Chapter 11 - Isi Kepala Damar

Sejak kembali dari rumah Damar, jantungku tak berhenti menggila. Entah apa yang terjadi. Tapi seharian bersama Damar di luar kantor benar-benar membuatku tak bisa berkutik. Damar dengan segala permintaan anehnya. Aku bahkan tak tahu apa yang ada di dalam kepalanya selama memerintahku seharian ini di rumahnya. Apalagi jika mengingat kejadian yang di ranjangnya tadi. Rasanya jantungku hampir copot. Aku seolah tak mengenal Damar yang seperti itu. Atau aku memang tak pernah benar-benar mengenal Damar?

Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas. Tapi mataku masih nyalang terbuka. Memandangi langit-langit kamarku yang sudah jelas tak akan berubah. Mau selama apapun aku memandanginya, warna putih di atas mataku itu tidak akan pernah berubah menjadi merah muda. Kecuali aku mungkin sedang jatuh cinta. Tapi sayangnya aku tak sedang mengalami proses itu.

Sudah kucoba untuk memejamkan mata, namun tetap saja mataku tak ingin tertutup. Tubuhpun sudah berguling ke kanan dan ke kiri hanya demi bisa mendapatkan posisi nyaman agar aku bisa segera tidur. Dan itu juga tak membantu. Hingga akhirnya aku memilih beranjak ke dapur. Cokelat panas mungkin bisa membantuku mendapatkan kantuk.

Tetapi baru saja ingin bergerak ke luar kamar, dering handphone mengagetkanku. Membuatku terlonjak dengan tangan kanan memegang dada. Dasar gila. Siapa tengah malam begini yang menghubungiku. Jika itu Ginan atau Danika, aku bersumpah akan memaki mereka sepanjang jalan kenangan. Tapi jika itu Damar... kugelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran aneh itu.

Saat aku mendekat untuk menjawab panggilan, benda tersebut tak lagi berbunyi. Namun beberapa saat setelah benda pipih tersebut sudah ada di tanganku, dia kembali berdering. Membuatku refleks melemparkan benda itu. Untung saja jatuhnya di ranjang. Jika di lantai kurasa aku akan menangis sambil merutuki kebodohan semalaman ini. Anggap aku berlebihan tapi handphone itu termasuk benda mewah untukku. Walau begitu banyak pilihan menjamur dari berbagai merek untuk benda tersebut. Namun aku akan berpikir ulang untuk membeli handphone daripada untuk mengisi perutku.

Kembali benda itu berbunyi dan menyala-nyala. Menampilkan nama orang yang seharian ini membuatku kepalaku hampir pecah. Ragu untuk menjawab, aku hanya memandangi handphone yang meraung-raung. Hingga akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan. Daripada sepanjang malam iblis bernama Damar itu menerorku dengan panggilan tak berkesudahan.

“Halo?”

Ketus sekali cara kamu menjawab. Saya masih atasan kamu, Handayu!

Tuh kan, baru saja menjawan panggilan. Monster setengah iblis ini sudah bersikap menyebalkan. Dengan superioritas yang tak pernah hilang dari pribadinya. Ingin sekali kucekik leher Damar namun apalah daya saat ini dia tak berada di hadapanku. Buh, seperti aku berani saja berhadapan dengannya!

“Ngapain Bapak telepon malam-malam begini?”

Diam sejenak. Rasanya seperti jeda waktu yang cukup lama. Entah untuk apa Damar menghubungiku. Jika dia hanya ingin berbasa-basi di malam hari, dia jelas salah sambung. Atau dia ingin menghabiskan pulsa yang ada di handphone-nya. Tak ada yang tahu, hanya Damar.

Kenapa kamu belum tidur?

Aku tersedak ludahku. Maksud Damar apa bertanya seperti itu? Mengapa tiba-tiba kudukku langsung meremang? Ini bukan malam jumat kan.

“Ke... apa urusannya sama Bapak?” kualihkan langsung pembicaraan. Tak ingin terjebak dengan perasaan aneh yang akhir-akhir ini kurasakan terhadap Damar.

Hening lagi. Desah helaan napas lagi. Damar ini kenapa sebenarnya. Tak ada yang bisa menebak isi kepala pria itu. Bahkan mungkin kedua orangtuanya. Apa kutanya Ginan saja. Berhubung mereka berteman cukup baik.

