Chapter 10 - Situasi Macam Apa Ini?

Sore ini cuaca tak cukup bersahabat. Sejak pukul empat tadi hujan tak henti mengguyur bumi. Membuatku tak bisa ke mana-mana. Bahkan saat jam kerja juga sudah usai, aku masih berkutat di meja kerjaku. Sementara pegawai lain sudah beranjak ke rumah masing-masing. Aku masih diam di sini. Bersama Damar pastinya. Karena sejak makan siang, pria itu tak keluar dari ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukan pria itu. Namun tak sedetikpun ia menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Bahkan ia tak memanggilku seharian ini. Mungkin Damar memang ingin sendiri.

Bosan hanya berdiam diri, aku kembali membuka-buka sosial media menggunakan pc kantor. Selain hemat kuota aku juga bisa lebih leluasa melihat-lihat karena layar yang lebih besar dari ponselku. Mata usilku kembali menangkap pemandangan yang membuat jomlo sepertiku iri. Andra baru saja memposting fotonya bersama wanita yang mungkin adalah tunangannya. Bahkan caption yang ditulis di sana membuat perempuan single di luar sana patah hati seketika. My future. Huh, malangnya aku. Untung perasaan yang masih bersarang abu-abu di hatiku tidak kupupuk dan kuberi makan dengan ramuan baper hingga aku tak terlalu merasa sakit hati. Tapi yang membuatku tak habis pikir, mau apa Andra beberapa hari kemarin mendekatiku.

“Bosan...” keluhku sambil menjatuhkan kepala ke belakang kursi.

Mataku kembali melirik ke pintu ruangan Damar. Entah mengapa tiba-tiba perasaan khawatir melandaku. Mungkin saja dia tidak baik-baik saja di ruangannya kan. Tapi jika aku mencoba mencari tahu, nanti Damar bisa mengamuk lagi padaku. Dia paling tidak suka diganggu jika sedang serius. Ah sudahllah, untuk apa aku pusing memikirkan Damar. Lebih baik aku pikirkan bagaimana caranya aku pulang. Jika hujan tak kunjung reda, mana mungkin aku terus menuggu di sini. Ingin menggunakan kendaraan online, tapi tarifnya pasti bisa tiga kali lipat mengingat hujan saat ini masih mengguyur.

Ah, Ginan! Tiba-tiba aku ingat pada sepupuku itu. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya karena kesibukan masing-masing. Mungkin saja dia bisa menjemputku. Dan siapa tahu selanjutnya aku bisa mendapat makan malam gratis. Asyik!

Kucoba untuk menghubungi Ginan. Namun sudah beberapa kali mencoba telepon Ginan tak juga tersambung. Kucoba untuk mengirim pesan, hasilnya pun sama saja. Lelah menghubungi Ginan, akhirnya kumatikan ponsel dengan kesal. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah tujuh malam. Kuputuskan untuk solat magrib dulu di mushola kantor. Setelahnya kembali ke mejaku untuk mengambil barang-barang. Tidak mungkin juga aku terus bertahan di kantor. Biarlah mengeluarkan uang lebih yang penting aku bisa sampai di rumah dengan selamat.

“Pak Damar...” kuketuk pintu ruangan Damar untuk berpamitan padanya. Namun tak ada sahutan.

Beberapa kali kucoba, namun pria di dalam sana tak juga menjawab. Kucoba menghubungi lewat telepon tapi hasilnya pun sama saja. Akhirnya kuputuskan untuk membuka pintunya. Meski Damar akan marah, namun aku harus memastikan Bosku itu baik-baik saja di dalam sana.

Beruntung Damar tak mengunci pintunya. Pria ini memang jarang mengunci pintu ruangannya. Karena memang tak ada hal aneh yang akan dilakukan pria ini di dalam sana selain bekerja. Saat memasuki ruangannya, aku tak menemukan Damar di kursi kebesarannya. Namun justru pria itu tengah berbaring di sofa panjang yang berada di sisi lain ruangan. Dengan lengan menutupi separuh wajah, Damar tampak tenang. Apa pria itu sedang tertidur?

Pelan-pelan kuhampiri Damar. Mencoba membangunkannya. Dari  jarak cukup dekat aku bisa melihat wajah Damar sedikit memerah. Napasnya pun tampak berat. Cepat-cepat kuulurkan tanganku ke pipinya. Dan ternyata dugaanku benar. Damar sedang dalam kondisi tidak sehat. Pantas saja monster ini seharian tidak berulah padaku.

