku dengan bingungnya.

Damar kembali akan bicara, namun sayang terinterupsi oleh kedatangan pramusaji yang membawakan pesanan kami. Terpaksa untuk saat ini Damar menunda apapun yang ingin disampaikannya padaku. Karena kondisi perut kami yang berbunyi bersamaan jelas menjadi prioritas untuk saat ini. Jadi, mari kita akhiri pembicaraan yang membingungkan ini sejenak.

...


Sesuai dengan janjiku pada Danika, sore itu sepulang kantor aku langsung mengunjunginya di rumah sakit. Setelah terlebih dulu tentunya mengambilkan pakaian ganti untukku dan Danika. Gadis itu tak nyaman dengan pakaian rumah sakit. Karena itu Danika memintaku untuk membawakan pakaian ganti berupa piyama. Setelah perlengkapan menginap semalamku di rumah sakit selesai, aku segera menuju rumah sakit di mana Danika di rawat. Perihal Damar dan pernjelasannya, lupakan. Pria itu buru-buru kembali ke rumah begitu jam kantor berakhir. Ia bilang ada hal mendesak yang harus segera diselesaikan olehnya. Terserah, memang apa peduliku dengan urusan Damar. Jadi kuputuskan untuk diam saja.

Begitu tiba di rumah sakit, kembali aku melihat kehadiran Ibra. Seperti pria itu tak pernah beranjak dari sisi sahabatku itu. Apa Ibra sama sekali tak pergi bekerja. Memang, Sushi Me adalah miliknya. Tapi kan harusnya Ibra juga mengawasi restorannya tersebut. Dan saat aku tiba, pria itu sedang membujuk Danika untuk menghabiskan buahnya. Sementara Danika menutup mulut dengan tangan dan kepala menggeleng menolak. Hah, aku benar-benar iri melihat kemesraan pasangan status tak jelas satu ini.

“Kenapa sih Nika? Makan buah saja susahnya minta ampun. Kamu nggak kasihan sama Ibra yang terus ngebujukin kamu yang kayak anak kecil gitu? Kalau aku jadi Ibra, sudah aku jejelin itu buah ke mulut kamu!”

Danika mendelik padaku. Sedang Ibra hanya tersenyum mendengar ucapanku. Aku sama sekali tak terintimidasi dengan pelototan Danika. Karena itu dengan santai aku melangkah dan meletakkan tas perlengkapanku ke lemari yang disediakan di kamar VIP ini. Dan oh, aku lupa, Danika memang ditempatkan di kamar VIP. Siapa lagi jika bukan Ibra yang berinisatif. Jika menurut pada keinginan dan kemampuan finansial aku dan Danika, jelas kami tak akan mampu memesan ruang rawat inap semewah ini.

Kujatuhkan tubuhku di sofa dan masih asyik memerhatikan perdebatan kecil Danika dan Ibra. Hingga akhirnya kembali Ibra mengalah. Pria itu meletakkkan kembali piring buah ke nampan yang ada di nakas samping kasur Danika. Kemudian membawa nampan beserta segala isinya ke luar kamar.

“Mau ke mana dia?” tanyaku saat Ibra sudah tak berada di ruangan.

“Balikin nampan ke dapur rumah sakit.”

Aku mengernyit bingung. “Kenapa?”

“Itu permintaan khusus Ibra. Jadi ya dia nggak mungkin minta perawat datang dan ambil nampannnya.”

“Permintaan khusus?” aku makin bingung. Sedang Danika menghela napas saja. Enggan menjelaskan lebih jauh.

“Gimana keadaan kantor kamu? Masih betah berhadapan dengan Bos monster setengah iblismu itu?” tanya Danika mengubah topik pembicaraan.

Aku dan Danika memang tak menyembunyikan informasi apapun mengenai hidup kami. aku selalu bercerita pada Danika apapun yang menimpaku. Begitu juga Danika. Karena rasa saling memiliki satu sama lain itulah yang membuat kami selalu berusaha berbagi apapun. Pun dengan hubungan kerja aneh yang tercipta antara aku dan Damar. Begitu juga Danika dan Ibra. Walau kadang ada hal yang kami tak ungkapkan. Tapi cepat atau lambat masing-masing dari kami pasti akan bercerita. Misalnya saja hubungan antara Danika dan Ibra yang membuatku penasaran karena sampai saat ini aku tak tahu apa Danika sudah menerima lamaran Ibra.

“Nanti deh aku cerita. Kalau Ibra sudah pulang,” ucapku bertepatan dengan Ibra yang kembali ke kamar ini. “Kamu nggak nginap malam ini kan?” tanyaku pada Ibra yang dijawab pria itu dengan anggukan.

“Mau makan malam apa Yu?” Ibra bertanya padaku.

Aku mengalihkan tatapan pada Danika. Sementara gadis itu hanya memasang wajah tak acuh sambil mengendikkan bahu. Berarti ini hanya inisiatif Ibra saja kan. Bukan permintaan dari Danika. Ah, betapa baiknya Ibra. Pria yang begitu pengertian. Andai saja si monster Damar juga bersikap seperti Ibra. Mungkin aku akan bahagia sekali.

Apa hubungannya dengan Damar?

“Enggak usah Ibra. Ntar aku makan di kantin saja,” tolakku tak enak hati.

“Saya pesankan ya. Dari Sushi Me saja. Biar kamu nggak usah keluar dan Danika ada temannya.”