“Halo... Pak Damar? Masih di sana kan? Enggak diculik setan kan?” sengaja kembali aku bicara karena Damar seperti menghilang.

Saya baik-baik saja. Kamu ngarepinnya apa? Saya lenyap ditelan bumi,” jawab Damar agak ketus yang langsung kutimpali dengan kalimat kalau bisa. Yang langsung membuat Damar berdecak di ujung sana. Mungkin jika saat ini berhadapan denganku tak lupa dengan delikan matanya.

“Kalau nggak ada yang penting mending Bapak tutup teleponnya deh. Saya mau tidur nih.” Ingin secepatnya kuakhiri perbincangan tak jelas ini. Berharap Damar pun sama bosannya denganku.

Handayu...” suara Damar berbisik lirik di ujung sana. Membuatku kembali meremang.

“Ya?” tanyaku juga sama lirihnya. Kurasakan suasan perlahan berubah. Seperti akan ada aura yang berbeda. Hingga ucapan Damar selanjutnya membuatku ingin menendang pria itu jauh-jauh hingga ke luar galaksi Bima Sakti.

Butuh teman tidur?” ucap Damar tanpa rasa bersalah.

Detik itu juga kumatikan sambungan dengan emosi tertahan. Kulempar dengan kasar telepon genggamku ke ranjang. Tak peduli jika benda itu akan terlempar ke lantai. Bisa kurasakan wajahku memanas tak lama kemudian. Apa-apaan si Damar itu? Dia pikir aku ini perempuan macam apa yang ditawarkan teman tidur seperti itu? Jika teman tidur halal tentu saja aku tak akan menolak. Tapi Damar dan aku kan bukan apa-apa. Hanya sebatas hubungan kerja. Tengah malam buta begini pria itu berhasil memancing emosiku. Dasar Damar kurang ajar!

Kubenamkan wajahku ke bantal. Mencoba meredam perasaan jengkel yang muncul karena ulah Bosku itu. Aku benar-benar tak habis pikir dengan ulah Damar. Untuk apa coba dia menghubungiku malam-malam begini. Hanya demi melepaskan kebosanan dalam hidupnya. Dia pikir aku ini apa? Hiburan dalam hidupnya. Jika memang Damar butuh hiburan pria itu bisa mencarinya dari orang lain. Dari perempuan lain. Tapi bukan denganku.

Walau kesal dan jengkel, mau tak mau aku mengakui semua perlakuan Damar padaku menumbuhkan rasa asing yang tak kusukai. Tapi aku juga tak bisa menampik. Perempuan dan perasaan itu sepaket. Mau sejengkel apapun aku terhadap seseorang, terutama pria. Jika seseorang itu terus saja hadir di hidupku. Mengacaukan kerja sistem sarafku, jelas saja itu akan membawa banyak perubahan dalam hidupku.

Aku bukan seorang naif yang tak pernah jatuh cinta. Pernah. Namun entah mengapa kisah romansaku selalu berbalut duka. Tak ada satupun yang berhasil. Dua atau tiga kali aku menjalin hubungan serius dengan pria, tetap tak ada yang mencapai titik akhir. Walau bagaimanapun aku kan tetap ingin menjadi perempuan seutuhnya. Menikah, berumah tangga, menjadi istri dan seorang Ibu. Tak usah muluk, aku tak menginginkan pendamping yang sempurna. Hanya seorang pria yang bisa mewujudkan kehidupan yang sempurna menurut kami berdua. Tak perlu pria tampan berbalut jas mahal seperti Damar dan Andra. Yang biasa saja tapi bisa memberikanku kenyamanan. Dan bisa menjamin kebahagiaan untukku hingga ajal memisahkan kami. Tapi tetap saja kembali ke pertanyaan pertama, siapa? Karena sampai sekarang aku tak menemukan dia yang  tepat untukku.

Dan saat Damar hadir dalam hidupku, jujur saja perasaan takut lebih mendominasi dibandingkan perasaan berbunga. Aku tahu, Damar dan aku sangat berbeda. Aku juga cukup tahu diri untuk tak menanggapi teralu dalam apapun yang dilakukan Damar padaku. Karena semakin lama aku mengenal Damar walau dalam hubungan kerja, ada beberapa hal dari diri Damar yang mau tak mau mendobrak pertahananku sebagai perempuan keras kepala. Tapi bukan berarti aku akan membiarkan semua itu berkembang begitu saja. Tetap akan ada batas. Harus ada kesadaran dalam diriku untuk tetap berada di jalur yang semestinya antara kami.