“Pak Damar?” panggilku berusaha membangunkannya.

Damar tampak tetap bergeming. Hingga beberapa kali aku membangunkan dan menggoyang tubuhnya. Baru kemudian pria itu setengah sadar. Pandangan matanya tampak sayu saat menatapku. Tak ada lagi Damar yang galak dan sok berkuasa. Yang ada hanya pria lemah yang bahkan tak bisa menegakkan tubuhnya.

“Pak Damar sakit?” tanyaku kembali.

“Kamu belum pulang?” suara Damar begitu lemah. Sakit memang membuat singa galak ini kehilangan kekuatannya.

“Di luar masih hujan.”

“Kamu mau saya antar?”

Pertanyaan Damar membuat mataku melebar. Satu sisi diriku tertawa kencang mendapat sambutan baik darinya. Namun sisi lainnya menaruh iba pada pria angkuh ini.

“Bapak sendiri saja nggak bisa bergerak. Gimana mau antar saya?”

Damar menghela napas pendek. “Kamu bisa menyetir?” tanyanya kemudian.

Jujur, aku bisa menyetir. Tapi tak terlalu mahir. Tak seperti Danika yang bisa membawa mobil bahkan dengan ugal-ugalan. Mungkin faktor tak memiliki kendaraan yang membuat kemampuan menyetirku tak berkembang. Berbeda dengan Danika yang bahkan sejak usia lima belas tahun saja sudah bisa membawa mobil sendiri. Lagipula aku tak ingin membahayakan diri sendiri dan orang lain. Jadi aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Damar.

“Bisa ambilkan handphone saya?” pintanya.

Aku bergerak ke meja kerja Damar. Mengambil ponsel seperti yang diperintahkannya. Kemudian Damar memintaku untuk menghubungi seseorang bernama Pak Rahman. Mungkin spopir keluarganya. Karena begitu panggilan dijawab, Pak Rahman langsung bertanya di mana keberadaan Damar. Kujelaskan saja pada pria yang dari suaranya mungkin berusia lebih tua dariku itu bahwa Damar sedang tak sehat. Dan kami masih berada di kantor. Kemudian panggilan diputus setelah Pak Rahman berjanji akan tiba secepatnya.

Setelah selesai menghubungi Pak Rahman aku bermaksud untuk menyerahkan kembali ponsel pada Damar. Namun yang kudapati pria itu kembali membaringkan tubuh dengan lengan yang kembali menutupi wajah. Tak ada yang bisa kulakukan selain duduk diam sembari memerhatikan Damar yang sedang terbaring lemah.

Melihat Damar dalam keadaan seperti ini entah mengapa membuatku melihat sisi lain seorang Damar Kharisma. Tak ada wajah iblis darinya. Tak ada teriakan supersonik yang memekakkan telinga. Damar menjelma menjadi anak manis yang tak berdaya. Senyumku pun tak bisa kucegah memikirkan seperti apa Damar jika sedang sakit seperti ini di rumahnya. Apa dia tipe pria yang tetap cerewet saat sakit. Atau justru menjadi super manja seperti tokoh dalam novel kebanyakan yang kubaca.

“Ah... ah...” kugelengkan kepalaku sata pemikiran itu melintas di kepalaku.

“Jangan berisik Handayu, kepala saya pusing,” tegur Damar dengan suara lemahnya.

Aku mencibir ke arahnya. Sepertinya dia tipe yang tetap cerewet bahkan saat sakit sekalipun. Tak ingin mengganggu istirahatnya, kuputuskan untuk diam menunggu kedatangan Pak Rahman menjemput kami.

...


Hari ini aku tidak berangkat ke kantor, melainkan ke rumah Damar. Bosku itu tak bisa masuk ke kantor karena kondisinya yang masih tak sehat. Setelah kemarin aku mengantarkannya kembali ke rumah bersama Pak Rahman, Damar masih harus istirahat di rumah. Seperti yang dikatakan dokter keluarga yang memeriksanya, Damar harus beristirahat karena kelelahan. Hah, kelelahan. Penyakit orang berduit sekali. Memangnya apa yang dilakukan Damar hingga kelelahan. Yang biasa dilakukan pria itu jika di kantor kan hanya menyiksaku saja. Tapi terserahlah. Yang punya uang yang berkuasa. Lagipula perusahaan itu milik Damar. Mau dia tidak masuk selama sebulan penuh juga itu terserah padanya.