Ah... manisnya Ibra. Jadi dia melakukan itu karena tak ingin aku meninggalkan Danika seorang diri? Kapan aku bisa mendapatkan seseorang seperti Ibra. Beruntungnya Danika. Dia memang sudah kehilangan kasih sayang Papanya. Tapi kehadiran Ibra membuat Danika tak lagi menutup diri dari pria. Terutama untuk cinta. Aku patut bersyukur untuk kebahagiannnya.

“Kalau begitu, saya pamit ya.”

Suara Ibra menyentakku dari lamunan. Pria itu mendekat ke ranjang Danika. Mengelus lembut puncak kepala Danika. Kemudian tersenyum simpul sambil mengangguk ke arahku. Yang kubalas dengan anggukan juga.

Hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. Aku menyipitkan mata menatap Danika yang wajahnya kini merona. Efek sentuhan ringan Ibra mungkin. Bahkan sahabatku itu memalingkan wajah dan menutupi tubuhnya dengan selimut karena malu. Langsung saja tawaku membahana melihat tingkah malu-malu Danika.

“Jadi... kamu dan Ibra, apa hubungannya?” tanyaku menyelidik. Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuh Danika. Sahabatku itu mengerucutkan bibirnya. Lucu. Namun aku bahagia, seperti menemukan Danika yang dulu.

“Enggak ada hubungan apa-apa,” jawab Danika gugup.

“Heh, jangan bohong. Mana ada Bos yang perhatian begitu sama pegawainya. Pakai siapin kamar VIP lagi. Dan apa itu... bahkan Ibra sudah lamar kamu. Nah itu, aku belum tahu jawaban kamu untuk Ibra. Apaan ayo!” paksaku namun Danika tetap bertahan untuk menutup mulutnya. “Apaan sih Nika...”

“Nanti Yu. Nanti, kalau sudah waktunya aku kasih tahu.”

“Jadi sekarang hubungan kalian itu gimana?”

Danika menggeleng. “Aku sendiri nggak tahu Yu. Ibra makin perhatian, iya. Tapi nggak ada kata-kata pacaran atau status apapun dalam hubungan kami.”

“Dih, jadi kalian tuh HTS-an?” Danika kembali mengendikkan bahu.

“Ya sudah ah, pusing. Aku mandi dulu.”

Kuambil tas berisi perlengkapanku kemudian beranjak ke kamar mandi yang tersedia di kamar ini. Tak butuh waktu lama bagiku untuk membersihkan diri karena memang aku bukan orang yang senang menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Saat ke luar sudah tersedia paket makanan dari restoran Ibra di atas meja kopi. Aku melirik Danika yang hanya membalas tatapanku dengan tak acuh. Sebelum makan, lebih dulu aku menunaikan kewajiban magribku. Setelahnya duduk berhadapan dengan ayam teriyaki yang dipesankan Ibra dari restorannya.

“Aku makan dulu ya?” ucapku yang diangguki Danika.

Selama aku makan, Danika hanya diam dengan ponsel di tangannya. Entah apa yang dikerjakan gadis itu. Sampai pintu ruangan diketuk dan seorang petugas yang mengantarkan makan malam untuk Danika masuk.

“Dihabiskan ya Mbak Danika. Nanti pacarnya marah loh kalau makanannya enggak habis,” ucap petugas wanita yang mengantarkan makanan sambil tersenyum.

Aku sendiri kembali memerhatikan rona merah di wajah Danika. Sepertinya semua petugas yang berhubungan dengan Danika menganggap Ibra sebagai kekasih Danika. Tapi Danika juga kulihat enggan mengoreksinya.

“Dihabiskan Mbak Danika, nanti pacarnya marah..” ledekku setelah si petugas pergi.

“Makan saja deh, Yu,” balas Danika jengkel.

Setelah menghabiskan makan malam masing-masing, Danika memintaku untuk bercerita seputar kegiatanku hari ini. Walau enggan, akhirnya aku bercerita juga. Danika tampak antusias mendengar rutinitasku yang bagiku sangat membosankan. Terutama bagian saat aku memergoki Damar sedang berciuman dengan seseorang di ruangannya. Danika langsung menutup mulutnya yang membuka dengan tangan.  Dan tak kalah terkejut saat kukisahkan perihal makan siang berujung permintaan maaf Damar yang sampai sekarang aku tak tahu untuk apa.

“Dia suka sama kamu, Yu,” celetuk Danika saat aku selesai bercerita.

“Hah? Jangan bego deh Nika.”

“Laki-laki kan begitu. Kamu nggak ingat gimana sikap Ibra selama ini sama aku?”

Aku kembali berpikir. Benar apa yang Danika katakan. Selama ini Ibra memang terang-terangan menunjukkan sikap dan perhatiannya pada Danika. Walau sahabatku itu selalu menghindar dan berlari dari Ibra. Namun untuk Damar, aku bahkan tak bisa merasakan sikap dan perhatiannya kecuali untuk pertengkaran kami. Memang akhir-akhir ini sikap Damar mulai melunak. Tapi bukan berarti juga dia menyukaiku kan? Terlebih saat tadi siang aku memergokinya sedang berciuman. Bagiku tak masuk akal jika seorang pria menyukai wanita tapi dia malah terlena dengan ciuman wanita lainnya. Pria seperti apa yang bisa melakukannnya? Oh ada, Damar orangnya.

...


Note : menunggu lama? Masih penasaran dengan sikap Damar? Tungguin aja. Kalau perlu sampai ubanan, hahahhahaha

Ps : makasih koreksi typo-nya

Rumah, 13/18/11







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top