...


Hari ini aku meminta izin pada Damar untuk datang ke kantor sedikit terlambat. Awalnya pria itu mengomel panjang lebar. Bahkan mengancam akan memotong gajiku bulan ini. Namun aku tak peduli. Omelan Damar tak lebih penting dari Danika. Sahabatku itu baru saja memberitahuku bahwa ia tengah dirawat di rumah sakit. Sebenarnya sejak semalam Danika harus di rawat inap karena tipus. Namun ia baru memberitahuku pagi ini. Tadinya aku ingin marah, tapi saat tahu bahwa Danika tak sempat mengabarkan karena dipaksa istirahat, aku jadi tak tega memarahinya. Mungkin terlalu lelah bekerja membuat Danika harus jatuh sakit seperti ini. Dan saat seperti ini aku merasa bersalah padanya karena kurang memerhatikannya. Padahal sejak aku kehilangan orangtua dan Danika juga kehilangan Papanya, kami saling berjanji untuk selalu ada satu sama lain. Tapi saat ini bukan waktunya aku memikirkan hal itu. Karena harus segera bergegas menjenguk Danika dan kembali ke kantor sebelum tanduk Damar keluar.

Saat aku tiba di ruang rawatnya, pemandangan di depan mata membuatku tak percaya. Di atas ranjangnya Danika terbaring dengan Ibra yang setia menyuapkan sarapan untuknya. Dengan mulut setengah terbuka, aku menghampiri mereka. Membuat keduanya terkejut dan langsung salah tingkah. Terutama Danika, wajahnya sudah memerah malu. Wajar saja karena selama ini yang kutahu Danika sangat antipati terhadap Ibra. Tapi kini ia pasrah saja saat pria itu merawatnya.

“Gimana keadaannya?” tanyaku entah kepada siapapun yang ingin menjawab.

“Dokter bilang sudah lebih baik.” Ibra yang menjawab. Pria itu kembali memfokuskan kegiatannya menyuapi Danika.

Danika sendiri walau berwajah tertekuk namun tetap membuka mulutnya menerima suapan Ibra. Membuatku menyeringai menggoda yang dibalas Danika dengan pelototan tajam. Meski berwajah sok menyangkal, tapi aku tahu Danika mulai menerima kehadiran Ibra.

“Gimana bisa sakit sih Nika?” tanyaku lagi setelah meletakkan sekantung buah yang tadi kubeli terburu-buru di supermarket.

“Kelelahan. Dan mungkin karena banyak pikiran. Itu yang dikatakan dokter.” Ibra lagi yang menjawab. Membuatku tak bisa menahan senyuman nakalku.

“Udah cukup,” Danika menolak suapan yang masih diberikan Ibra.

Pria itu menghela napas pelan. Sepertinya ini bukan penolakan pertama Danika. Namun aku salut pada kesabaran Ibra menghadapi sahabatku ini.

“Sedikit lagi, Ka. Satu suapan lagi.” Ibra membujuknya yang dijawab dengan gelengan kepala. Danika bahkan menutup mulut dengan sebelah tangannya yang tak dipasangi selang infus.

Aku sendiri memilih menikmati interaksi kedua pasangan malu-malu ini. Walau dari luar terlihat keras kepala, sebanarnya Danika ini sosok yang rapuh dan penurut. Keadaan lah yang membentuk gadis ini menjadi seorang pembangkang. Menutup diri dari hubungan dengan orang lain. Terutama pria. Semua itu tak lepas dari pengalaman pahit Danika bersama sang Ayah. Dan melihat bagaimana Danika pelan-pelan mulai membuka hatinya pada Ibra membuat hatiku lega. Paling tidak kini Danika memiliki seseorang yang bisa dijadikannya tempat bersandar. Walau aku tak tahu pasti hubungan apa yang keduanya kini jalin. Setelah lamaran Ibra yang jawaban Danika sendiripun aku tak tahu apa terhadap pria itu.

“Satu suapan setelah itu saya nggak akan paksa kamu lagi.” Ibra kembali bersuara. Kali ini dengan suara lebih keras.

“Turutin deh Nika. Mau cepat sembuh nggak sih?” aku ikut menimpali.