Sejujurnya aku enggan datang ke rumahnya. Bukan karena aku ingin menjadi sekretaris yang tak bertanggung jawab. Masalahnya Damar tinggal bersama kedua orangtuanya. Itu membuatku tak nyaman. Walau Ibunya tampak ramah saat menyambutku kemarin. Tapi tetap saja aku merasa tak nyaman. Seperti kata pepatah, kita beda kasta. Namun aku tak bisa mengelak saat Damar berkali-kali menghubungiku. Akhirnya terpaksa juga aku menyeret langkahku ke rumah mewah keluarga Kharisma.

“Eh ada Mbak Dayu. Silakan masuk, Mbak. Sudah ditunggu Mas Damar,” Bu Sari langsung berucap saat membukakan pintu untukku.

Aku hanya tersenyum canggung sembari masuk ke dalam rumah keluarga Damar. Melihat suasana yang sepi, mungkin penghuni yang lain sudah berangkat ke kantor masing-masing. Dari yang kuketahui kedua orangtua Damar memang sama-sama bekerja. Ayah dan Ibunya bekerja di perusahaan keluarga dengan jabatan yang berbeda. Itu membuatku tak habis pikir. Untuk apa Ibunya masih bekerja jika suami dan anak-anaknya mampu memberikan apapun yang diinginkannya.

“Ibu pesan katanya kalau Mbak Dayu datang suruh sarapan dulu,” Bu Sari kembali bersuara menyadarkanku.

“Ah, enggak usah Bu. Saya sudah sarapan. Lagipula saya datang kan untuk bekerja atas perintah Pak Damar.”

“Tapi Mas Damarnya kan masih sakit. Ibu pesan, Mbak Dayu bisa sarapan sama Mas Damar karena si Mas juga belum makan.”

Langkahku terhenti seketika. Apa ini? Rahangku rasanya akan jatuh demi mendengar apa yang dikatakan Bu Sari. Memangnya apa urusannya denganku jika Damar belum sarapan. Apa Ibunya memintaku untuk menyuapi anaknya? Jika benar, manja sekali dia saat sakit begini.

“Kenapa Pak Damar belum makan ya Bu?” tanyaku bingung bukan main.

“Mas Damar bilang tadi belum mau makan. Nunggu Mbak Dayu.”

Hahah! Jiwaku ingin tertawa sekerasnya. Apa-apaan si Damar. Memang dia pikir aku ini pengasuhnya hingga sarapan saja harus menungguku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun saat Bu Sari membawakan nampan berisi dua mangkuk bubur ayam yang sepertinya dibuat sendiri. Juga jus jeruk yang kelihatan segar. Dan menyerahkan nampan tersebut padaku. Aku ingin protes, tapi akhirnya kutelan sendiri. Dan melangkah berat ke kamar Damar di lantai atas.

“Waktunya sarapan...” ucapku begitu memasuki kamar Damar.

Ini kedua kalinya aku masuk. Kamar pria ini begitu rapi. Menggambarkan dengan jelas kepribadian Damar yang suka dengan keteraturan. Tapi bukan berarti Damar pengidap OCD. Dia tak sampai segila itu. Dia hanya suka dengan segala keteraturan agar lebih mudah melakukan perkejaan. Kamar yang didominasi dengan warna putih dan abu ini juga memberikan kesan nyaman dan membuat betah. Tapi bukan berarti aku ingin berlama-lama di kamar ini.

“Kenapa kamu yang bawa?” tanya Damar yang saat ini sedang bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuan. Pria ini, jika memang dia sudah bisa bekerja mengapa tidak pergi ke kantor saja?

“Kenapa Bapak nggak sarapan daritadi?” balasku seketus mungkin.

“Bawa kemari makanan saya,” perintahnya seperti biasa.

Kuletakkan tas di sofa yang ada di kamar Damar. Kemudian meletakkan nampan di meja kopi. Lalu membawakan semangkok bubur miliknya. Namun Damar sama sekali tak bereaksi saat kuberikan bubur tersebut ke hadapannya.

“Ini buburnya Pak Damar,” ucapku mulai kesal. Sepertinya Damar ingin berulah lagi.

“Kamu nggak lihat saya sedang bekerja?”

Ck, kan? Dia memang berniat membuatku jengkel pagi-pagi begini. Lalu, kalau dia sedang bekerja aku harus menjadi pengasuh yang menyuapkan bubur ke mulutnya begitu?

“Kan Bapak sedang sakit? Ngapain kerja? Makan dulu terus minum obat. Lalu istirahat biar Bapak cepat sembuh dan bisa balik kerja!”