Danika yang diserang dua orang sekaligus langsung menunjukkan wajah manyunnya. Membuatku dan Ibra mau tak mau mengulum senyum. Akhirnya gadis itu pasrah menerima suapan terakhir dari Ibra. Kemudian dengan telaten pria itu membantu Danika minum obatnya. Sikap yang Ibra tunjukkan benar-benar membuatku lega. Seperti seorang Ibu yang akhirnya bisa tenang karena putrinya menemukan orang yang tepat.

“Aku balik dulu deh. Soalnya cuma izin datang telat ke kantor. Enggak enak kalau kesiangan banget,” ucapku akhirnya memecah suasan mengharu biru antara Danika dan Ibra.

“Tapi nanti temani aku di sini ya? Nginap,” pinta Danika.

Aku melirik Ibra yang memasang wajah biasa saja. “Bukannya ada Ibra ya?” godaku akhirnya.

“Ya, Pak Ibra kan harus urusin yang lain juga Yu.”

Pak? Setelah adegan mesra yang mereka tunjukkan tadi, Danika masih memanggil Ibra dengan sebutan Pak? Apa kabar dengan hati? Hah, sudahlah. Biarkan itu menjadi urusan Danika. Dia dan Ibra pasti bisa menyelesaikan masalah perasaan tersebut.

“Nginap kan Yu?” tanya Danika penuh harap.

Tak tega melihat wajah memelasnya akhirnya aku mengangguk. Senyum Danika pun kembali muncul. Setelahnya aku berpamitan pada Danika dan Ibra. Meminta Ibra untuk menjaga sahabatku itu. Meski tanpa kuminta pun Ibra sudah pasti akan menjaga Danika dengan baik.

Pukul sebelas lewat aku akhirnya tiba di kantor. Suasana kantor yang sibuk menyambut kedatanganku. Aku tahu mereka semua sedang menyelesaikan deadline yang sudah diperintahkan Damar. Ada beberapa kontrak iklan dengan perusahaan besar yang Kharisma terima. Karena itu Damar mendorong semua tim untuk bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Terlebih Damar menjanjikan akan ada bonus menanti di akhir tugas. 

Tak ingin mengganggu konsentrasi semua orang aku memilih langsung menghampiri Damar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku langsung masuk ke ruangan Damar. Hal pertama yang kusaksikan begitu masuk ke ruangan tersebut adalah pemandangan langka yang mungkin seumur hidup tak akan pernah kulupakan.

Di sana, di kursi kerjanya, Damar tengah berciuman dengan seorang wanita. Mataku membelalak dengan mulut setengah terbuka. Begitu terkejut dengan siaran langsung yang tengah kusaksikan saat ini. Hingga mata Damar bertemu dengan mataku. Pria itu langsung melepas ciuman wanita yang ada di pangkuannya.

“Handayu...”

Suara Damar antara terkejut dengan jengkel entahlah. Yang mana aku tak tahu. Mungkin ia terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba. Atau jengkel karena kegiatan mengasyikkannya kuinterupsi. Sedang wanita tersebut langsung merapikan dirinya. Walau tak ada yang aneh selain rambut dan bagian depan pakaiannya yang cukup berantakan.

“Maaf.” Hanya satu kata itu yang bisa kusebutkan.

“Kamu bisa keluar sekarang Yu,” ucap Damar akhirnya. Namun saat aku bersiap untuk melangkah, kudengar Damar berteriak lagi. “Bukan kamu Handayu!”

Aku membalikkan tubuh. Menatap Damar bingung. Sedang wanita yang masih berdiri di hadapan Damar hanya memutar mata jengkel. Namun begitu ia tetap menuruti perintah Damar. Dengan sebelumnya berucap akan menunggu telepon dari Damar. Sedang aku hanya bisa terpaku di tempat dengan pikiran berkecamuk.

...

N

ote : Damar... kau sungguh terlalu. Setelah kau bikin anak gadis orang melayang kini kau jatuhkan. Jahatnya Damar, huhu... yang sabar mbak dayung, hahahhaa. Masih menunggu si mamas Damar yang nyebelinnya tingkat nirwana kan? Selamat membaca.

Ps : makasih koreksi typo-nya

Pss : lapak hujat buat Damar dibuka, hahhahaa

Selamat hari pahlawan. Semoga kita gak pernah lupa jasa dan perjuangan para pahlawan demi negara dan bangsa hingga kita bisa merasakan nikmatnya hidup saat ini!

Rumah, 10/18/11



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top