“Itu kamu tahu saya sedang sakit. Jadi kamu harusnya tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang yang sedang sakit.”

Damar dan segala jawabannya benar-benar membuat sakit kepala. Andai aku bisa melemparkan mangkok bubur ini ke kepalanya, mungkin rasa kesalku bisa terpuaskan. Tapi aku tahu itu tak mungkin. Karena yang ada aku bisa dituntut keluarga Kharisma karena mencelakakan putra sulung mereka.

“Saya bukan perawat Bapak. Apa susahnya sih makan dulu? Cuma suapin makanan ke dalam mulut. Beres!”

“Nah, apa susahnya kamu suapkan bubur ke dalam mulut saya? Beres!”  

Suapin sekalian mangkoknya ke mulut Bapak boleh nggak?

Kuembuskan napasku kasar. Sudah jelas aku tak akan pernah menang melawan lidah Damar. Entah mengapa aku selalu saja berusaha untuk mendebatnya. Dengan kasar kududukkan tubuhku di tepi ranjang Damar. Bersiap menyuapi si manja tak ingat umur ini.

“Kamu sudah bawa yang saya minta kan?” tanya Damar di sela-sela kunyahannya. Tak ingin bersuara aku memilih mengangguk.

Setelah semangkok bubur habis, aku menyerahkan air putih pada Damar. Tak ingin memberikan jus jeruk padanya karena pria ini masih harus meminum obatnya. Setelahnya Damar mengizinkanku untuk menghabiskan bubur yang disediakan padaku. Tak ada yang bersuara di antara kami. Hingga bubur bagianku habis dan aku membawa nampan berisi bekas peralatan makan kami ke dapur.

Saat aku kembali ke kamarnya, Damar masih berkutat dengan laptopnya. Melihat pria itu yang sama sekali tak bergerak dari sana membuatku berdecak kesal. Kurampas laptop di pangkuan Damar hingga pria itu berteriak memarahiku.

“Kembalikan laptop saya, Handayu!”

“Bapak harusnya istirahat. Bukannya kerja.”

“Ada hal mendesak yang harus saya lakukan Dayu!”

“Perusahaan nggak akan bangkrut kalau Bapak istirahat sehari saja.”

“Tapi saya akan kehilangan proyek ratusan juga karena kamu kalau nggak balikin laptop saya.”

Aku menelan ludah. Ratusan juta? Kalau sampai Damar kehilangan proyeknya bagaimana jika dia menuntut ganti rugi padaku?

“Tapi janji habis selesai satu proyek itu Bapak istirahat ya?” ucapku akhirnya mengalah.

Kulihat sudut bibir Damar berkedut. Apa dia mengerjaiku lagi? Pria ini, apa tidak bisa membebaskanku dari segala keusilannya sehari saja.

“Bapak bohong ya?” tanyaku menyelidik saat mengembalikan laptop ke pangkuan Damar.

“Untuk apa saya bohong? Kamu mau saya tuntut ganti rugi?” aku langsung menggeleng kuat. Membuat Damar kembali menarik sudut bibirnya. Ada apa dengan pria ini?

“Kalau Bapak nggak butuh saya. Boleh saya pulang?” pintaku sembari berjalan menjauhi ranjang Damar.

“Tetap di sini.”

“Hah?”

“Kamu...” Damar menggerakkan telunjuknya padaku. Memintaku mendekat.

Dengan patuh aku bergerak mendekat pada Damar. Tanpa kuduga, Damar menarikku hingga aku kembali terduduk di ranjang bersamanya. Jarak kami yang cukup dekat membuatku terperanjat. Jantungku menggila. Berdebar tidak karuan. Terlebih saat tatapan intens Damar seakan menusukku. Aku berusaha menormalkan gemuruh dalam dadaku dengan perlahan menjauh. Namun Damar malah mengeratkan pegangannya di pergelanganku.

“Tetap di sini,” bisiknya lirih.

Oke, katakan aku gila. Karena seolah itu mantra yang dibisikkan Damar padaku membuatku membatu. Bersikap layaknya patung dan duduk diam di hadapannya. Tanpa berniat untuk menjauh sedikitpun darinya. Sedang Damar sendiri tak terganggu. Ia bahkan tak menunjukkan ekspresi apapun. Selain tetap serius mengerjakan entah apapun itu di laptopnya. Situasi macam apa ini?

...


Note : Ehm... happy reading aja ya. Dingin nih di rumah. Enak banget buat gelungan di kasur dan selimut.

Ps : makasih koreksi typo-nya

Rumah, 04/18/11






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top